PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Your Obsession

Your Obsession

Penulis:ArumSK

Berlangsung

Pengantar
Tentang Gavin Andratama yang ingin memiliki jiwa, perasaan, dan tubuh Azalea Permata. Tak peduli bahwa ia memiliki seorang kekasih yang sangat tulus mencintainya. Bagi Gavin, semua dapat ia taklukkan karena ia bad boy SMA Nusa Mandiri. Juga tentang Azalea Permata. Sosok gadis lugu yang tak pernah mengenal apa itu cinta. Rela ditaklukkan oleh monster sekolah bernama Gavin Andratama. Sudi menjadi pendosa karena telah melukai perasaan wanita yang pernah membantunya mengikuti Olimpiade Ekonomi.
Buka▼
Bab

Suasana malam itu begitu sunyi dan dingin. Udara malam seolah menusuk kulit sampai ke tulang-tulangnya. Azalea sedang membereskan buku-bukunya yang tersebar tak rapi di atas meja. Ia habis selesai belajar, dan hendak tidur karena matanya sudah terasa berat.

Kacamata minusnya ia lepas dan diletakkan dengan rapi di atas meja. Lantas kakinya bergegas melangkah mendekati tempat tidur. Belum sempat ia naik ke atas ranjang, telinganya yang masih normal tiba-tiba mendengar suara berisik dari luar kamar.

“Suara apa, sih?” Gerutunya tak nyaman.

Ia bergegas mendekat ke jendela besar yang ada di seberang kamar. Mengintip dari sana untuk melihat apa yang terjadi. Tapi, tidak ada apa-apa selain pohon palem yang ada di pot besar bergerak-gerak sendiri. Tak ada angin memang, tapi daunnya bergerak seolah ada yang baru saja menyenggol.

Namun, Azalea tak acuh. Barangkali kucing yang sedang mengincar cicak dan menubruk pohonnya.

“Ssshh.”

Tapi, tunggu!

Kenapa Azalea mendengar suara rintihan manusia? Apakah telinganya salah mendengar? Tapi ia sungguh yakin yang baru saja ia dengar adalah desisan. Dan suara itu berasal dari kiri, tepat di sebuah pot besar yang bertengger dengan daun palem yang kini bergoyang lambat.

“Siapa?” Azalea memberanikan diri membuka suara. Mata dan telinganya awas, sedangkan tangan kanannya sudah memegang gagang sapu yang ia sahut secara cepat dari pojok kamarnya.

Hening. Tidak ada jawaban. Tapi Azalea yakin ia tidak salah mendengar.

“Kalo lo nggak mau jawab, gue bakal teriak minta tolong biar semua warga tau ada maling di sini.”

Tetap tidak ada jawaban.

“Gue hitung sampe tiga ya. Satu… dua… tiga….”

Hidung Azalea mengerut curiga. Kenapa orang ini tidak ada takut-takutnya sama sekali dengan ancamannya?

Jiwa penasarannya membumbung tinggi. Ia nekat keluar kamar melalui jendela sambil membawa sapu. Matanya memicing mencari keberadaan seseorang yang mungkin bersembunyi di balik pot besar.

Dan sosok itu ia temukan dengan tubuh bersandar di tembok. Mata terpejam dan bibir meringis. Telapak tangannya menempel di bahu kanan, dengan darah mengalir di sela-sela jemarinya. Laki-laki itu jelas terluka, entah karena apa.

Mata Azalea sontak melotot kaget, bibirnya melongo lebar, dan syarafnya langsung membawanya melangkah menuju laki-laki yang ia kira seumuran dengannya itu.

“Hei, lo kenapa?” Tanyanya lembut. Memegang pundaknya dengan pelan seolah tak mau menyakiti.

Kepala cowok itu menoleh ke arah Azalea, matanya terbuka dengan pancaran sakit yang sangat jelas.

“Ayo masuk aja, gue obatin luka lo.”

Susah payah Azalea membopong tubuh berat laki-laki itu. Membawanya perlahan ke dalam kamar melalui jendela.

“Tunggu di sini.”

Azalea meninggalkan laki-laki itu di atas sofa kamar. Sedang ia keluar kamar untuk mengambil baskom dan kotak P3K.

Saat ia kembali, ia masih melihat laki-laki itu di atas sofa dengan tubuh setengah berbaring dan ekspresi kesakitan yang sama.

“Lepas jaket lo biar gue bisa bantu ngobatin.”

Cowok itu tak bergeming, lagaknya sangat kesakitan dan seluruh persendiannya lemas. Azalea memandangnya gemas. Mau tak mau ia membantunya melepaskan, dengan telaten dan penuh kehati-hatian.

