PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Wedding Drama

Wedding Drama

Penulis:Miss Yulie 2

Berlangsung

Pengantar
Pagi itu Mika terbangun dengan kepala berat, tulang-tulangnya seakan ingin lepas seperti habis mengangkat berkarung-karung beras. Seingatnya, tadi malam dia ikut Ciki ke sebuah tempat. Kata Ciki, tempat melarung segala penat dan beban. Mika disodorkan segelas minuman yang ketika diteguk menimbulkan panas di tenggorokannya. Beberapa saat kemudian badannya ringan lalu Mika ambruk di atas meja. Ketika menoleh ke samping, betapa Mika terkejut mendapati sesosok laki-laki di sana. Dadanya polos tanpa kain, tidurnya amat lelap. Mika tidak mengenalinya. Segera ia terlonjak dan buru-buru pergi. Namun, dikira semua selesai di tempat itu. Mika malah mencarinya untuk sebuah pertanggungjawaban. Dari sana kontrak pernikahan dimulai.
Buka▼
Bab

"Udahlah, nggak usah pikiran dia. Kayak di dunia ini nggak ada cowok lain. Kamu cantik, Mik. Tinggal petik jari aja, dan semua cowok-cowok pada ngantre. Terserah dah. Mau baris menurut kegantengan, boleh. Menurut kekayaan, sangat boleh. Cuma cowok bodoh yang nyia-nyiain gadis secantik dan sekompeten kamu." Mati-matian Ciki menghibur Mika temannya.

"Bohong, Cik. Kalau aku sesempurna omongan kamu, Roy nggak mungkin berpaling. Apa aku kurang seksi?" Pikiran Mika melanglang kemana-mana.

Ciki tergelak. "Halah ...! Nggak ada istilah seksi atau bukan. Namanya bejat, ya tetap aja bejat. Harusnya kamu beruntung, Mik, Roy nunjukin belangnya sekarang. Gimana kalau benar-benar kalian nikah, terus dia selingkuh. Lebih bikin kamu nggak nerima hidup."

Logika Mika sebenarnya mengiyakan perkataan Ciki, tapi saat ini hatinya lebih bisa bekerja. Istilah bucin. Cinta sering bikin bodoh.

"Nanti malam kamu ada acara nggak? Atau kerjaan dan semacamnya."

Mika berpikir sejenak sebelum selanjutnya menggeleng. "Nggak ada. Emang kenapa?"

"Nah, bagus! Aku mau bawa kamu ke suatu tempat. Dijamin, deh. Di sana surga dunia. Segala penat dan beban hilang terlarung."

"Ke mana?"

"Udah, ikut aja. Nanti kamu juga bakal tau. Jangan lupa dandan dikit biar nggak kucel-kucel amat."

"Harus?"

"Iya, Mika. Itu pun kalau kamu nggak masalah kalah saing sama orang-orang di sana."

Mika tidak bertanya lagi, tidak pula menolak ide Ciki. Dia memang butuh tempat seperti yang dikatakan Ciki.

Ingin mati rasanya ketika orang yang Mika amat cintai terang-terangan berselingkuh di hadapannya. Lebih menyakitkan lagi, orang yang dicintai berselingkuh dengan temannya sendiri. Tanpa malu mereka turut mengundang Mika ke pertunangan.

Sudah lama Mika curiga. Gelagat keduanya tidak dapat dipercaya. Beberapa kali Mika mendapati mereka berpegangan tangan bahkan si laki-laki mencuri-curi kecup di pipi si perempuan. Namun, Mika yang polos selalu berhasil dibodohi. Satu kali diberikan alasan meniup mata yang kemasukan debu, alasan yang lain adalah Mika yang salah melihat.

Puncaknya dua bulan lalu, Mika datang ke kondominium si laki-laki. Telinganya menangkup suara-suara menjijikkan, sesekali diselingi tawa. Dengan berani Mika masuk saja untuk mencari jawaban atas kecurigaannya. Seketika jawaban pun hadir. Roy dan Lina beradu kemaluan di tempat tidur.

"Nggak usah kaget lah, Mik. Selama ini juga aku udah bosan sama kamu. Tiap diajak ciuman nggak mau. Mentok-mentok cuma pegangan tangan dan pelukan. Itu pun nggak bisa lama. Perlu kamu tahu, Mik. Pacaran nggak sebatas cinta. Bukti dari keseriusan kamu juga berupa sentuhan," kata Roy terang-terangan.

Mika langsung tahu letak kekurangannya. Semua bisa dia berikan, kecuali yang Roy sebutkan. Tidak mungkin ...! Dia tidak akan memberikan itu kepada laki-laki yang bukan suaminya. Lagi pula, setiap ditanya soal pernikahan Roy selalu mengelak. Tanpa mengatakan apa pun, Mika pergi dari sana.

