PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Ashes Of Midgard

Ashes Of Midgard

Penulis:Sirius245

Berlangsung

Pengantar
Sebelum dirinya menyadari apa yang telah terjadi, dia dipanggil oleh kegelapan. Kenapa dia berada di sini? Tempat apa ini? Bahkan sampai sekarang, dia masih tidak mengetahui jawabannya. Beberapa rekan di sekitarnya bernasib sama dengannya, tak seorang pun ingat apa-apa kecuali nama mereka sendiri. Dan ketika mereka muncul dari kegelapan, dunia yang menanti mereka terasa bagaikan dunia fantasy abad pertengahan. Untuk bertahan hidup, Rio membentuk party bersama yang lainnya, belajar keterampilan bertarung, dan mereka bekerja sebagai pasukan bayaran. Dan mereka pun memijakkan kaki mereka pertama kali di dunia Midgard. Apa yang akan menunggunya nanti.... Bahkan dia sendiri tak tahu… Ini adalah kisah suatu petualangan yang lahir dari abu.
Buka▼
Bab

“Bangunlah”

Seperti suara yang terdengar memanggilnya dengan samar, pria itu pun membuka matanya.

Gelap, apakah ini malam hari? Itulah kesan yang diberi oleh pria yang baru saja membuka matanya tersebut. Tetapi, tidak terlalu gelap dia melihat sebuah cahaya dari sebuah lilin. Bukan sebuah cahaya dari sebuah lilin melainkan cahaya dari lilin yang berjejer sepeerti lingkaran. Seakan ada seseorang yang menyalakan lilin-lilin yang bergantungan di dinding yang terlihat tidak memiliki ujungnya tersebut. Dimana ini? Saat dirinya memikirkan hal itu, entah kenapa dia merasa kesulitan dalam bernafas. Dirinya menyentuh dinding tersebut dan dia merasakan sebuah sensasi yang keras dan kasar. Sebenarnya itu tidak bisa disebut dengan sebuah dinding karena permukaan keras dan kasar melainkan lebih tepatnya sebuah batu. Dan tentu saja, jika seseorang tidur diatas hamparan batu maka punggungnya akan terasa sakit. Mungkinkah dirinya saat ini tengah berada didalam sebuah gua? Memang terasa seperti itu. Gua? Kenapa dia bisa sampai berada didalam gua?

Lilin-lilin yang berjajar didinding itu diletakkan cukup tinggi diatasnya, tapi jika dia bangun dan menjulurkan tangannya, mungkin dia bisa menggapai lilin-lilin tersebut. Namun, tempat ini sungguh lah gelap sehingga dia bahkan tidak bisa mengukur seberapa panjang lengannya untuk mencapai lilin yang bergantungan tersebut, dan dia sendiri bahkan hampir tidak bisa melihat apa-apa dibawah kakinya.

Dia bisa merasakan keberadaan orang lain disekitarnya. Jika dia mempertajam indra pendengarannya, dia bisa mendengarkan nafas yang terengah-engah dari orang lain tersebut. Orang lain? Apa yang akan dirinya lakukan jika ada orang lain bersamanya? Dia tidak tahu apa yang akan dirinya lakukan, tapi dia merasa kalau ini cukup lah gawat. Meski demikian, suara itu berasal dari orang lain.

“Apakah ada orang disini?” Dirinya memanggil dengan sedikit ketakutan.

“Ya.” Balasan segera terdengar. Itu adalah suara seorang laki-laki.

“Aku disini,” Dia mendengar suara lainnya yang menjawab, dan kali ini berasal dari seorang wanita.

“Sepertinya begitu,” ada lagi orang yang menjawabnya

“Ada berapa orang disini?

“Kenapa dirimu tidak mencoba untuk menghitungnya?”

“Yang lebih peting, saat ini kita berada dimana?

“Aku tidak tahu…”

“Apakah tidak ada yang tahu dimana kita saat ini?”

“Apa-apaan ini?”

Dirinya kebingungan saat ini. Ada apa ini? Kenapa dia bisa ada disini? Seberapa lama dirinya berada disini?

