PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Broken Life

Broken Life

Penulis:Romansa Universe

Berlangsung

Pengantar
"Wanita yang tengah mabuk itu sudah merasa buntu. Akibat hal tabu yang dilakukannya coba-coba kini mulai membuahkan hasil! Dalam perutnya ada janin yang sudah terlanjur tumbuh dan bersarang. Rahimnya sudah terisi. "Ini semua gara-gara Gala! Sialan!!!" desisnya merasa penuh dendam berselimut amarah. Tangannya masih menggenggam gelas berisi wine miliknya yang masih setengah terisi. Jari-jarinya saling meremas kencang gelasnya yang ada di atas meja. Tangan kirinya yang bebas mencengkram perutnya kencang, berharap janin itu gugur. Sudah segala cara untuk menggugurkannya, namun nyatanya janin itu kuat dan bertahan! Galaksi, pria yang menidurinya tak mau bertanggung jawab dan tiba-tiba menikah dengan wanita lain. Dendam menyelimuti jiwa Selma saat ini. Dia bertekad membalas kehidupan pahitnya kepada Galaksi!"
Buka▼
Bab

Jarum pada jam dinding menunjuk angka lima. Para mahasiswa sesekali melirik benda yang menempel di dinding itu. Selma menyadari kegundahan mereka. Dosen muda yang mengajar mata kuliah Psikologi Umum itu segera mematikan In Focus dan menghela napas panjang.

“Oke… saya rasa cukup untuk hari ini, kalian punya waktu lima menit untuk bertanya tentang materi tadi!”

Selma melirik arloji cantik pada pergelangan kirinya. Saat mengangkat wajah, tiba-tiba ia rasakan pening, pandangannya buram namun ia mencoba untuk kembalikan fokus kedua mata indahnya. Beberapa tangan mulai terangkat, seperti biasa, mahasiswanya begitu antusias ingin bertanya. Terlihat jelas mereka sangat menantikan momen itu. perlahan Selma duduk seraya meringis kecil merasakan perutnya yang mulai terasa mual.

“Sepertinya mau datang bulan, syukur deh aku hampir mati khawatir karena telat dua minggu,” batinnya seraya mencoba kendalikan rasa mual yang semakin kuat.

“Bu, saya mau curhat!”

Ryo mengangkat tangannya antusias. Selma memang selalu membuka sesi tanya jawab dan sharing tiap kali usai sampaikan materi. Tak jarang mereka tanyakan hal di luar materi, tapi Selma tetap bersedia menjawab. Ia memang dikenal sebagai dosen yang baik dan sangat perhatian. Parasnya yang cantik dan awet muda, membuatnya digandrungi banyak lelaki tak terkecuali para mahasiswa.

“Ya, Ryo. Silakan!”

Pemuda itu tersenyum senang, ia segera berdiri dan menatap Selma penuh harap, mahasiswa lainnya tak kalah antusias, mereka senang bercerita pada dosen yang masih memilih single di usianya yang sudah hampir kepala empat, karena tak jarang mendapatkan solusi atas persoalan yang tengah mereka hadapi.

“Jadi gini, Bu ... kemarin saya bertemu dengan teman semasa SMU yang tengah stres akibat pernikahannya selama tiga tahun ini terancam batal .…”

Selma beranjak meski sedikit goyah menahan mual. “Kenapa bisa begitu?” timpalnya.

“Si istri ternyata bukan anak kandung ayah yang menjadi wali pernikahan mereka, dan ia baru tahu setelah bertemu dengan mantan kekasih ibu mertua yang membeberkan masa kelamnya!”

Ryo memperhatikan seisi kelas yang masih tak bergeming mendengar kisahnya sore itu.

“Di sini saya mau bertanya, apakah benar akibat perbuatan zina yang dilakukan itu tak terputus hingga tujuh turunan? Bagaimana mengobati mental sang anak yang mengetahui dirinya adalah hasil perbuatan zinah orangtuanya?”

