Dua pasang mata saling beradu tanpa sengaja, memunculkan getaran aneh sekaligus asing pada salah satunya tanpa diduga. Namun, sayang kontak mata itu hanya berlangsung sepersekian detik karena salah satu dari mereka memutuskan berpaling, sedangkan yang lain masih terdiam di posisi awal tanpa berani berkedip.
Pria bersetelan lengkap penuh wibawa menyentuh dadanya. Ini pertama kalinya perasaan aneh menyeruak di dalam hati saat memandang seorang wanita setelah 27 tahun hidup di dunia.
"Apa Anda baik-baik saja, Tuan?"
Suara bariton dari arah belakang membuat pria tampan yang terlihat lelah itu berdecak kesal.
"Memangnya saya kenapa?"
Keduanya kembali melanjutkan langkah. Namun, tanpa sadar mata pria tampan itu tak bisa untuk tak mencuri pandang pada sosok manis di sudut cafe. Tak ingin melewatkan bagaimana cara wanita asing itu bercerita dengan wajah riang sembari sesekali tertawa lepas bersama seorang teman di sisinya.
Terlalu fokus mengagumi ciptaan Tuhan, tanpa sadar pria itu menabrak salah satu kursi dan menciptakan bunyi yang cukup nyaring. Dia mengumpat sembari menahan malu saat sadar wanita asing itu menatap ke arahnya.
"Tuan, tidak apa-apa?" Sekali lagi pria lain yang sedari tadi mengikuti di belakang bertanya.
"Cuma kursi," balasnya mencoba menutupi malu.
***
Suara pintu terbuka mampu membuyarkan lamunan panjang Devan yang duduk di balik meja kerjanya. Perlahan dia mendongak menatap wanita cantik bertubuh proposional yang terbalut kemeja putih dipadukan dengan rok span hitam selutut. Wanita berjalan mendekat ke arahnya diiringi suara ketukan heels memecah hening.
Devan mengerutkan kening menatap wajah wanita itu terlihat tidak ramah, sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang selalu menebar senyum ceria di wajahnya. Sebuah amplop putih yang dibawanya turut membuat Devan semakin penasaran. Apa ada masalah?
"Ini surat pengunduran diri saya." Wanita itu meletakkan amplop putih itu ke atas meja kerja milik Devan.
Cara bicara wanita itu yang tiba-tiba menggunakan 'saya' bukan lagi 'aku' seperti biasa membuat Devan merasakan ada yang salah. Namun, setelah Devan pikir-pikir tidak ada yang salah dengan mereka, semua baik-baik saja bahkan kemarin mereka masih menonton bioskop berdua.
"Kenapa?" tanya Devan menatap benda putih itu beberapa detik, lalu beralih menatap lembut wanita di hadapannya yang enggan duduk.
"Masih bertanya kenapa?" Wanita berambut sebahu dengan warna kecokelatan itu melipat tangan di depan dada dengan sudut bibir kanan yang sedikit terangkat. Beberapa detik kemudian, dia melempar tatapan tajam penuh kebencian pada pria di hadapannya.
"Apa maksudmu?" Devan semakin tidak mengerti. Dia bangkit dari kursi kebesarannya, beranjak berdiri di sisi wanita yang tiga bulan terakhir mengisi harinya bukan sebagai bawahan dan atasan, melainkan sebagai pasangan.
"Duduk, kita bicarakan baik-baik!" Devan hendak menyentuh wanita itu untuk membimbingnya duduk pada sofa yang berada di sudut ruang. Namun, tangannya langsung ditepis kasar.
"Jangan sentuh saya!" sergahnya cepat dan mundur dua langkah untuk membuat jarak antara dia dan Devan. "Saya tidak sudi disentuh ataupun bekerja dengan seseorang yang sudah menyakiti dan mengkhianati saya!"
"Semalam hubungan kita sudah berakhir dan Anda sudah menyetujui itu, lalu kenapa Anda sekarang berlagak tak tahu apa-apa?" Tatapan sinis dan jijik dilayangkan. "Bertingkah seolah lupa ingatan untuk mengelak dari tindakan menjijikkan yang Anda lakukan semalam? Basi!"
Devan semakin dibuat tak mengerti. Putus? Semalam? Dia bahkan mengurung diri di rumah dan bergelut dengan pekerjaan yang tak kunjung selesai, bagaimana bisa mereka bertemu? Devan merasa ada yang janggal di sini.
"Bukannya semalam saya sudah memberitahu kamu bahwa saya sibuk. Saya ada di rumah mengurus pekerjaan dan tidak keluar ke mana-mana. Bagaimana kita bisa bertemu?" Devan mencengkeram pergelangan tangan wanita yang hendak pergi tersebut. Dia tidak akan melepaskannya dan membiarkan kesalahpahaman ini merusak hubungannya.
Wanita berusaha menyentak agar jemari Devan terlepas dari pergelangan tangannya. Namun, semua sia-sia, tenaga Devan terlalu besar.