Sore ini sesuai yang telah direncanakan. Mika berdandan seadanya. Rambutnya yang lurus sepunggung dibiarkan terurai tanpa mendapatkan tindakan apa pun. Tidak dicatok karena takut merusaknya. Langkah terakhir memoles bibir pakai lipstik. Pilihan Mika jatuh pada lipstik nude diombre merah bata.

Suara klakson di depan rumah menandakan Ciki sudah tiba. Mika lekas bergerak. Gadis di sana menyambutnya dengan senyuman.

"Siap melepaskan penat dan bebanmu?" tanya Ciki.

"Siap, dong. Mari kita bersenang-senang."

"Yes! Mari kita bersenang-senang."

Kendaraan roda empat Ciki berjalan laju. Jalanan lancar seturut semangat mereka. Mika selalu percaya pada Ciki sebab hanya gadis itu teman yang tidak pernah menyakitinya.

Setibanya di tempat, Mika memandangi bangunan di depan. Kemudian ia menoleh ke Ciki. "Kamu yakin?" tanyanya.

"Yakin. Ini karaoke, Mik, bukan diskotik. Nggak akan seburuk pikiran kamu," jelas Ciki.

"Tapi, lampu—"

"Ada. Jangan bilang kamu takut sama lampu."

Mika tidak memperpanjang meski pikirannya disergap kemungkinan yang tidak-tidak.

"Nggak usah takut, Mik. Sama kayak kamu, aku juga perdana."

Dan hanya anggukan yang dapat Mika berikan.

Selangkah tidak ada masalah. Hingga langkah-langkah lain menyusul tidak ada yang aneh. Ciki berjalan ke meja pemesanan untuk memesan satu ruangan.

"Jadi, nggak ada ruangan lagi?" tanya Ciki memastikan.

"Nggak ada, Mbak. Kalian terlambat satu menit dari pemesan terakhir. Tapi kalau Mbak mau digabung sama pengunjung yang lain, saya bisa aturkan," terang si penjaga meja.

Ciki membawa pandang ke Mika. "Gimana?"

"Kamu pengin banget?" Mika balik bertanya.

"Banget. Aku nggak bisa ngelakuin ini di rumah. Kamu tau sendiri gimana galaknya Papaku."

Beberapa detik Mika menimbang. "Ya udah, deh."

Setelah percakapan itu, Mika dan Ciki diarahkan ke sebuah ruangan. Dari luarnya saja dapat terdengar kerasnya musik di dalam.

"Kamu yakin, Cik?" tanya Mika sekali lagi.

"Kenapa nggak yakin? Kan, cuma nyanyi."

"Bareng orang lain?"

"Mereka juga manusia. Hitung-hitung nambah kenalan. Kali aja kamu dapat jodoh."

Tidak ada yang bisa Mika lakukan selain mengikuti Ciki. Kepalang tanggung juga untuk pulang. Telanjur di sini, maka tidak boleh sia-sia.

Hal yang pertama Mika rasakan satu detik menginjakkan kakinya adalah tidak nyaman. Perasaan gusar kembali menyergap melihat lampu kelap-kelip, ditambah alunan musik yang memekakkan. Yang terpasang bukan musik pop melainkan genre dangdut. Mika tidak terlalu suka dangdut.

"Jangan tegang," bisik Ciki ke telinga Mika, tapi tidak bisa didengar saking kerasnya suara musik.

Bertingkah seolah telah terbiasa dengan orang-orang itu, Ciki langsung bergabung. Ia bersenandung dengan mikrofon di tangan. Mika yang sedikit introvert memilih duduk dan menyaksikan.

Tahu-tahu seorang laki-laki datang, ia menyapa Mika sembari menyerahkan segelas minuman. "Kenapa nggak ikut nyanyi?" tanyanya.

"Di sini aja. Suaraku jelek," jawab Mika.

"Biasanya, orang-orang yang suka merendah adalah yang paling bisa."

Mika tersenyum kikuk. Ia tidak biasa mengobrol banyak bersama orang yang baru bertemu.

"Mario." Laki-laki itu mengulurkan tangan.

"Mika," balas Mika menyambut tangan Mario.

Usai perkenalan singkat, Mario mengajak Mika bersulang selanjutnya meneguk minuman masing-masing.

Baru sampai di tenggorokan, Mika merasakan panas. Minuman itu agak pahit dan asing. Satu tegukan, tapi membuat Mika tidak nyaman. Ia akan bertanya pada Mario perihal minuman itu, namun begitu menoleh Mario sudah tidak ada.

***

Kalau bukan gara-gara dering ponselnya, Mika masih sibuk mengembara di dunia mimpi. Mau tidak mau dia mengangkat tangan ke nakas.

"Halo." Telanjur panggilan berakhir, sapaan Mika tidak berguna.

Perlahan kelopak matanya terbuka. Cukup sulit karena kantuk terus menerjang. Akan tetapi Mika harus bangun. Dia punya jadwal mengajar pagi.

Mika memaksakan tubuhnya duduk. Di saat yang bersamaan selimut yang menutupi dadanya melorot. Ketika diperiksa, dia polos tanpa sehelai benang.