Entah mengapa pertanyaan itu seperti menghujam Selma. Seketika ia rasakan pandangannya semakin buram dan semakin gelap, sayup terdengar namanya dipanggil. Para mahasiswanya berlari menghampiri akibat panik, Selma jatuh tak sadarkan diri!

Rossa terpaku menatap Selma yang belum siuman. Dokter muda yang bertugas di klinik kampus itu terlihat gusar dan cemas. Perlahan Selma membuka kedua matanya.

“A—akh … Kepalaku!” keluhnya seraya memegangi keningnya.

“Syukurlah akhirnya kamu siuman, Sel!”

Rossa beranjak.

“Aku kenapa, Ros?” Sahabat dekatnya itu menoleh dan sekali lagi menampakkan kegundahannya. “Ros?”

“Kamu hamil!”

Kedua mata Selma terbuka lebar, jantungnya berdegup kencang. Apa yang ia khawatirkan selama ini terjadi. Terngiang kembali pertanyaan Ryo di kelas tadi, ia semakin kalut. Rossa kembali duduk di sisinya,

“Siapa, Sel?”

Bulir halus menetes, Selma tak bisa menahan kekecewaannya.

“Siapa?” ulang Rossa menatap tajam. Gadis itu malah gelengkan kepala.

“Kamu pasti salah, Ros. Aku tidak mungkin hamil!”

Rossa menatap iba, ia turut rasakan kegusaran perempuan yang belum pernah menikah itu. Ia menyentuh bahu kanannya, Selma memeluk dan menangis sejadi-jadinya.

Universitas Mahakarya terkenal sebagai salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di Surabaya. Keluarga Andara adalah pemilik saham terbesar di kampus elit itu. Selma melangkah kecil susuri koridor. Gadis yang baru saja selesaikan S2 di perguruan tinggi negeri itu mencoba peruntungannya melamar di kampus itu.

“Semoga kamu beruntung, Nduk. Doa ibu selalu menyertai langkahmu!” Pesan Aminah saat melepas putrinya di depan rumah. Jauh di lubuk hatinya ia menaruh harap putri sulungnya itu bisa mengangkat derajat keluarga mereka. Suami Aminah meninggalkannya sejak Selma berusia lima tahun bersama kedua adiknya yang masih kecil. Kemiskinan begitu lekat pada kehidupan mereka. Aminah yang hanya mengandalkan sampah plastik sebagai mata pencahariannya tak bisa penuhi kebutuhannya apalagi ketiga anaknya.

“Permisi, Mbak. Ruang HRD di mana ya?”

Seorang pegawai kebersihan menunjuk sebuah ruangan di ujung koridor, Selma mengangguk tersenyum. Sekilas bayang masa lalu melintas. Saat duduk di sekolah dasar, demi dapat melanjutkan pendidikan, ia terbiasa menjadi tukang bersih-bersih di rumah tetangganya. Bahkan tak jarang putra dari majikannya adalah teman sekelas yang kerap membulinya.

“Heh, Babu. Bersihkan sepatuku nih!” Selma kecil menatap Awan yang mengangkat kaki kirinya ke kursi yang Selma duduki. Seisi kelas memandang ke arah mereka, ada yang iba namun banyak pula yang menahan tawa. “Cepat bersihkan!”

Selma mencari dan merobek kertas pada buku catatannya lalu mulai membersihkan sepatu Awan yang terkena tanah merah di lapangan. Tiba-tiba Awan menarik dasi pramuka di leher Selma dan mengelap sepatunya.

“Pakai ini, Bodoh!”

Selma menahan tangis medengar sorak beberapa teman kelas yang ikut merundungnya.

“Aku harus sukses, aku harus lulus wawancara!”

Tekad Selma seraya mengetuk pintu ruang HRD di hadapannya. Seorang perempuan cantik berambut panjang bukakan pintu.

“Ya, Mbak?”

Selma tertegun sejenak menatap penampilan perempuan yang gunakan blazer dan rok mini itu.

