"Dasar bodoh! Kalau si Riswan sayang, peduli, dan mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga, itu baru pantas dipertahanin. Nah, ini ... laki cuma bisa nyakitin, nggak bisa nyukupin. Kerja pun cuma berkebun, masih saja disayang-sayang. Kamu itu dulu di sekolahin orang tua, bukan makin pintar, malah otakmu semakin tumpul!" sentak Bapak, dengan penuh emosi.
"Bang Riswan sayang, Pak, dengan Risma," jawabku." Bang Riswan juga tidak pernah menyakiti hati Risma." Sembari terus memotong daun kangkung.
"Dengan hidup susah bersamanya, itu sudah nyakitin, Risma!" bentak Bapak lagi.
"Kamu lihat tuh, hidup kedua kakak dan adik-adikmu. Mereka terlihat senang, gak hidup susah macam kamu. Kamu memang nggak sakit, hidup susah terus," sindir bapak. Aku tertunduk diam saja, tidak lagi membantah. Kata-kata menyakitkan seperti ini sudah sering kali kudengar, dan bukan hanya dari bapak saja.
kakak lelaki nomor dua, Amran, dua adik perempuanku, Ela dan Samsiah, juga sering berkata menyakitkan seperti itu, hanya Emak dan Kakak lelakiku yang nomor satu, Kang Darman, beliau yang sekarang tinggal di kota yang tidak pernah menghina kehidupan susah yang terjadi di dalam rumah tanggaku.
"Sudahlah, Pak, jangan mengomeli Risma terus, dia pun tentunya tidak mau hidup susah, mungkin sudah jalan hidupnya Pak," jelas Emak, sembari meminta daun kangkung yang baru selesai kupotong-potong.
"Makanya, dari pada dia hidup susah terus, lebih baik dia cerai saja sama si Riswan!" sentak Bapak. Sekali lagi aku hanya terdiam, sakit rasanya hatiku ini mendengar ucapan Bapak.
"Tidak boleh bicara seperti itu, Pak," sergah Emak. "Bapak memang kepingin cucu-cucu bapak tinggal terpisah sama ayahnya?"
"Aku lebih rela anak si Risma jadi yatim, atau nggak punya Bapak, dari pada punya Bapak nggak guna macam si Riswan itu!" sentaknya lagi. Aku langsung bangkit berdiri, meninggalkan ruang tamu untuk menuju dapur.
"Lihat itu si Risma, dinasehati yang benar malah pergi menghindar, hanya dia itu yang punya mental susah, makanya dia betah hidup blangsak terus."
"Sudah, Pak, sudah ...."
Aku menangis dalam diam, air mata mengalir perlahan di pipi, sesak rasanya dadaku ini, setiap kali mendengar omelan Bapak.
"Ucapan bapakmu jangan diambil hati ya, Ris," ucap Emak lembut, sembari mengusap-usap bahuku.
"I-iya, Mak," jawabku, sembari mengusap air mata. Emak seperti menarik napas dalam.
"Oh, iya, Ris, itu ikan guramenya sudah dibersihkan?" tanya Emak.
"Sudah, Mak, sudah Risma cuci juga," jawabku. Sambil terus memotong-motong cabai dan bawang.
"Selesai ini, kamu ambil ayam dua ya di kandang, dipotong sekalian. Insya Allah, sebelum kakakmu dan keluarganya datang, semua sudah selesai.
"Iya, Mak, nanti Risma yang potong ayam, sebentar lagi juga rapih ini motong-motongnya," jawabku, lebih mempercepat.
Hari ini memang, kakakku yang paling tertua, akan datang dengan keluarganya dari kota. Kang Darman seorang pengusaha yang sukses di Jakarta. Dua anak perempuan dan menantu-menantunya pun punya kehidupan yang enak di sana dan karier yang bagus.
Kami yang di kampung pasti akan sibuk, jika mendapat kabar Kang Darman ingin pulang. Terutama aku, yang selalu diandalkan emak untuk membantunya di dapur, dibanding kedua Adik perempuanku.
Andai saja emak tidak menyuruh aku untuk membantunya, aku pun sebenarnya segan, karena selalu saja kata-kata hinaan yang akan sering kudengar.
"Mak, potong ayamnya nanti dulu, yah, Risma mau marut kelapa dulu buat bikin santan?" tanyaku pada Emak, dan beliau hanya mengangguk.
"Kalau Kang Darman mau datang ke sini, kesempatan ini buat anak Teh Risma. Yuli dan Neti, buat makan enak," sindir Ela adik yang tepat di bawahku, sembari mencomot tempe yang baru digoreng Emak, dan langsung memakannya.
