PopNovel

Baca Buku di PopNovel

HUTANG

HUTANG

Penulis:Maulina Fikriyah

Berlangsung

Pengantar
"Aduh, uangku ketinggalan, gimana ini?" Salah satu dari sekian banyak kalimat tipuan milik mbak Wati. Sisil, penghuni baru kampung Durian Ceblok, seorang ibu rumah tangga yang kebetulan bertetangga dengan mbak Wati, harus selalu meminjamkan uang miliknya untuk membayar belanjaan milik Suwati. Ikuti terus keseruan cerita Sisil dalam menghadapi akal bulus Suwati.
Buka▼
Bab

HUTANG

1

"Hay mbak Sisil, mau belanja ya? Saya numpang dong!" Kata mbak Wati, tetangga depan rumahku. Belum juga aku membuka mulut, badannya yang bongsor sudah naik lebih dulu dan duduk di belakangku.

Aku menghembuskan nafas kasar. Bukan sekali ini saja mbak Wati memintaku untuk memberinya tumpangan.

_______

Namaku Sisil. Seorang ibu rumah tangga tanpa anak. Baru sebulan aku menempati rumah baruku dan mas Yoga-- suamiku. Pernikahan kami baru menginjak usia 2 tahun. Dan Alhamdulillah, Allah memberi kami rizki yang begitu cukup, sehingga memudahkan suamiku mendirikan rumah di atas tanah peninggalan orang tuanya.

Tetangga kanan kiri begitu ramah. Tapi keramahan itu tidak berlaku untuk mbak Wati. Suwati nama lengkapnya. Seorang ibu rumah tangga beranak satu yang hidup seatap dengan mertuanya. Suaminya bekerja sebagai satpam di sebuah rumah makan. Itu yang kutahu.

"Buruan dong mbak Sil, udah siang ini." Omelnya karena aku tak kunjung menyalakan mesin motor.

"Kalau buru-buru mending mbak Wati berangkat sendiri saja, karena saya juga mau ke supermarak untuk berbelanja kebutuhan bahan makanan." Aku mencari alasan agar Leha kembali turun dan berubah pikiran untuk menumpang di motorku.

"Wah, kebetulan nih. Saya juga mau dong ikut ke supermarak, yaa, itung-itung nemenin mbak Sisil belanja lah ya." Dia semakin merapatkan duduknya.

Aku hampir saja terperosot ke depan jika tidak segera menyorong badan gempalnya ke belakang.

"Eh, sorry dorry strawberry, terlalu maju ya saya duduknya," ucapnya nyengir.

Dengan perasaan dongkol, akhirnya kulajukan motor Scobydoo bydooku.

Aku paham betul watak mbak Wati. Dia akan terus mengejar target sampai mau menuruti kemauannya. Jadi berdebat dengannya, rasanya sangat percuma. Hanya membuang tenaga dan energi.

Bukan aku tidak rela memberikan tumpangan pada mbak Wati. Tapi tiap kali dia ikut serta berbelanja, ada saja akal bulusnya agar aku mau meminjamkan uang.

"Total semuanya kang," Mbak Wati menyerahkan seluruh belanjaannya pada tukang sayur di ujung jalan.

"Semuanya 55 ribu mbak." Mang Jono, tukang sayur langganan para ibu-ibu kampung durian ceblok menyerahkan bahan belanja mbak Wati.

"Waduh, kok uangnya kurang ya, ish, gimana ini?" Raut wajahnya dibuat seolah sedang panik.

Bagi orang yang belum tau watak mbak Wati, pasti akan merasa iba. Tapi bagiku, tetangga baru yang sudah sering dia recoki, sudah hafal dengan lagu-lagunya.

"Mbak Sil, pinjam dulu dong, cuma 55 ribu ini."

Aku pura-pura tidak mendengar. Masih sibuk memilih sayur untuk memasak capcay kesukaan mas Yogi.

"Woy, mbak Sil. Budek ya?!" teriaknya lantang.

Aku melotot, dia pikir dia siapa berani membentakku di hadapan banyak orang?

"Apa?" tanyaku ketus.

"Pinjam 50 ribu, sini cepat!" dia menyodorkan tangan di hadapanku.

"Nggak ada! Aku bawa uang pas." Kembali aku berpura-pura sibuk memilih bahan sayuran.

"Ish, pelit amat sih. Nanti juga kuganti. Jangan ngeremehin Suwati ya kamu mbak Sil!" kini para ibu-ibu yang datang berbelanja melirik ke arah mbak Wati dengan tatapan heran.