“Saya Selma, Mbak. Yang tadi ditelpon untuk wawancara.”

“Oh oke, sebentar ya!”

Perempuan itu kembali menutup pintu. Selma menunggunya beberapa saat.

“Silakan masuk, Mbak!”

Perempuan itu beranjak keluar, tercium aroma parfum yang begitu menggoda. Selma menghela napas seraya masuk ke dalam ruangan itu. Sejenak ia takjub melihat suasana ruangan yang begitu luas dan nyaman. Ia menikmati beberapa lukisan alam yang terpampang di dinding sambil melangkah menuju meja besar di sudut ruang. Sosok yang tengah asik bermain komputer tak menyambut kehadirannya. Selma berdiri di hadapannya bingung.

“Ehm, permisi!”

“Sebentar ya, sedikit lagi!” Pria itu malah sibuk meneruskan permainan game online tanpa menoleh. Hampir lima menit Selma dibiarkan berdiri menunggu.

“Ah sial, kalah lagi!”

Pria berpakaian casual itu melirik Selma lalu memperbaiki posisi duduknya.

“Silahkan duduk!”

Selma duduk dan sodorkan map berisi berkas.

“Sebenarnya saya tak terlalu butuh ini, yang penting kamu lulus S2 itu sudah cukup!”

Jelasnya seraya membuka berkas tanpa membacanya. Selma masih terdiam bingung. Pria itu menenggak segelas kopi santai.

“Jadi … Sa—saya diterima, Pak?”

Lelaki itu tersedak dan batuk.

“Huk! Uhuk! Uhuk!”

“Bapak? Panggil saya Gala, Galaksi!”

Selma tertegun melihat uluran tangan pria berambut gondrong yang diikat rapi. Ia akhirnya menerima uluran itu.

“Selma, Selma Anisa.”

Galaksi tersenyum.

“Selamat bergabung, bu dosen!”

Selma hampir teriak kegirangan, ia tak pernah menyangka akhirnya dapatkan pekerjaan impiannya setelah sebelumnya hanya menjadi karyawati kontrak di perusahaan asuransi.

Galaksi Andara, pria yang aktif sebagai pendiri komunitas pecinta alam di Mahakarya merupakan kemenakan dari Hadi Andara, pemilik perguruan tinggi itu. sebenarnya ia baru seminggu menjabat sebagai HRD saat Selma bergabung menjadi pengajar di kampus itu. Ia yang berjiwa petualang tak pernah mau bekerja di dalam ruangan apalagi dengan jam kerja yang ditentukan. Namun sang ibu meminta pada kakaknya agar membujuk putra tunggalnya itu bekerja lebih serius. Dengan ancaman akan membubarkan komunitas pecinta alam, akhirnya Hadi Andara berhasil membuat Galaksi bersedia duduk di kursi empuk itu. Galaksi hanya meminta agar komunitas yang ia bina itu terus berjalan di kampus.

“Bu Selma dipanggil pak Gala di ruang kerjanya!”

Ujar Titania, sekretaris pribadi Galaksi yang biasanya mengurus segala sesuatunya ketika pemuda itu tengah sibuk dengan kegiatan komunitasnya. Selma yang baru usai berikan kuliah melangkah menuju ruang HRD.

“Maaf, Bu. Bukan di ruangan itu, tapi di ruang kerja yang lain!”

Ralat Titania, Selma mengangguk mengerti, ia segera melangkah menuju lapangan di belakang kampus. Rupanya Galaksi tengah memanjat dinding setinggi 15 meter, Selma menatap ke atas.

“Ada apa Mas?”

Gadis berwajah sendu itu sedikit berteriak. Galaksi menoleh ke bawah.

“Kamu lihat alat-alat itu?”

Selma melihat perlengkapan panjat tebing di sisinya dan mengangguk.

“Pakai itu terus susul aku ke sini!”

“Hah?”

Selma melongo. “Cepat pakai, kita rapat di atas sini!”

Selma terdiam bingung.