Hujan mengguyur kota sejak semalam. Seorang gadis berusia dua puluh enam tahun tampak santai menikmati sarapan paginya di unit apartemen. Dia adalah Carmen Adelia Giovanni.
Gadis yang mempunyai panggilan Adelia itu bekerja di salah satu perusahaan ternama di New York, sejak satu minggu yang lalu. Ia beruntung mendapati posisi sekretaris seorang CEO, setelah mengalahkan beberapa kandidat pilihan.
Tak lama kemudian, suara ponsel yang terletak di meja, mengalihkan perhatian Adelia dari semangkuk salad. Senyum gadis itu mengembang saat melihat nama yang terpampang di layar benda itu.
“Halo Jes? Ada apa?” tanya Adelia.
>>“Kamu udah berangkat kerja?”
“Ck, masih di unit.” Adelia melihat ke arah jam tangannya lalu berkata, “Bentar lagi aku berangkat. Kenapa?”
>>“Aku mau ke New York besok. Ada kerjaan di sana. Boleh aku nginep di unit kamu?” pinta Jessy.
“Boleh. Jam berapa Lo dateng? Mau aku jemput?” tanya Adelia.
>>“Nggak perlu. Kamu kasih alamatnya aja. Entar aku cari begitu sampai.”
“OK! Sampai jumpa besok. Jangan lupa hati-hati.”
>> “Sayang kamu banyak-banyak. Bye ...”
Adelia meletakkan ponselnya di meja. Ia segera meneguk segelas susu hangat hingga tandas. Lalu, ia mencuci gelas itu sebelum pergi ke kantor.
Pagi ini Adelia terpaksa harus naik taksi agar lebih cepat sampai ke kantor. Ada beberapa berkas yang harus ia persiapkan sebelum meeting dan penyambutan CEO yang baru.
Dua puluh menit kemudian, Adelia telah sampai di lobi Johnson Corporation. Ia segera masuk ke lift khusus karyawan dan menekan tombol paling atas di mana ruangannya berada.
Beruntung, pagi ini hanya dirinya di dalam lift itu. Jadi, ia tak perlu mendapat tatapan intimidasi dari para kandidat yang telah ia kalahkan. Gadis itu tersenyum tipis saat teringat ada salah satu kandidat kalah melabraknya di luar kantor.
Ting
Adelia keluar dari lift dan menuju di mana mejanya berada. Ia segera duduk di kursi dan menyalakan laptop di sana. Gadis itu dengan lincah memeriksa beberapa file sebelum mencetaknya.
Sepuluh menit kemudian, Adelia segera berdiri di depan pintu lift setelah mendapat pesan bahwa sang CEO datang. Seperti hari-hari sebelumnya, ini adalah rutinitas yang harus ia kerjakan sebelum jam kerja dimulai.
Ting...
Pintu lift terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang masih tampak gagah dan tampan. Ia adalah William Johnson. Seorang CEO yang sangat terkenal di Kota New York. Namun, ada yang berbeda kali ini. Di sebelah pria paruh baya itu berdiri pria tampan yang mempunyai wajah tampan dengan kaca hitam dan satu pria lain yang berdiri di belakang keduanya.
“Selamat pagi Mr. Johnson,” sapa Adelia sopan dengan senyum tipis di bibirnya. Gadis itu meraih tas yang berada di tangan William dengan lembut dan membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Selamat pagi Adelia,” balas William.
Adelia berjalan lebih cepat untuk membukakan pintu ruangan William. “Silakan, Sir,” ucapnya sopan.
Setelah William yang dan kedua pria lainnya masuk, Adelia pun turut masuk untuk meletakkan tas kerja William di mejanya.
William beserta laki-laki yang tak lain adalah Alexander Felix Johnson, putra pertamanya. Alex begitu nama panggilan yang disematkan William padanya. Laki-laki berusia tiga puluh satu tahun itu mempunyai wajah tampan dan otak yang cerdas.
Sebelumnya, ia menjadi CEO di kantor cabang yang berada di California dan saat William memutuskan untuk pensiun dini, dialah satu-satunya pilihan paling tepat untuk menggantikannya.
“Kopi, Sir?” tawar Adelia sopan.
“Alex?” William memanggil nama putranya yang masih mengamati interior ruangan yang sebentar lagi akan diambil alih olehnya.
Laki-laki bernama Alex itu hanya mengangguk saja tanpa mengeluarkan suaranya. Kesan pertama yang ditangkap Adelia adalah angkuh.
‘Sepertinya aku perlu amunisi lebih banyak menghadapi manusia dingin seperti dia.’
“Buatkan dua, Adelia. Dan terima kasih,” ucap pria paruh baya itu.
Adelia mengangguk sopan. “Baik, Sir. Silakan tunggu sebentar.”
Gadis itu beranjak menuju pantri kecil yang berada di ruangan itu. Dengan cekatan, ia segera membuatkan dua cangkir latte untuk kedua bosnya tersebut.
Tanpa Adelia sadari, tatapan tajam Alex mengintai dirinya untuk beberapa detik yang begitu cepat.
“Sepertinya ruangan ini perlu di rubah pada beberapa bagian, Dad?” celetuk Alex yang sudah selesai memindai seluruh ruangan sang ayah.