“Lo anak SMA Nusa Mandiri.” Suara berat nan parau itu mengalun pelan memasuki gendang telinga Azalea. Setelah sekian menit terdiam, baru saat ini laki-laki itu mau membuka suara.

Mata Azalea memicing penasaran. Laki-laki ini mengenal dirinya, tapi mengapa Azalea tidak mengenalnya?

“Gue nggak kenal lo siapa.”

Cowok itu tersenyum miring. “Cewek kutu buku kayak lo mana tau gue siapa.” Azalea tak mengacuhkan. Ia tetap fokus melepas jaket yang masih menutupi tubuhnya. “Gue Gavin.”

“Azalea.”

Mata Gavin beranjak dari seragam sekolah Azalea yang menggantung di pintu kamar. Dari badge di lengan kanan gadis itu lah ia tahu bahwa ternyata mereka satu sekolah. Pandangannya lantas bergulir mengamati seisi kamar yang didominasi oleh warna biru. Warna yang membawa suasana menjadi hangat dan tenang.

Fokusnya kemudian beralih ke meja belajar cewek itu. Di atasnya terdapat banyak sekali buku yang tertata rapi. Azalea jelas seorang gadis yang kutu buku dan bertalenta, terlihat dari dua lemari buku yang terisi penuh dengan berbagai macam judul. Berbagai piala terpajang di sudut kamar, entah sudah berapa perlombaan yang ia juarai.

Satu hal yang membuat Gavin yakin bahwa cewek di depannya ini adalah murid SMA Nusa Mandiri. Karena ia pernah mengantar mantan kekasihnya di suatu cafe, untuk bertemu dengan salah satu kandidat terpilih dalam Olimpiade Ekonomi mewakilkan sekolah. Gavin ingat jika Azalae-lah yang waktu itu ditemui Lestari. Wajahnya masih ia ingat walau samar.

“Gue famous di sekolah. Bisa-bisanya lo nggak tau siapa gue, hahaha.”

Azalea mendengus tak suka. Memangnya kenapa? Toh bukan tokoh penting. Bukan juga seseorang yang harus ia hormati. Ia diam, hanya matanya yang melirik sinis sedetik saja.

“Lo di rumah sendiri? Kok berani bawa gue masuk kamar lo?” Tanya laki-laki itu lagi.

“Ada nyokap. Asal lo nggak berisik, nggak bakal ketahuan.” Balas Azalea sembari menggantungkan jaket Gavin di balik pintu. Ia timpa dengan seragam sekolahnya, agar ketika ibunya masuk ke dalam kamar, beliau tidak melihat jaket itu.

“Lo bisa ikut bahaya nolongin gue kayak gini.” Ujar Gavin sambil menarik ke atas lengan bajunya. Sayatan panjang dengan darah masih mengucur banyak membuat Azalea meringis melihatnya.

“Gue nggak kenal lo siapa. Yang gue tau, ini kewajiban gue buat menolong sesama manusia.”

Gavin menatap penuh arti gadis yang tengah membersihkan lukanya dengan kain kasa tersebut. Di sekolah, tak sering ia berpapasan dengan Azalea. Selain beda kelas, gadis itu tidak gemar berada di luar ruangan. Sedangkan teman-temannya yang lain -Gavin cukup mengenal namanya saja, mereka lebih suka berada di luar kelas terutama pinggir lapangan. Biasanya, sih caper, beserta cewek-cewek centil lainnya.

“Lo kenapa, sih bisa luka gini?” Tanya Azalea sambil menekan luka secara perlahan agar darah tidak keluar terlalu banyak.

“Musuh bebuyutan sekolah nungguin gue pulang ekskul basket di perempatan deket Fleure Rental. Gue dikeroyok, gue nglawan, dan mereka nyabet gue pake pisau. Gue lari, dan mereka masih ngejar gue sampe depan Toko Permadani itu. Terus gue belok, sembunyi di pot lo.”

Desisan sakit keluar dari mulut Gavin. Cowok itu meringis kala Azalea menekan sedikit lebih kuat lukanya.

“Jadi, lo buronan mereka sekarang?”

“Ya, enggak juga sih. Cuma, ya… kalo geng gue lagi ada masalah sama mereka, satu-satu anggota geng pasti diincer kayak gitu. Paling sering, sih gue. Karena gue pelopornya.”

“Gue tau geng lo, perusuh SMA Nusa Mandiri. Suka keroyokan sama sekolah pojok. Tapi gue nggak tau anggota geng lo siapa aja. Makanya gue nggak kenal lo siapa. Dan gue anteng-anteng aja nolongin lo gini.”

