PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Nyanyian Rindu

Nyanyian Rindu

Penulis:rismawatii_19

Berlangsung

Pengantar
Bagi Sabrina, Daniel adalah dunianya. Napasnya, hidupnya, kebahagiaannya, sedihnya. Daniel adalah segalanya. Tapi semenjak perpisahan di malam itu, ia kehilangan semua. Termasuk Daniel-nya. Sabrina rela memberikan apapun asal Daniel menginginkannya. Ia bahkan pernah menawarkan hal paling berharga dari dirinya namun Daniel menolaknya. Sabrina benar-benar tidak bisa hidup tanpa Daniel. Hingga sekarang ia hidup sebagai orang asing. Ia melupakan identitas dan jati dirinya sendiri. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seseorang yang sikap dan sifatnya sama persis dengan Daniel. Dan jangan lupakan pria bertopeng hitam yang selalu ada saat Sabrina membutuhkan bantuan. Ia tidak menghiraukan banyak cinta yang datang hanya untuk menunggu Daniel. Lantas apakah penantian yang Sabrina lakukan selama tujuh tahun akan membuahkan hasil baik? Atau justru ia harus menunggu sampai sepuluh tahun seperti yang dikatakan Daniel? Lalu siapakah pria yang sikapnya sama seperti Daniel itu? Dan apakah dia bisa membuat Sabrina membuka hati lagi untuk pria lain? "Anggap aja di dunia ini aku adalah istri kamu, Niel. Dan kamu adalah suamiku."
Buka▼
Bab

"Lo pernah mikir, gak, sih, buat-- nikah?" Aurel menatap Sabrina yang ada di depannya. Ia bertanya setelah berpikir keras, takut menyinggung perasaan temannya itu.

"Nikah? Apa itu nikah?" balas Sabrina dengan nada candaan yang belakangan viral. Ia bahkan memasang wajah datar.

Aurel berdecak. "Okay, gue ngerti. Tapi ada hal lain yang gue ngerti juga. Semandiri apapun lo saat ini, gue tau lo tetap butuh someone buat lo cerita, buat nemenin lo jalan, buat support sistem lo. Intinya gue tahu lo butuh dia."

"Iya gue butuh dia. Gue butuh dia yang gue temuin tujuh tahun lalu. Gue butuh dia, Rel." Sabrina mulai terpancing. Ia spontan mengatakan hal itu tanpa berpikir, dan dengan menatap Aurel dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Maksud gue bukan dia, bukan bocah itu. Lo butuh orang lain yang perannya sama kayak dia."

"Tapi nggak ada yang bisa gantiin dia, Rel. Lo tau gue udah sering nyoba buka hati buat yang lain tapi apa? Ujung-ujungnya gue yang ngerasa bersalah sendiri karena nggak bisa cinta sama mereka yang udah baik sama gue. Rel, dia janji bakal balik. Dia janji bakal balik ke gue."

"Tapi kapan? Mau lo tunggu sampai sepuluh tahun?"

"Gue udah nunggu sampai tujuh tahun, gue cuma butuh tiga tahun lagi. Dan tiga tahun itu bukan waktu yang lama buat cinta gue."

Terdiam sejenak, Aurel menelan ludahnya. Ia menatap Sabrina dengan iba. "Gue nggak ngerti lagi, seberuntung apa dia nanti kalau berhasil dapatin lo."

"Gue yang beruntung karena dapatin dia, Rel. Dari sekian banyak cewek yang dia jadiin mainan, cuman gue yang dia seriusin."

Aurel mengalihkan pandangannya, sedikit meneteskan air mata. Dia dan Sabrina tidak dekat.

Atau lebih tepatnya Sabrina yang tidak menganggap persahabatan mereka. Aurel memaklumi itu. Sabrina trauma dengan hubungan.

Benar-benar trauma berat yang sulit disembuhkan.

Aurel mengetahui semua kisah Sabrina dengan laki-laki yang sedang ia tunggu. Ia mengetahui setulus apa Sabrina terhadap Daniel.

Bahkan dia percaya, di tujuh tahun lalu Sabrina tampak seperti seorang istri. Tapi semesta telah memisahkan mereka. Membuat Sabrina sekarang melakukan perubahan besar dalam hidupnya.

Ia tidak percaya siapapun. Ia bahkan melupakan jati diri dan identitasnya sendiri. Ia melakukan semua terbalik dengan sifatnya dulu. Aurel merindukan sahabatnya yang dulu. Dan hanya Daniel yang bisa mengembalikan semuanya.