"Sebelumnya Anda menelepon saya untuk memberitahu bahwa Anda sibuk. Awalnya, saya percaya, tapi ternyata Anda membohongi saya." Wanita itu tertawa miris. "Semalam saya ke club untuk menemui teman saya dan saya menemukan Anda berciuman dengan jalang sialan itu!" Rahang wanita itu mengeras dengan jemari yang perlahan mengepal karena amarah mulai melonjak.
"Apa kepala Anda terbentur sampai melupakan bagaimana Anda dengan liar mencium wanita bayaran itu, hah?!"
"Cerita karangan macam apa ini?" Tanpa sadar Devan melonggarkan cengkeramannya. Dia menatap tak percaya dengan apa yang wanita itu katakan. "Kamu bahkan tahu bagaimana saya berusaha menahan diri untuk tidak mencium kamu karena saya sangat menghormati wanita. Lalu bagaimana bisa kamu mengatakan saya menciumi perempuan lain?"
Selama ini, Devan tak sedikit pun melakukan sentuhan fisik berlebihan pada wanita itu yang berstatus sebagai kekasihnya. Devan sangat menghormati wanita, terutama ibu dan kekasihnya, lalu bagaimana mungkin dia akan melakukan hal menjijikkan itu dengan seorang wanita bayaran?
"Omong kosong!" Wanita itu menatap nyalang Devan. "Selama ini saya tak pernah percaya dengan desas-desus soal Anda yang suka main wanita karena sikap Anda yang begitu baik pada saya dan menjadikan saya seolah buta siapa Anda sebenarnya. Tapi mulai sekarang saya tidak akan lagi bisa Anda bodohi!"
"Kita selesai!" Wanita itu berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Devan.
"Citra!" teriak Devan memanggil nama sang kekasih, tepatnya mantan kekasihnya.
Devan hendak menyusul, tapi melihat bagaimana wajah Citra yang memerah menahan amarah dan berani membanting pintu hingga tertutup sempurna membuat Devan mengurungkan niat. Lebih baik dia memberikan waktu Citra menenangkan diri terlebih dahulu baru dia menjelaskan semua.
Devan meriah ponsel dan menghubungi asisten pribadinya. "Nino, cari tahu ke club mana Citra semalam dan apa yang terjadi. Saya tunggu secepatnya." Setelah itu, dia langsung mengakhiri panggilan itu secara sepihak.
Devan menyandarkan tubuh pada meja di belakangnya. Genggamannya pada ponsel kian menguat, menyalurkan emosi yang kian memuncak.
"Sial!" Devan mengumpat sembari memukul meja dengan kepalan tangan. Wajahnya yang biasa terlihat datar, tetapi menyejukkan itu kini nampak menakutkan.
***
"Kita putus!"
"Kenapa? Aku ada salah?"
"Gue capek backstreet mulu."
"Kalau gitu ayo go publik. Aku siap dan akan hadapin fans kamu."
"Lo pikir lo secantik apa sampai harus gue ekspor ke publik sebagai pacar gue? Jangan halu, deh. Gue udah dapet yang lebih daripada lo. Jadi enggak usah nyari gue lagi."
Tangisan Winda semakin mengeras saat otak memutar kembali percakapan singkat, tapi menyakitkan antara dia dan Rivan siang tadi. Hati kembali tertikam belati tajam tak kasat mata mengingat penghinaan Rivan yang menjatuhkan harga diri Winda hingga ke dasar jurang.
Tatapan gadis bersurai hitam legam itu tak sengaja menatap foto-fotonya bersama sang mantan kekasih yang masih terpajang cantik di dinding bercat biru tersebut. Hati semakin hancur kala kenangan indah mereka berlomba-lomba mengisi kepala.
Winda bangkit dari tempat tidur dan melepaskan semua foto-foto itu dan memasukannya ke dalam keranjang sampah.
"Rivan sialan, brengsek, bajingan, bangsat, asu, monyet!" Winda mulai mengeluarkan semua kata-kata kasar dan mengabsen nama-nama hewan untuk mengumpati sang mantan kekasih.
"Lo bener-bener aktor berbakat. Bukan cuma bisa akting di depan layar, tapi di belakang layar lo juga pinter banget. Bisa-bisanya gue ketipu sama semua sikap manis lo selama ini!"
"Gue kira lo beneran sayang sama gue, lo beneran serius, taunya gue cuma hiburan buat lo. Gue kira lo mau backstreet sama gue biar fans gila lo itu enggak nyerang dan nyakitin gue, taunya lo malu punya gue. Gue kurang apa, sih? Gue cantik, cuma mata lo aja yang buta!"
Wanita muda dengan mata merah dan bengkak sebagai hiasan wajahnya itu mulai mengomel dengan kesal. Dia menyeka air mata dengan kasar dan kembali melanjutkan kegiatannya melepaskan foto sang mantan.
"Hari ini foto lo yang gue bakar, besok-besok kalau ada kesempatan titid lo yang gue bakar! Kalau bisa seluruh anggota tubuh sekalian, biar mampus lo!"