“Sekarang udah kenal, kan?” Azalea menatap sejenak. Matanya yang onyx membuat Gavin terpaku sepersekian detik. “Semua cewek Nusa Mandiri selalu mendambakan ada di posisi lo kayak gini. Bisa deket sama gue, ngobatin gue pas gue sakit habis dikeroyok. Lo harusnya bangga bisa ngobatin gue gini.”

Azalea memundurkan wajahnya. Kedua alis tebalnya terangkat tinggi, dengan bibir melongo geli. “Seganteng apa, sih lo sampe gue yang cuma orang biasa harus bangga bisa jadi suster pribadi lo gini?” Katanya sarkasme. Dia mengambil sebuah botol kecil berwarna kuning, dan meneteskan secara hati-hati di atas luka Gavin.

“Aaahhh… awww..., pelan-pelan, dong sakit banget tau.” Jerit cowok itu refleks. Yang membuat Azalea membungkam bibirnya dengan mata melotot ganas.

“Gue, kan udah bilang jangan berisik! Entar nyokap gue bangun, terus kesini.” Desisnya jengkel.

Gavin terengah-engah kala Azalea melepaskan bungkamannya. Wajahnya memerah menahan kesal. “Gue nggak bakal teriak kalo lo bisa alus dikit ngobatinnya. Sakit bego.”

“Nih, obatin sendiri.” Azalea memberikan kotak P3K dengan sedikit kasar kepada Gavin. Kentara sangat jengkel, karena bagaimana bisa Gavin memintanya mengobati secara lembut, jika dari tadi saja ia mengobati dengan penuh kehati-hatian?

Mata elang cowok itu melirik sinis. “Jahat banget masa gue ngobatin sendiri.”

“Lagian lo lebay. Padahal pelan banget gue ngobatinnya. Rempong, tau nggak.” Omel cewek itu sambil balik badan. Duduk di ujung kasur dengan tangan bersidekap. Mengamati Gavin yang malah duduk terdiam dengan mata terpejam.

Lebih dari lima menit cowok itu terdiam tanpa melakukan apapun. Lukanya ia biarkan begitu saja terhembus angin.

Azalea jengah. Bisa mati kehabisan darah kalau cowok itu terus membiarkan lukanya tak ditutupi. Tubuhnya bangkit perlahan, mendekati Gavin dengan mata masih mendelik kesal.

“Nggak usah ngobatin kalo nggak ikhlas.” Seloroh Gavin sebelum Azalea sampai di depannya. Namun cewek itu tak menghentikan langkah, ia masih berjalan menghampiri walau dengan kerut wajah yang sedikit memudar.

Tangannya meraih kembali kotak P3K di pangkuan Gavin. Wajahnya ia dekatkan ke lengan cowok itu, dan meniup lukanya perlahan.

Gavin mendesis merasakan dingin menjalar di luka sayatannya.

“Jangan teriak lagi, oke? Gue nggak bakal mau nampung lo di sini sampe lo bener-bener sembuh dan posisi lo aman.”

Cowok itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Azalea dalam diam. Baru kali ini ia temukan sosok setulus Azalea. Padahal semua warga sekolah tahu wataknya bagaimana. Mereka tidak pernah sudi menolong apabila Gavin memiliki masalah, karena mereka pasti akan kena getahnya juga. Tapi Azalea, dengan sifat tulusnya, ia mau menolong manusia bermasalah seperti Gavin tanpa memikirkan jangka panjangnya.

Usai mengobati luka Gavin, Azalea merapikan kembali kotak P3Knya dan melangkah menuju pintu.

“Gue ambilin minum sama obat pereda nyeri dulu.” Katanya sambil berjalan keluar kamar.

Rasa penasaran Gavin mencuat perlahan, ingin sekali menjelajahi kamar cewek itu. Bukan hanya dengan pandangannya, tapi ingin benar-benar mengamati apa saja yang ada di dalam kamar seorang wanita.

Langkah pertamanya menuju ke meja kecil di samping tempat tidur. Di sana terdapat pigura berisi foto-foto Azalea. Azalea ketika kecil, beranjak remaja, hingga foto terbarunya sekarang. Tidak ada yang istimewa. Maksudnya, tidak ada foto yang memperlihatkan sosok kesayangan Azalea. Hanya kedua orang tuanya.

Saat kakinya ingin melangkah ke meja belajar gadis itu, suara handle diputar dan pintu terbuka membuat niatnya terhenti. Ia langsung berbalik badan dan memamerkan senyum sangsi.