"Rel?" tanya Sabrina membuyarkan lamunan Aurel.

"Hem?"

Gadis dengan rambut sepunggung itu menatap Sabrina. Temannya itu bahkan tidak berekspresi saat mengatakan kalimat yang baginya menyedihkan.

Semati rasa itukah Sabrina?

"Menurut lo Daniel bakal suka rambut pendek gue nggak, sih? Gue inget dia dulu sempat bilang gue aneh. Kalau dia masih suka rambut panjang, kira-kira tiga tahun cukup nggak, ya, buat panjangin rambut? Secara rambut gue, kan, susah panjang."

Kali ini Aurel sudah tidak bisa membendung tangisnya lagi. Ia merengkuh tubuh Sabrina ke dalam pelukannya.

Tubuhnya bergetar, ia tersedu membuat Sabrina hanya mematung. Ia masih tidak bisa berekspresi. "Ah, sial! Lo-- bikin gue harus dukung lo sama Daniel. Mau dia bentuknya kayak gimanapun, gue-- gue setuju lo sama dia."

"Apa, sih, Rel? Kan dari dulu lo emang harus setuju sama Daniel. Lagian kenapa cengeng gini, sih? Inget anak di rumah." Sabrina mengelus punggung Aurel pelan berusaha menenangkan.

"Sumpah lo lebih bikin gue khawatir daripada anak gue. Daniel kapan balik, sih? Gue capek ngurusin lo nunggu pawang lo pulang." Aurel melepas pelukan sambil menyeka air matanya.

Mendengar itu Sabrina tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Raut wajahnya persis seperti anak kecil yang baru saja dituruti keinginannya.

Gadis itu sepertinya begitu bahagia mendengar Aurel mengatakan 'pawang'. "Tenang aja, habis Daniel balik, lo nggak perlu repot ngurusin gue lagi."

Sabrina hanya bisa tersenyum ketika mengingat penantiannya yang akan usai. Tapi ia juga bisa menangis jika mengingat semua kenangan mereka dulu. Ia merindukan Daniel sebesar itu.

"Makanya lo sekarang kerja yang benar, biar Daniel juga makin cepat jemput lo."

"Siap, bos," balas Sabrina sambil menaruh tangannya pada dahi, bersikap hormat.

Aurel menggelengkan kepala melihatnya, ia bahkan tersenyum kecil. Sabrina persis seperti anak kecil, meski usianya sudah menginjak angka 25. Tapi sifat ini yang Aurel sukai.

Dan bersama Daniel, Sabrina selalu menunjukkan sifatnya yang ini. Karena pria itu tidak banyak menuntut Sabrina.

"By the way, gue balik ke Butik nggak pa-pa, ya? Jam dua ini ada klien yang mau ketemu," pamit Aurel. Ia sebenarnya tidak mau meninggalkan Sabrina sendirian di tempat terbuka seperti ini mengingat sifatnya yang nekat dan mentalnya yang sedang tidak baik-baik saja.

Tapi dia juga harus mencari uang untuk anaknya mengingat dia seorang single mom. Ya, perkataan Sabrina tujuh tahun lalu tentang Ikbal benar. Laki-laki itu bukan pria baik.

Sabrina dengan santainya mengambil camilan lalu memasukkan dalam mulutnya. "Nggak pa-pa kok, gue. Gue juga mau nyari inspirasi dulu di sini. Jadi nggak buru-buru balik."

"Lo jangan aneh-aneh, ya. Awas!" Peringat Aurel sambil mengemasi barang-barangnya dari piknik kecil mereka.

"Iya, ah! Bawel. Sono pergi!"

"Ingat kata-kata gue!" teriak Aurel dari kejauhan.

Sabrina membulatkan ibu jari dan jempolnya bagaikan kata 'ok' tanpa menatap. Ia menyeruput cappuccino miliknya lalu kedua matanya Kembali menatap layar iPad.

Rambut pendeknya yang terhalang topi berwarna coklat tertiup angin. Sampai ada angin cukup kencang yang membawa topinya terbang ke belakang.

"Aish!" Sabrina berdecak kesal. Namun tak segera mengambil topinya. Baginya itu terlalu merepotkan.

Ia menutup matanya sebentar, namun bayangan percakapan dua orang di film yang pernah ia tonton terekam kembali.