"Hah?!" Mika panik. Tidak pernah tidur seburuk ini. Namun detik berikutnya tidak ambil pusing. Barangkali memang mimpi.

Namun, masa bodohnya hanya berlangsung beberapa detik. Ketika selimut disibak, didapati sosok laki-laki yang tidak berbeda seperti dirinya, polos tanpa benang. Serta merta Mika terbelalak, mulutnya yang menganga dibekap, otaknya bekerja cepat.

Lamat-lamat ditariknya kembali selimut menutupi laki-laki itu. Mata Mika sudah ternoda. Sempat diliriknya ke wajah, tapi Mika tidak pernah melihatnya. Bak pencuri yang takut tertangkap basah, Mika menuruni ranjang. Terasa perih di area intinya. Tidak peduli ...! Yang dia perlukan hanya cepat-cepat pergi. Dipasangnya pakaian terburu-buru, seterusnya melesat.

Mika pikir sudah membawa semua barang-barang. Dia tidak tahu salah satu benda penting dalam hidupnya justru tertinggal.

"Mati ... mati ... mati ...! Kok, bisa terjebak tidur sama itu cowok. Apesnya lagi, aku nggak kenal dia." Mika menepuk jidat setelahnya bergumam, "Apa yang terjadi tadi malam?"

Sepanjang jalan Mika tidak bisa tenang. Bolak-balik menggeleng menidakkan isi otaknya. Sopir taksi yang melihatnya sampai tercengang, namun tidak berkomentar.

Langkah Mika sedikit terseok memasuki rumah. Dilihat wanita itu tengah membersihkan vas bunga kesayangannya. Begitu menyadari kehadiran Mika, wanita tersebut menegur.

"Bukannya kamu udah pergi ngajar, Mik? Mama kira kamu udah berangkat dari tadi."

Mika tidak menyahut. Selalu enggan meladeni si wanita. Kalau seandainya dia tidak ada, maka keluarga mereka kini sedang bahagia. Mika berlalu begitu saja.

Di dalam kamar Mika termenung. Berharap yang dia pikirkan tidak benar. Mati-matian Mika menjaga kehormatannya. Karenanya pula dia diselingkuhi Roy. Sangat tidak lucu sesuatu yang dia jaga selama ini hilang oleh laki-laki yang tidak dikenal.

Mika bermaksud memberi tahu Ciki dia tidak masuk hari ini. Hanya saja, sudah bolak-balik menggeledah tasnya, bahkan semua isinya dikeluarkan, Mika tidak menemukan benda yang dicari.

"Aduh ...! Itu ponsel ke mana lagi? Jangan bilang jatuh di tangga gara-gara tadi aku buru-buru," gerutunya. Pasalnya, jika ponsel itu tidak ada, bagaimana bisa dia mengabari Ciki? Sudah itu banyak dokumen penting di sana termasuk rekap nilai siswanya.

Mika sungguh frustrasi. Barangkali jatuh di depan rumah ketika dia turun dari mobil, jadi dia memeriksa ke sana.

"Cari apa, Mik? Biar Mama bantu." Lagi-lagi wanita yang sebetulnya detik ini juga ingin sekali Mika tendang sampai ke Pluto menghampirinya sok akrab sambil menawarkan bantuan.

Hati Mika tidak akan mencair cuma disebabkan bantuan yang sama sekali tidak dia butuhkan. Dia mencari ponselnya tanpa menyebutkan benda itulah yang dicari.

Wanita yang dipanggil Mama merasa ada yang aneh dari Mika. Di leher anak tirinya ada bercak merah seperti yang sering dia dapatkan setiap kali melewatkan malam panas bersama suaminya. Ditambah jalan Mika yang pincang. Wanita itu tergegau sambil terus memperhatikan Mika.

Dirasa benda yang dicari tidak ada di sana, Mika kembali ke kamar. Mungkin jatuh ke kolong tempat tidur saat dia membalikkan tasnya.

***

Di sebuah kamar seorang laki-laki terbangun. Badannya berat seolah habis memikul berkarung-karung beras. Saat selimutnya disibak, betapa ia terkejut mendapati tubuhnya yang polos. Lekas ia menyelisik sekitar. Tidak sengaja pandangannya jatuh pada bercak darah. Ingatannya lekas terantar ke peristiwa yang terlewatkan tadi malam.

"A-aku ... apa aku baru memperkosa seorang gadis?" ungkapnya tidak percaya.

Tanpa mengindahkan tubuhnya yang polos, ia berlari ke kamar mandi. Berharap menemukan gadis yang jadi korbannya.

"Sial ...!" Dia mengumpat karena tidak menemukan siapa-siapa.

Tapi kejengkelannya hanya sebentar. Laki-laki itu tertarik pada benda yang tergeletak di nakas. Ia mengambilnya sambil tersenyum.

"Ingin bermain denganku rupanya," gumamnya picik. Dikira Mika sengaja meninggalkan ponsel supaya Marvel mencarinya.