“Ngapain lo?” Tanya Azalea sarkasme. Kedua tangannya membawa nampan berisi segelas air putih dan obat pereda nyeri.

“Cuma penasaran aja sama foto-foto lo waktu kecil. Jelek ya.”

“Anjir. Biasa aja kali komennya. Kayak nggak pernah liat orang jelek aja.” Balas Azalea sengit. Gavin hanya mendengus geli. “Nih, diminum dulu. Biar luka lo nggak terlalu sakit. Habis itu tidur biar cepet sembuh.”

Cowok berambut cepak itu mengamati nampan yang diletakkan di atas meja belajar oleh Azalea. “Gue nggak suka obat.” Ucapnya sambil kembali duduk di sofa.

Tampaknya Azalea tak acuh, ia mengedikkan bahu sambil berkomentar, “Yaudah, biarin aja lo kesakitan.” Lantas berjalan menuju ranjangnya. Mengambil bantal dan selimut, kemudian berbalik badan menuju sofa. “Lo tidur di kasur. Gue di sini aja.”

“Nggak! Manja banget gue tidur di sana. Mending lo aja. Udah, gue di sini nggak papa.”

“Serius? Luka lo?”

“Gue nggak lagi patah tulang, ya. Cuma lecet dikit, besok juga sembuh. Tidur di sini, kan nggak masalah.”

Azalea mengerucutkan bibirnya sepersekian detik. Lantas memberikan bantal dan selimut ke arah Gavin. “Beneran nggak papa?”

Cowok itu hanya memberikan satu jempolnya ke arah Azalea.

“Yaudah, gue tidur dulu.”

Kata-kata itu adalah penutup obrolan singkat mereka malam ini. Kegelapan menyambut Azalea lebih dulu dibanding Gavin.

Senyum tipis terpatri dalam bibir ranum cowok itu. Karena malam ini adalah malam yang sangat mengejutkan. Akibat menjadi buronan geng SMA Taruna Jaya, ia jadi dipertemukan dengan sosok setulus Azalea. Gadis baik yang tak sangat jarang terkespos dunia luar.

Walau mungkin Azalea pernah tahu desas-desus tentangnya, namun gadis itu nampak tak peduli. Sejak pertama Azalea menyentuh lengannya untuk membantunya berdiri, gadis itu tak memiliki tatapan sinis yang biasa dilayangkan oleh siswa-siswi lain. Tatapannya justru penuh kekhawatiran. Bahkan mampu memberikan kepercayaan untuknya dapat beristirahat di kamar pribadi gadis itu.

Azalea tak mungkin bersikap sok lugu. Ia jelas tahu bahwa satu ruangan dengan laki-laki asing dapat memicu sesuatu hal yang tidak diinginkan. Namun, karena hatinya yang sangat tulus, Azalea mampu menyingkirkan pikiran buruk dan memberikan tempat untuk Gavin dapat menyembuhkan diri.

Malam ini Gavin mampu bersembunyi di sebuah ruangan yang tidak akan dapat ditemukan dengan gampang oleh orang lain. Ia akan aman untuk malam ini, dan mungkin malam-malam berikutnya apabila Azalea masih mengizinkannya beristirahat di kamar ini.

Gavin meraih benda pipih datar kesayangannya dari dalam saku celana. Ia perlu menghubungi seseorang yang berhak mengetahui keberadaannya.

‘Gue aman. Basement harus bersih besok.’

‘Nggak bisa, Vin. Tadi habis mereka ngejar lo, mereka langsung kesini. Lo udah pasti tau mereka ngapain.’

‘Pelabuhan aman nggak?’

‘Pokoknya tempat nongkrong kita selain basement udah disabotase sama mereka. Kita harus cari tempat baru.’

Sialan!

Desis Gavin tak terima. Bukan hal yang mengejutkan apabila basement tiba-tiba dirusak. Entah dilempari batu hingga kaca dan gentengnya pecah, atau dengan dibakar. Namun gengnya tak pernah lelah membangun kembali. Basementnya akan kembali utuh seperti semula walau baru tiga hari yang lalu dirusak secara sengaja.

Namun tempat sakral seperti pelabuhan, apabila jatuh di tangan geng SMA Taruna Jaya, sungguh Gavin merasa sangat diinjak harga dirinya. Mereka jelas tahu kelemahannya yang selalu bersembunyi di tempat-tempat berbahaya agar tidak ada yang berani mendekat. Mereka akan dengan senang hati mengolok-oloknya yang dianggap mempunyai mental tempe.