Yuli dan Neti, dua anakku yang berusia lima dan empat tahun, setelah enam tahun aku berumah tangga dengan Bang Riswan memang selalu diperlakukan beda, terutama oleh Bapak, kakeknya sendiri. Selalu diperlakukan tidak adil dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain.
"Nanti jika sudah selesai, jangan semua-mua serba dibungkus buat di bawa pulang Teh Risma, macam orang kelaparan saja," nyinyirnya lagi.
'Ya, Allah' bisikku lirih dalam hati, selalu diam dan terus berusaha sabar.
Selain diam dan sabar, apalagi yang orang susah punya.
Suamiku yang saat menikah denganku adalah seorang perantauan di kampung ini, yang mengaku sebagai yatim piatu dan tidak punya saudara ini memang selalu menekankan tentang sabar dan diam dalam keikhlasan, walaupun dihina orang.
"Dipuji tidak membuat derajat kita lebih tinggi dihina pun tidak membuat derajat kita lebih rendah di hadapan Tuhan." Begitu selalu ucap Bang Riswan.
Jika aku mengeluh tentang sikap keluargaku, Bang Riswan selalu menguatkan aku dengan pelukan hangatnya.
"Sabar ya, Neng." Hanya itu yang selalu dia bisikkan.
Yah, kami memang tinggal di rumah sederhana dengan sepetak tanah yang Bang Riswan beli saat pertama merantau ke desa kami. Tanah kecil yang digunakannya buat berkebun. Menanam sayur-sayuran buat keperluan sehari-hari.
Keluarga Kami memang tidak seperti keluarga yang lain, tidak ada televisi, kulkas, bahkan handphone pun kami tidak punya. Tetapi untuk makan sehari-hari dengan lauk seadanya, Insya Allah tidak pernah kekurangan.
Entahlah, walaupun kata Bapak dan saudara-saudara suamiku selalu dibilang bodoh, tetapi jika aku dan anak-anaknya bertanya tentang apa pun, dia selalu tahu jawabannya. Enam tahun berumah tangga, suamiku itu masih penuh misteri buatku.
Selesai memotong cabai dan bawang, kulanjutkan dengan memarut kelapa untuk membuat santan. Dua kilogram daging sapi yang kubeli di pasar selepas Salat Subuh tadi yang akan diolah untuk dibuat rendang.
Meninggalkan anak-anak yang masih terlelap tidur, dan Bang Riswan yang masih membaca kitab suci, hingga sampai saat ini masih berkutat di dapur bersama emak. Sementara tiga saudaraku yang lain beserta pasangannya masih asyik berbincang di ruang tamu bersama Bapak.
Aku lebih sering memisahkan diri, mencari kesibukan yang lain jika sedang berkumpul seperti ini. Bukannya tidak mau akur dengan saudara, hanya saja aku merasa capek jika kehidupan susahku yang selalu dijadikan bahan pembicaraan. Padahal seingatku, sesusah apa pun kehidupan rumah tanggaku, tidak pernah aku meminta-minta bantuan kepada saudara-saudaraku yang lain, dengan Bapak pun tidak pernah. Intinya, aku sama sekali tidak mau menyusahkan mereka.
Tidak beberapa lama, Bapak dan ketiga saudaraku masuk ke dapur, yang berukuran cukup luas disaat aku masih memarut dan Emak sedang mengulek sambal. Firasatku sudah tidak enak. Karena biasanya jika mereka berkumpul seperti ini, maka aku yang pasti jadi sasaran bully-an mereka.
"Orang mah Teh Risma, di saat saudara-saudara lagi ngumpul begini, suami Teteh harusnya ikut, jangan nggak mau akur sama keluarga, bantu-bantu kek, jangan nanti datang dengan anak-anak, pas waktunya makan doang," sindir Samsiah, adik bungsuku. Aku hanya bisa menarik napas dalam. Rasa sesak mengganjal.
"Si Riswan itu macam tidak tahu diri, hidup susah saja bertingkah, dengan saudara nggak mau ngumpul bareng," celetuk bapak. " Lihat tuh Risma, saudara-saudaramu yang lain, suami-suami dan istrinya ngumpul semua."
"Anak-anak Risma belum pada bangun Pak, masa mau ditinggal," sanggahku pelan.
"Iya, nanti pas bangun saat masakan sudah matang!" sindir Ela ketus.
"Langsung deh, comot makanan sana-sini," sambung Samsiah.
'Astaqfirullah' bisik hatiku, sedih. Kenapa anak-anakku ikut dibawa-bawa. Anak-anak seusia balita seperti itu mana pernah ngerti, padahal anak-anak mereka pun sama saja seperti itu.