“Katakan keinginanmu pada Adelia. Dia yang akan mengurus semuanya,” jawab William santai.
Alex mendengkus. Ia paling malas berhubungan dengan perempuan. “Tommy, berikan pengarahan pada sekretaris Daddy untuk merenovasi ruangan di sini seperti yang ada di California,” titah Alex kepada asisten pribadi yang dari tadi bersamanya.
“Baik Mr. Johnson,” jawab Tommy sopan.
Adelia yang baru saja menyeduh dua cangkir latte di pantri, segera memberikan kepada bos-nya tersebut.
“Silakan Mr. Johnson dan Mr. Alex,” ucap Adelia.
Mendengar nama Alex keluar dari mulut Adelia membuat laki-laki yang mempunyai nama itu menoleh ke arahnya.
“Ulangi sekali lagi!” titah Alex kepada Adelia dengan suara beratnya.
“Yang mana?” tanya Adelia bingung.
“Ulangi saat kau memanggil namaku,” ucap Alex datar.
“Oh, itu. Silakan Mr. Alex,” ulang gadis itu.
Laki-laki berwajah datar itu tertegun untuk beberapa saat. Telinganya begitu membenarkan panggilan dari Adelia, namun otaknya menolak untuk menerima. Ia kembali mengubah wajah datarnya, lalu berkata “ Panggil aku Mr. Felix. Jangan menyebut nama depanku.”
William terkesiap mendengar putranya meminta Adelia memanggilnya dengan panggilan itu. Satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama itu hanya Mommy -nya saja selama ini. Pria paruh baya itu mengulum senyum misterius.
Sebenarnya bukan William saja yang terkejut. Itu juga terjadi pada Tommy. Sepengetahuannya bos-Nya itu akan menggunakan nama keluarga untuk panggilan di kantor. Tommy hanya diam mengamati apa yang akan dilakukan bos arogan sekaligus sahabatnya itu.
“Ikuti saja, Del,” ucap pria paruh baya itu.
“B-baik Mr. Johnson,” ucap Adelia gugup. Sial, tatapan lembut dari William membuatnya gugup.
“Kalau begitu saya pamit kembali ke meja saya Mr. Saya masih ada beberapa berkas yang perlu diteliti untuk meeting nanti.” Adelia membungkukkan badan dan segera keluar dari ruangan bos-Nya itu.
Fyuh ...
Adelia merasa lega kembali ke meja kerjanya. Ia kembali berkutat dengan dokumen yang masih belum diteliti olehnya.
Kreek...
Tommy keluar dari ruangan itu menuju meja kerja Adelia. Gadis itu tampak tak terkejut dan seolah tidak terganggu saat laki-laki itu memandangnya.
“Ada yang perlu saya bantu Mr. Tommy?” tanya Adelia tiba-tiba.
Tommy tersentak, “Ah ... Tidak. Maksudku aku ingin memberitahu tentang perubahan interior ruang CEO. Mr. Alex menginginkan ada beberapa yang perlu di renovasi dan diganti dengan yang baru. Ini sebagai referensi untuk menata ruangan yang sesuai dengan keinginan Mr Alex.” Tommy memberikan beberapa lembar gambar kantor Alex yang berada di California.
Adelia tampak meneliti satu persatu gambar tersebut. Dengan cepat otak pintarnya mampu memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk mengubah dekorasi interior ruangan itu sesuai dengan gambar yang ia lihat.
“Satu minggu Mr. Tommy. Saya pastikan dalam satu minggu ruangan sudah bisa ditempati,” ucap Adelia yakin.
Tommy melongo. “Kamu yakin? Hanya dalam seminggu?” tanya Tommy gamang.
Adelia mengangguk mantap. “Tentu. Saya paling ahli memprediksi pembangunan dan proposal dana. Saya yakin hanya butuh satu minggu.”
“OK! Akan aku katakan pada Mr Alex. Oh ya, panggil aku Tommy saja,” ucap Tommy.
“Baiklah. Panggil aku Adelia,” Adelia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan laki-laki itu.
Tommy pun mengulurkan tangannya untuk menerima jabatan tangan tersebut.
“Jangan segan-segan bertanya padaku kalau nanti kamu menemukan kesulitan,” pesan Tommy.
“Terima kasih,” ucap Adelia singkat.
Setelah Tommy kembali ke ruang CEO, Adelia segera menata dokumen di mejanya sebelum memanggil William untuk ke ruang meeting.
Kini Adelia mendampingi William menuju ruang meeting. Ia berjalan di belakang pria paruh baya itu sambil membawa beberapa dokumen dan I-Pad.
“Berapa lama meeting kali ini?” tanya William.
“Satu jam Mr. Meeting kali ini hanya mengoreksi kesalahan jurnal minggu lalu saja. Dan membahas pesta penyambutan untuk Mr. ... Felix,” jawab Adelia.
William menarik kedua ujung bibirnya. “Baiklah. Aku serahkan urusan pesta penyambutan padamu.”
“Saya akan berusaha menyiapkan dengan baik Mr,” jawab Adelia sopan.
Saat pintu ruangan terbuka suasana di dalam menjadi tenang seketika. William berjalan dengan tenang menuju tempat yang telah disediakan untuknya. Diikuti Adelia yang kini berdiri di sampingnya.
“Meeting kita mulai”
.
.
.
Bersambung ...