Pria itu mengepalkan tangannya dengan erat di dadanya, seakan-akan dia ingin merobek sesuatu. Dirinya tidak mengerti. Sudah berapa lama dia berada disini, kenapa dia bisa ada disini? Ketika memikirkan tentang hal itu semua, dia merasa bahwa ada bagian tertentu di otaknya yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan tersebut, namun itu lenyap sebelum dia mampu mengingatnya kembali. Dirinya yang tidak tahu tersebut membuatnya sangat kesal. Dia tidak paham apapun yang tengah terjadi saat ini.

“Kita tidak bisa diam disini selamanya,” seseorang berkata. Itu adalah suara yang berasal dari laki-laki yang parau dan rendah.

Dia bisa mendengar suara batu yang di injak dari bawah telapak kakinya. Sepertinya orang yang baru saja berbicara itu bangkit dari duduknya.

“Kemana kau akan pergi?” Kali ini suara wanita yang bertanya padanya.

“Aku akan mencoba mengikuti lilin-lilin yang tertata di dinding ini.” Dirinya menjawab untuk menunjukkan bahwa hanya itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan.

Tidakkah pria tersebut merasa takut? Kenapa dirinya tidak marah? Pria yang berjarak sejauh dua lilin ini cukup tinggi. Dia bisa melihat kepala pria itu sedikit karena cahaya remang-remang yang berasal dari lilin. Rambutnya tidak lah hitam… Melainkan berwarna abu-abu.

“Aku juga ikut,” salah satu gadis bilang begitu.

“Sepertinya, aku juga ikut,” seorang lainnya juga mengatakan hal yang sama, itu adalah suara dari laki-laki.

“T-tunggu sebentar! Kalau begitu, aku juga ikut!” Suara bocah yang lain juga  membalasnya.

“Ada juga jalan di arah sebaliknya,” kata orang lain. Suaranya sedikit bernada tinggi dan melengking, tapi mungkin dia adalah seorang pria, “Namun, tidak ada lilin disana.”

“Jika kau ingin pergi kearah sana silahkan saja,” pria berambut abu-abu tersebut menjawabnya dengan tak acuh, sembari terus berjalan.

Sepertinya semua orang mengikut pria berambut abu-abu tersebut. Jadi, pria lainnya juga mengikutinya. Dia tidak mau ditinggal sendirian, sehingga dia buru-buru bangkit untuk berdiri. Dirinya berjalan bersama mereka dengan kaku, salah satu tangannya meraba sepanjang dinding yang terbuat dari batu. Tanah yang mereka lewati tidaklah rata, dan agak bergelombang, namun dia masih bisa melintasinya.

Ada beberapa orang didepan dan dibelakangnya, tapi dia tidak tahu siapakah mereka. Dari suaranya, dia menduga bahwa semua orang di sana berusia muda. Meskipun hanya satu atau dua orang, “sepertinya ada yang aku kenal didalam kelompok ini” pikirnya.

“Seseorang yang kukenal? Seorang kenalan? Seorang teman? Aneh,” tak ada satupun hal yang bisa dirinya pikirkan. Tidak, bukan itu. Lebih tepatnya, wajah orang-orang yag disebut “kenalan” atau “teman” menghilang begitu saja ketika dirinya mencoba mengingat-ingatnya. Dia tidak bisa mengingat satu hal pun. Dia merasakan kalau memorinya hilang. Lebih tepatnya memorinya terhisap oleh sesuatu ketika dia mencoba mengingatnya.

“… Mungkin lebih baik tidak usah terlalu memikirkan tentang hal-hal seperti itu.” Kata pria itu pada dirinya sendiri.

Suatu balasan datang dari seseorang di belakangnya. Pasti itu adalah seorang gadis muda. “Tidak memikirkan tentang apa?”

“Tidak, tidak ada. Tidak ada apa-apa… Hanya saja…”

“Tidak ada? Sungguh? Apakah benar-benar tidak ada? Apa yang dimaksud dengan “hanya saja?”

Pria itu menggeleng. Pada suatu tempat, tampaknya mereka perlu berhenti. Namn, mereka terus melanjutkan perjalanan mereka. Akan lebih baik tidak memikirkan suatu hal apapun saat ini. Dia punya perasaan bahwa jika dia semakin mencoba untuk mengingat hal-hal yang dirinya lupakan maka akan semakin banyak hal yang akan dirinya lupakan.