"Memangnya kenapa itu Risma, si Riswan macam nggak mau akur sama keluarga? Orang mah Risma, kasih tahu itu sama si Riswan, jika hidup susah itu jangan belagu, jadi saudara nggak ragu-ragu buat bantu." Kang Amran sekarang yang bicara. Aku yang sedari tadi bicara hanya karena menjawab pertanyaan, merasa tidak tahan juga untuk tidak ikut bicara.
"Risma mau tanya sama semua, memangnya walaupun hidup Risma susah, Risma pernah meminta-minta bantuan sama Kang Amran, Ella, dan kamu Samsiah," ucapku membela diri.
Sesaat mereka semua terdiam.
"Nah, itulah, karena suamimu si Riswan nggak mau akur sama keluarga, bikin kita jadi males buat kasih bantuan," sanggah Kang Amran.
"Iya, jadi ikut-ikutan malas, ngasih jajan buat anak-anaknya, karena bapaknya songong, sudah susah belagu lagi," lanjut Samsiah. Tajam sekali mulutnya kedua adikku ini.
Padahal sebenarnya tidak pantas, kesal dengan saudara, anakku yang juga keponakan mereka ikut terbawa-bawa, padahal jika dipikir masih ada pertalian sedarah dengan mereka. Aku, walaupun terkadang kesal dengan saudaraku karena sering dihina dan direndahkan, tetap bersikap baik dengan keponakan-keponakanku, tidak pernah mau menyangkutkan urusan orang tua dengan anak-anaknya.
Mereka bilang suamiku juga tidak mau akur dengan mereka semua.
Ucapan mereka tidak benar sama sekali, dan aku sering menyaksikan sendiri, betapa suamiku itu selalu jadi bahan celaan dan hinaan jika kami sedang berkumpul bersama. Padahal tidak pernah kulihat Bang Riswan melakukan perbuatan yang merugikan ataupun membuat malu saudara-saudaraku.
Suamiku memang memilih untuk diam dan tidak banyak bicara, bukannya songong atau pun sombong. Karena setiap kali ikut bicara pun tidak pernah dianggap atau pun didengar, bahkan terkesan diacuhkan dan dikucilkan. Sama seperti aku, terkadang Bang Riswan memilih untuk duduk menjauh, karena merasa dianggap tidak ada.
Terkadang, aku kasihan tiap kali melihat dan mendengar suamiku diperlakukan seperti itu, tetapi dia tidak pernah mengeluh atau pun melawan tentang perlakuan keluargaku terhadapnya. Justru aku yang sering mengadu tiap kali saudara-saudara atau bapakku merendahkan kemiskinan kami.
Suamiku itu terlalu sabar, makanya sering sekali direndahkan. Terkadang aku suka geram juga dengan sabarnya yang keterlaluan.
Aku ingin sekali-kali dia membela dirinya saat sedang dihinakan saudara-saudaraku.
"Bang Riswan itu sebenarnya salah apa? Kenapa kalian semua sangat membenci suami Risma?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk bersabar.
"Apa karena suamiku miskin, makanya kalian sangat membenci Bang Riswan! Kami tidak pernah menyusahkan walaupun hidup kami susah, kenapa sih kalian tidak mengurusi kehidupan rumah tangga sendiri saja, tanpa harus mengusik kemiskinan keluarga kami."
Mataku mulai tergenangi air bening.
"Sudah Risma, jangan ikutin emosi, tidak baik bertengkar dengan saudara sendiri," bisik Emak, menasehati, sambil mengusap-usap punggungku.
"Memang si Risma ini sudah diracun sama si Riswan, makanya dia sendiripun sekarang tidak mau akur sama saudara," sindir Bapak, matanya melotot, wajahnya memerah.
"Orang mah mikir Risma, suami itu ada bekasnya, jika saudara mana ada bekasnya," sindir Kang Amran.
Baru saja aku ingin membalas ucapan Bapak dan Kang Amran, Emak memberi tanda kepadaku untuk tidak meladeni dan mendiamkan saja, tidak usah diperpanjang, apa lagi jadi bahan perdebatan dengan saudara sendiri. Aku langsung menahan diri, dan kembali terdiam.
'Apa aku salah, membela harga diri suamiku' keluh batinku. Sembari menangis terdiam, kulanjutkan memarut kelapa
Sementara mereka terus saja membicarakan kejelekan suamiku, sambung menyambung.
Dibilang tidak mau akur, tidak mau bantu-bantu kerja, padahal sedari pagi aku sibuk berdua Emak, tidak saudaraku tidak juga pasangannya hanya sibuk mengobrol saja, dan menghabiskan jajanan pasar yang tadi kubeli di pasar bersama emak.
"Assalamualaikum." Sayup-sayup dari dalam dapur aku mendengar suara ucapan salam, dari arah depan rumah, dan itu suara suamiku, Bang Riswan.