"Lagian 55 ribu itu kecil buatku, baru aja dipinjemin uang segitu udah bilangnya nggak ada!" cerocosnya lagi.

"Maaf mbak, memang nggak ada. Ini juga bawa pas buat belanja."

Aku malu sebenarnya. Tatapan ibu-ibu mulai mengintimidasiku. Apalagi statusku yang masih baru tinggal di kampung durian ceblok. Tapi aku sudah bertekad, tidak akan lagi masuk pada perangkap mbak Wati.

"Alasan! Tadi kan kamu bilang mau ke supermarak. Pasti ada uang lebih dong!"

Dasar tidak tau malu!

"Inget ya, kamu itu orang baru disini. Harusnya bersikap tolong menolong lah pada tetangga. Apalagi ini aku pinjam loh, nggak minta!" ujarnya nyolot.

"Sudahlah mbak Wat, saya memang ngga ada, bisa coba pinjam ke tetangga yang lain. Itu ada Bu Desi." Usulku.

"Ya nggak bisalah! Aku datangnya kan sama kamu, masa mau pinjam sama orang lain!" mbak Wati masih kekeuh ingin memalak uangku.

"Udahlah Wati, mending kamu kembaliin itu belanjaanmu, saya lihat-lihat tiap belanja kok selalu beralasan uangnya kurang lah, uangnya ketinggalan lah, ujung-ujungnya malah pinjam ke mbak Sisil. Kamu sengaja ya, mau ngibulin tetangga baru?!" sahut Bu Marni membelaku.

"Biarin napa sih! Lagian aku itu minjam, nggak minta!" matanya melotot ke arah Bu Marni.

"Sudahlah mbak Wati, malu dilihat banyak orang. Lagian memang benar apa kata Bu Marni, mbak Wati sengaja kan ngelakuin ini, hutang dari seminggu yang lalu saja sudah terkumpul 250 ribu, dan mbak Wati nggak ada niatan mau bayar, setidaknya nyicil lah." Ucapanku menuai bisik-bisik para emak-emak berdaster yang sedang antri memilih bahan masakan.

"Astaga, Wati. Pantas saja kamu begitu nempel sama mbak Sisil. Ternyata punya pisang dibalik sarung," celetuk Firda, tetangga sebelah rumahku.

"Ha ha ha"

Para emak berdaster tertawa mendengar penuturan Firda. Apa coba maksutnya?

Pisang di balik sarung?

"Jangan nuduh sembarangan kalian! Lagian Sisil itu orang baru, bisa saja dia berbohong ingin membuatku malu, iya kan Sil, ngaku?!" suaranya mulai meninggi, apalagi setelah para ibu-ibu mencibir dirinya yang memang getol sekali mendekatiku.

"Astaghfirullah, buat apa saya ngelakuin itu mbak Wat?" aku mengurut dada. "Dari kemarin saya memang diam, tapi sepertinya mbak Wati nggak bisa dikasih hati, buktinya hari ini, saya jadi tau seperti apa watak asli sampean, mbak." Kataku mulai gemas dengan ucapan mbak Wati.

"Halah, kalian memang sama saja! Nih mang, saya kembalikan, nggak jadi belanja!" Mbak Wati membuang kasar sekantong kresek pada mang Jono.

"Astaghfirullah"

"Innalilahi"

"Ya Allah Wati!"

Dan masih banyak lagi lirihan para ibu-ibu melihat tingkah mbak Wati yang sudah keterlaluan.

"Tak doakan kamu mandul!" teriaknya dengan jari telunjuk mengarah ke wajahku.

Kasak-kusuk mulai terdengar, aku hanya bungkam mendengar sumpah serapah mbak Wati kepadaku. Beberapa tetangga yang juga turut berbelanja, mengusap lenganku lembut guna menenangkan.

"Sudah mbak Sil, nggak usah dipikirin. Emang gitu si Wati. Kalau ada tetangga baru, suka banget manfaatin, dulu si Firda tuh, sampe lama banget digituin, malah uangnya nyangkut 500 ribu di Mbak Wati. Tanya aja sama orangnya." Ucap Bu Marni yang kini melihat ke arah mbak Firda.

Mbak Firda hanya tersenyum dan mengangguk pertanda membenarkan ucapan Bu Marni.

Benar-benar keterlaluan Mbak Wati. Seandainya aku tadi hanya diam dan menuruti kemauan mbak Wati, entah harus berapa ribu lagi yang aku keluarkan kedepannya.

Bersambung

Bersambung