PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Bukan Wanita Malam

Bukan Wanita Malam

Penulis:Yuliyhana

Berlangsung

Pengantar
Setelah malam singkat yang membuat Ziana kehilangan separuh nyawanya, ia berusaha untuk tetap bangkit, mengurus ayahnya yang sedang sakit seorang diri dengan berbekal uang yang ia dapat malam itu. Tanpa dia duga, ternyata malam yang penuh dengan air mata itu, membawanya kepada takdir baik. Ia bertemu dengan pria bertanggung jawab, dan mampu membuat hidupnya lebih baik lagi. Walaupun ada syarat yang harus ia penuhi.
Buka▼
Bab

“Kami tunggu nanti malam di tempat biasa."

Sebuah pesan masuk di ponsel Edric. Edric yang tadi sedang fokus menatap layar datarnya kini berahli pada ponselnya. Sahabatnya Ryan mengingatkan jika nanti malam mereka akan bertemu di klub untuk merayakan ulang tahun sahabat mereka Boy.

Edric tidak berniat membalas pesan itu, setelah selesai membacanya ia meletakkan lagi benda pipi tersebut di atas meja dan kembali tatapannya menghadap layar laptop.

Edric merupakan CEO dari PT Mutiara Group, perusahaan yang bergerak di bidang tambang itu adalah perusahaan keluarga. Setelah menyelesaikan studynya magister 2 di California Edric sudah diutus dengan Abraham untuk membantu mengembangkan perusahaan tersebut.

***

Di tempat lain.

Di sebuah kafe Ryan duduk bersama dengan seorang wanita muda. Wanita dengan paras khas Indonesia itu menatap Ryan sedu. Malam ini ia harus merelakan aset berharga dijual. Sungguh ia tidak pernah bermimpi sebelumnya.

Ziana Valeria Birawa, wanita dengan usia 20 tahun itu bertemu dengan Ryan tanpa sengaja saat Ryan berhasil menyelamatkan dirinya dari para pria yang ingin melecehkannya.

Namun, sayang Ziana yang selamat dari pria-pria berengsek itu malah akan terjerumus dalam lubang yang begitu besar. Sebenarnya Ryan tidak memaksa, hanya Ryan memberikan pilihan oleh Ziana.

Ziana akan diberikan sejumlah uang, asalkan ia mau melayani sahabat dari Ryan di dalam kamar sebuah hotel.

“Ini alamat hotelnya. Kalau kamu bersedia, datang aja langsung ke sana dan persiapkan diri kamu lebih baik lagi,” jelas Ryan.

Ziana memandangi kartu dan beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja. Uang untuk biaya transportasi dirinya.

Setelah berkata seperti itu Ryan meninggalkan Ziana, dengan kebingungan luar biasa.

Ia bingung, apa yang harus dilakukannya saat ini. Ia bukan lah wanita malam, tapi dirinya memerlukan biaya untuk menghidupi kebutuhan sang ayah. Melakukan pengobatan dan membeli obat.

Kakak kandungnya sudah tidak ada kabarnya lagi. Pertemuan mereka terakhir di saat ibu Ziana meninggal. Zivana menghilang dan tak pernah muncul lagi.

Ziana yang kehilangan kontak juga bingung harus menghubungi kakaknya seperti apa? Memberi kabar tentang penyakit yang diderita sang ayah.

“Aku harus kuat, ini untuk kesehatan ayah,” gumam Ziana dalam hati.

Ziana berusaha untuk memperkuat hatinya, jika ini lah peluang dirinya untuk mengobati sang ayah. Ia tidak boleh egois, Ziana harus memikirkan kesehatan sang ayah. Karena hanya ayah yang saat ini dirinya miliki.

Ziana terus membacakan mantra itu untuk tetap tegar dan kuat menjalani semua yang telah ditakdirkan Tuhan kepadanya.