'Angin selalu datang membawa perubahan. Dia akan membawa kembali apa yang hilang darimu. Atau menghilangkan apa yang telah kau dapatkan saat ini.'

"Daniel!"

Sabrina sudah pernah kehilangan,angin tidak mungkin akan membuatnya kembali kehilangan. Dia sudah tidak memiliki apa-apa di hidupnya yang bisa direbut.

Tapi dia meyakini satu hal. Angin akan membawa kembali Daniel-nya, angin akan membawa dia pulang. Karena untuk saat ini, itu yang dia butuhkan.

Ia tersenyum dan bergerak untuk mengambil topinya namun topi itu sudah berada di depan wajahnya. Tepat saat topi itu diulurkan oleh seseorang.

Perasaan Sabrina sudah tidak karuan. Ia meyakini satu hal dalam hatinya saat ini. Aurel harusnya masih ada di sini sekarang. Ia menoleh. "Daniel?!"

Namun ia salah. Yang ia dapati adalah pria yang mungkin seusianya atau justru lebih tua sedang menyodorkan topi padanya.

"Gue bukan Daniel. Tapi makasih udah nebak, ya meskipun tebakannya salah, sih. Tapi lo harus coba lain kali."

Laki-laki itu benar-benar mengingatkan Sabrina pada Daniel. Dia persis seperti Daniel saat muda. Caranya bicara dan gaya humornya.

Sabrina jadi membayangkan setampan apa Daniel sekarang?

"Topi gue," ujar Sabrina setelah melamunkan Daniel barusan.

Pria itu menatap topinya sekilas. "Oh, ini," balasnya sambil menyerahkan topi tersebut.

"Thanks."

Sabrina mengalihkan pandangannya. Masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Apa dia baru saja melintasi mesin waktu dan bertemu kembaran Daniel?

Tidak, mereka tidak kembar. Wajah mereka bahkan tidak mirip. Tapi mengapa rasanya Sabrina setenang saat dia bersama Daniel?

"Gue boleh gabung, nggak?" tanya pria itu.

Spontan Sabrina menoleh. Ia menunjukkan sisi dinginnya yang hanya ia tunjukkan pada orang asing. "Kita nggak kenal."

"Marcell. Dan nggak ada Daniel-nya," ia mengulurkan tangan namun diabaikan Sabrina.

Laki-laki dengan nama Marcell itu lantas tersenyum kikuk sambil kembali menarik uluran tangannya.

Setelah kejadian itu ia menutup pintu untuk semua laki-laki. Bahkan rasanya ia tidak bisa mempercayai laki-laki jenis apapun lagi.

Kecuali jika laki-laki itu Daniel tentunya.

"Lo mau apa?" tanya Sabrina langsung ke inti. Ia tidak suka basa-basi dengan orang asing.

"Duduk di sini sama lo."

"Maksud gue tujuan lo kenalan sama gue apa? To the point aja, lo mau harta atau tubuh gue? Tapi sorry, gue nggak kaya dan tubuh gue udah bekas orang. Jadi lo nggak perlu basa-basi," jelas Sabrina tegas.

Bohong saat dia bilang sudah tidak suci lagi. Ia pernah menawarkan tubuhnya pada Daniel dulu, tapi cowok itu menolaknya tanpa alasan.

Tentu saja ia rela menjelekkan dirinya sendiri agar terlihat buruk dimata orang lain.

Padahal Sabrina tahu Daniel suka bermain wanita di luaran sana. Dia bahkan sempat berpikir kalau Daniel tidak tertarik pada tubuhnya karena begitu menjijikan.

Tapi malam itu saat mereka akan berpisah, Sabrina mengetahui semuanya. Segala kebenarannya. Dan ia tahu, sebesar apa Daniel menyayanginya.

"Oh, to the point sekali, ya. Sebenarnya yang gue mau nggak ada dari salah satu yang lo tawarin barusan." Marcell menyandarkan punggungnya pada sebuah pohon besar di belakang Sabrina dengan posisi berdiri.

"Terus mau lo apa?"

"Hati lo."

Sabrina membuang muka. Modus laki-laki lagi. "Apalagi itu. Gue nggak punya. Hati gue udah nggak ada sejak tujuh tahun lalu. Udah abis."

Sabrina segera membereskan peralatannya dan pergi dari sana tanpa sepatah kata pun. Membuat Marcell di tempatnya bingung dan kemudian tertawa.