Deretan lilin masih melingkar berjajar tanpa henti. Dia tidak pernah tahu kapan deretan lilin-lilin ini berakhir. Seberapa jauh mereka mesti harus berjalan? Mungkin mereka harus berjalan cukup jauh. Atau mungkin tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh lagi. Apapun itu, dirinya tidak tahu karena dia telah kehilangan kepekaan waktu dan ruang.

“Hei, ada sesuatu disini,” seseorang didepannya berkata. “Apakah itu sebuah lampu?”

“Ada gerbang,” kata pria berambut abu-abu, lantas pria lainnya pun menjawab “Mungkinkah itu sebuah jalan keluar?”

Segera setelahnya, kaki pria itu terasa lebih ringan. Meskipun ia tidak bisa melihat apapun, dia punya perasaan bahwa mereka tengah menuju kearah yang tepat. Langkah kaki mereka perlahan semakin dipercepat, dan tak lama kemudian mereka bisa melihatnya. Lebih terang dari lilin yang menerangi mereka, itu adalah sebuah lentera yang tergantung pada tembok. Benda itu memberikan cahaya pada suatu bangunan yang terlihat seperti sebuah gerbang.

Pria berambut abu-abu menjulurkan tangannya dan menggoyangnya dengan kasar. Selain rambutnya yang berwarna abu-abu, ia juga berpakaian seperti seorang preman. “Aku akan membukanya,” kata pria berambut abu-abu tersebut, dan ketika dirinya menggoncang lebih keras, gerbang itu terbuka dengan mengeluarkan suara yang berderit.

“Whoa!” Beberapa orang berteriak sekaligus.

“Bisakah kita keluar dari sini? Kata seorang gadis, yang tepat berada dibelakang orang itu. Pakaiannya agak mencolok, bahkan sangat mencolok sekali.

Pria berambut abu-abu itu mengambil beberapa langkah maju melalui pintu gerbang. “Ada tangga disini. Sepertinya kita bisa naik ke atas.”

Tangga itu menuju ke sebuah koridor sempit yang berjamur dan berbau yang tehubung pada tangga batu lainnya. Tida ada lilin yang menerangi koridor ini, tapi terlihat sebuah sumber cahaya yang berasal entah dari mana. Semua orang pun langsung membentuk barisan dan mulai naik sedikit demi sedikit. Dibagian atas, ada gerbang lagi, tapi yang satu ini tidak bisa dibuka.

Pria berambut abu-abu menggedor beberapa kali pintu gerbang tersebut dengan kepalan tangannya “Apakah ada orang dibalik sana? Tolong buka gerbangnya!” Teriaknya. Dari teriakannya terdengar kalau dia sangat marah saat ini.

Gadis yang berpenampilan mencolok di belakangnya pun ikut bergabung, dia berteriak dengan segenap udara yang terhimpun di dalam paru-parunya. “Apakah ada orang disana?! Buka gerbangnya!”

“Hei! Buka pintu gerbanya cepat!” Orang dibelakang mereka, yaitu pria berambut pendek dan berantakan juga ikut berteriak.

Sesuatu terjadi tak lama setelahnya. Pria berambut abu-abu menarik tangannya dari pintu tersebut dan mundur sedikit. Sepertinya seseorang telah datang di balik pintu itu. Si rambut berantakan dan gadis yang mencolok juga tiba-tiba terdiam. Terdengar suara gelas yang terjatuh, dan pintu pun terbuka.

“Keluar,” Kata seseorang. Entah kenapa, pria itu tahu bahwa itu adalah suara dari orang yang telah membuka kunci pintu ini.

Tangga itu menuju ke suatu ruangan yang dibangun dari batu. Tidak ada sebuah jendela untuk bisa melihat keluar dari tempat ini. Tetapi, pencahayaan terus menyala pada ruangan ini, ada juga satu set anak tangga yang menuju kearah lantai selain yang mereka naiki saat ini. Ruangan itu sendiri terlihat agak primitif dan berbau, yang pasti, itu bukanlah sebuah ruangan yang seperti pada umumnya di jaman sekarang ini. Orang yang membuka pintu gerbang juga berpakaian aneh. Dan yang membuatnya semakin aneh adalah, pakaian yang menutupi tubuhnya tidak hanya terbuat dari sebuah kain, melainkan juga dari logam… Apakah itu benar-benar… Sebuah baja?