Setelah kepergian Ryan, ia pun meninggalkan kafe itu dan bersiap untuk pergi nanti malam. Sesuai dengan pesan Ryan jika ia harus berpakaian sedikit seksi.

“Mba, boleh saya lihat yang itu?” tanya Ziana, yang sudah berada di sebuah butik.

Ziana menatap gaun itu, gaun dengan panjang sampai mata kaki lalu mempunyai belahan hingga ke atas paha. Yang akan membuat dirinya cantik dan seksi. Aksen pita berwarna gold bagian pinggang menambah kesan manis pada gaun tersebut.

“Ini aja deh mba,” pinta Ziana.

“Enggak dicoba dulu mbak?” tawar sang pramuniaga.

“Enggak usah mbak, sudah pas kok.”

Ziana mengikuti mbaknya hingga kasir, setelah mbaknya tadi menjawab ucapannya dengan anggukan kepala.

Setelah membayar di kasir, Ziana langsung pulang ke rumah kasihan ayahnya ditinggal sendirian dalam keadaan tak bisa apa-apa.

Tidak lupa juga Ziana membeli makan untuk sang ayah. Sampainya di rumah Ziana langsung masuk ke kamar sang ayah, melihat apakah pria paruh baya itu masih dalam keadaan baik-baik saja?

Setelah memastikan ayahnya baik dan masih tertidur. Ziana keluar dan ke dapur untuk menyiapkan makan malam sang ayah, makanan yang di belinya tadi.

“Ayah....”

Ziana mencoba untuk membangunkan Adi Birawa ayahnya. Dielusnya lengan Adi pelan.

“Ayah, makan dulu yuk,” lanjut Ziana lagi.

Perlahan Adi membuka matanya dan kedua sudutnya langsung terangkat saat dilihatnya ada Ziana di sampingnya.

“Kita makan dulu ya yah,” ujar Ziana lagi.

Adi menganggukkan kepalanya pelan. Ziana menyusun bantal di belakang Adi, agar Adi bisa dengan mudah duduk.

“Ayah harus banyak makan, biar ayah cepat sembuh,” ujar Ziana.

“Habis makan, kita minum obat ya. Setelah itu Ziana izin keluar ya ayah. Ziana ada kerjaan sebentar.”

Ziana memberitahu jika dirinya akan pergi keluar ini malam. Terpaksa ia membohongi Adi. Ia tidak ingin jika Adi banyak bertanya dan akan mengetahui apa yang akan ia lakukan nanti.

“Ponsel Ayah di sini aja, jadi nanti jika terjadi sesuatu, ayah langsung telepon Zi aja ya,” ujarnya lagi.

“Iya, kamu hati-hati. Memangnya kamu mau kerja apa?” tanya Adi.

“Bantu teman di kafenya yah, jadi nanti kemungkinan aku akan pulang larut malam,” sahut Ziana berbohong.

“Iya kamu hati-hati ya sayang. Maafkan ayah yang nggak bisa bantu kamu,” lirih Adi.

Deg!

Ziana terdiam sesaat, ayahnya seakan tahu apa yang akan ia lakukan nanti malam. Akan tetapi Ziana masih berusaha untuk selalu tersenyum menatap wajah yang sudah terdapat keriput di sela-sela mata tua itu.

“Iya ayah, sekarang ayah harus habiskan makannya dan minum obat ya, setelah itu ayah istirahat lagi,” suruh Ziana.

Sudah selesai menyuapkan ayahnya makan dan memberi obat, kini Ziana berada di dalam kamarnya untuk bersiap diri.

“Satu jam lagi,” gumam Ziana pelan.

Ia pun menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan pelan sungguh keputusan yang begitu berat buatnya. Ia mempertahankan asetnya hanya untuk suaminya kelak, tapi saat ini ia harus merelakannya kepada pria bahkan pria itu tidak ia kenal.

Karena saat ini ia sangat membutuhkan uang itu untuk operasi sang ayah. Tubuh ayahnya semakin drop saat ini seperti kata dokter jantung jika sang ayah harus segera dioperasi untuk mengatasi penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah jantung.

Operasi itu juga nantinya tidak pengaruh dengan kaki sang ayah yang lumpuh.

Ziana kini memantulkan dirinya di sebuah kaca persegi yang berada di kamarnya. Ia memperhatikan penampilannya sendiri dari atas hingga bawah, sungguh malam ini adalah malam yang berat buat dirinya.

Dengan perasaan yang campur aduk dan langkah yang berat akhirnya Ziana pun keluar dari rumah, dengan jantung yang berdegup begitu cepat. Belum juga sampai di lokasi tapi jantung Ziana sudah tidak bisa berdetak normal. Dengan menggunakan taksi Ziana akhirnya sampai di hotel yang Ryan beri alamatnya tadi.

“Mmmhhhffuuft.”

Ziana menarik nafasnya dan membuangnya perlahan sebelum ia masuk ke dalam hotel bintang lima itu.

Langkah kakinya perlahan masuk ke dalam dan berhenti di depan meja resepsionis.

Saat Ziana ingin menyapa terdengar seseorang memanggil namanya. Sapa lagi kalau bukan Ryan.

“Ayo ikut gua,” titah Ryan.

Ryan membawa Ziana masuk ke dalam lift. Sampai di lantai 10 lift itu terbuka, Ryan jalan lebih dulu disusul Ziana.

“Kamu tunggu di dalam ya, jangan kabur jika kamu kabur maka pembayaran akan hangus,” ujar Ryan memberi tahu.

Ziana mengangguk dan masuk ke dalam, matanya mengitari ruangan itu. Kamar yang begitu besar dan mewah membuat Ziana sedikit takjub.

Blum.

Terdengar suara pintu tertutup, Ziana menatap nanar pintu itu. Ryan sudah meninggalkannya sendiri di kamar itu. Ziana kembali memantulkan dirinya di depan cermin yang ada di kamar itu memastikan jika malam ini tidak ada yang kurang.

Dengan make up flawless membuat tampilannya tidak terlalu mencolok. Dengan gaun warna hitam.

Di bukanya pintu balkon, Ziana memilih untuk menunggu di balkon tersebut. Sambil memandangi kota Jakarta di malam hari.

“Kok lama ya,” gumam Ziana yang sudah hampir dua jam menunggu di luar. Kantuknya juga telah datang, mulutnya terus menguap.

Ziana berusaha untuk menahan matanya agar tak tertidur di sofa panjang yang terdapat di balkon. Ia tidak ingin malam ini gagal, karena jika gagal ia tidak mendapatkan uang.

“Elo masuk dan istirahat di dalam.”

Ziana mendengar suara seseorang berbicara, perlahan ia bangkit dari kursi dan masuk ke dalam, tidak lupa ia menutup kembali pintu balkon tersebut, dengan irama jantung yang begitu cepat ia memberanikan diri melihat siapa yang datang.

“Kamu ngapai di sini?” tanya pria yang baru masuk, dengan jalan yang sudah tidak seimbang.

Ziana tidak menjawab, ia malah mendekat dan menolong pria itu saat ia tidak mampu berdiri.

“Pelan-pelan tuan, saya bantu,” ujar Ziana.

Ziana menompang dan kemudian mendudukkan pria itu di tepi ranjang.

“Kamu siapa? Panggil saja saya Edric,” sahutnya seperti merancau.

Ziana tak membalas, ia memperhatikan pria itu yang terus berceloteh, tidak lama Ziana merasa jika wajah Edric mulai merah, dan Edric seperti cacing kepanasan.

“Panas,” gumam Edric.

Ziana masih diam ia menatap Edric sedikit takut. Tanpa aba-aba Edric langsung mendekap dirinya.

“Tuan....”

Bersambung...