PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Yang Tertukar

Yang Tertukar

Penulis:Nasaldinarta

Berlangsung

Pengantar
Gysta pernah berharap, kalau suatu hari nanti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Mun seperti kata pepatah mengatakan; tidak semua hal yang kita inginkan akan dikabulkan oleh Tuhan, maka sampai saat ini pun semua itu masih menjadi sebuah harapan. Sampai suatu ketika takdir mengungkapkan kebenarannya, Gysta menjalani kehidupan yang berbeda mulai saat itu. Namun bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, malah kesengsaraan lah yang mengelilinginya. Dapatkah dia bertahan? atau malah menyerah dengan keadaan?
Buka▼
Bab

"Bangun Gysta! perawan kok malas. lihat itu Si Mika! pagi-pagi udah rapih berangkat kerja, lah kamu masih tiduran di kasur kayak gini. Malu atuh sama ayam!" Sani berseru dengan marah sambil membuka kain penutup jendela kamar putrinya. Perempuan berusia empat puluh delapan tahun tersebut memang sering marah akhir-akhir ini.

Bukan tanpa sebab, dia hanya merasa kesal karena nasib anak satu-satunya itu tidak sebaik anak tetangganya. Disaat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, layak dan gajih yang besar, Gysta malah menjadi pelayan restoran rendahan. Dan pagi ini, melihat putrinya belum bangun juga, dia merasa tambah kesal saja.

"Perut aku sakit, Bu! kayaknya mau dateng bulan. Cekit-cekit gitu rasanya. Aku gak kerja dulu hari ini, gak kuat Bu." Gysta mengerang pelan dari balik selimut yang dia pakai. Perut bagian bawahnya terasa begitu sakit, dia seperti tidak memiliki tenaga untuk bangun sekarang.

"Alah, alesan! kalau malas, ya malas aja, gak usah banyak drama! heran, gak punya duit kok sok-sok an gak mau kerja." Sani memang selalu bersikap keras terhadap Gysta, tidak pernah sekalipun dia memanjakan putrinya tersebut. Jadi, disaat Gysta sakit pun, dia hampir tidak pernah mengizinkannya untuk diam di kasur.

"Ini beneran sakit, Bu! boleh minta dibuatin air panas gak? buat ngompres perut aku. Atau obat sakit menstruasi dari warung juga gak apa-apa. Aku gak kuat berdiri, Bu." Rasanya Gysta ingin teriak saja saat ini. Kenapa saat datang bulan datang, perutnya selalu tersiksa seperti ini? dia ingin normal-normal saja, Tuhan.

Sani mendengus melihat Gysta yang saat ini sedang menekan perutnya dengan guling, tubuh putrinya itu bergerak ke sana- kemari sambil mengerang kesakitan.

"Kalau mau obat, ya buat sendiri! jangan nyusahin orang lain! kita itu orang susah, gak usah belagu bertingkah kayak tuan putri kamu! apa-apa pengennya dilayani. Sadar diri!" Sani melengos keluar dari kamar kecil milik putrinya. Memilih kembali mengerjakan pekerjaannya di dapur daripada meladeni keinginan Gysta.

"Ada apa sih, Bu? kok pagi-pagi udah marah? " Dhanu yang saat itu sedang menikmati secangkir kopi hitam miliknya bertanya dengan heran. Pasalnya, dia mendengar sang istri berteriak di dalam kamar Gysta.

"Tuh anak kamu! udah gede kok malas! bukannya berangkat kerja, malah tiduran mulu di kasur. Gak malu dia sama si Mika, anaknya Bu Eri." Sani mengadukan apa yang terjadi barusan, tentunya dengan sedikit memalsukan kebenarannya. Dia bahkan tidak mengatakan tentang Gysta yang sedang kesakitan sekarang.

"Ya ditanya atuh! mungkin Gysta sakit. Kamu tuh sama anak sendiri kok gak ada pengertian sama sekali." Laki-laki setengah baya berkacamata itu memang lebih bisa bersikap lembut terhadap putrinya.

Tidak seperti istrinya yang memiliki watak keras kepala dan egois, Dhanu memiliki pemahaman yang lebih peka terhadap Gysta. Jadi, seburuk apapun Sani mengatai Gysta, dia tidak pernah menganggapnya sama sekali.

"Bela aja terus! pantes manja dia, orang Bapaknya yang manjain! " Sani kembali mendengus dengan kesal, kemudian dia pergi meninggalkan suaminya yang saat itu sedang duduk di atas kursi butut di ruang tengah rumah mereka.

Dhanu menghela nafasnya pelan, mencoba meredakan hatinya yang dipenuhi kekesalan sekarang. Pemikiran mereka berdua memang selalu bertolak belakang jika menyangkut Gysta. Dhanu yang cenderung lebih sabar dan Sani yang lebih kasar dan keras kepala.

Ayah dari Gysta itu menyimpan kopinya di atas meja kayu, kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar anak satu-satunya. Sudah dia duga, Gysta memang sedang sakit. Istrinya itu memang keterlaluan, bukannya memberikan obat pereda nyeri kepada putrinya, dia malah marah-marah tidak jelas.

"Bapak panasin air dulu buat kamu ya. Abis itu, Bapak beliin kamu obat ke warung. Sabar ya, ditahan dulu sakitnya!" Dhanu mengusap punggung putrinya dengan lembut, berharap kalau itu akan sedikit mengurangi sakit perut Gysta. Dia amat tahu tentang sakit bulanan yang selalu dialami Gysta jika datang saatnya menstruasi, jadi dia sudah tahu apa yang harus dilakukan sekarang.

"Ma..kasih, Pak!" Gysta menjawab dengan pelan. Dia benar-benar sudah kehilangan tenaga saat ini.

Matanya juga sudah bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Ditambah sikap ayahnya yang selalu baik kepadanya seperti ini, membuat Gysta ingin semakin menangis saja. Dia bersyukur karena memiliki Dhanu yang selalu mengerti tentang keadaannya.

Ditengah kesakitannya, Gysta sedikit melamun. Andai saja dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang, mungkin ibunya akan berhenti bersikap tidak peduli padanya.

Andai saja dia bisa mendapatkan pria mapan seperti yang ibunya inginkan, mungkin Sani bisa bersikap lebih baik dan lebih lembut dari ini. Andai saja dia seberuntung Mika tetangga mereka, mungkin dia bisa melanjutkan pendidikan nya dengan gratis, dan mungkin Sani akan sedikit lebih menghargai usahanya.

Andai saja, andai saja dan andai saja. Ya, semua itu hanyalah andai. Sampai kapanpun itu akan sangat mustahil untuk terjadi. Bukannya dia tidak mau berusaha, hanya saja, seberapa keras pun dia mencoba, pada akhirnya dia tidak berhasil.

Jadi, daripada lelah memperjuangkan hal yang tidak pasti, lebih baik dia menjalani semuanya dengan lapang dada. Tanpa mendengarkan ocehan ibunya, tanpa memperdulikan hinaan ibunya, dia akan terus berusaha di jalannya sendiri. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia sedikit mengharapkan keajaiban akan terjadi suatu saat nanti.

Kebahagiaan yang dia cari, akan datang dan menghampirinya. Menyambutnya dengan segala keindahan seperti apa yang selalu dimimpikannya selama ini. Semoga hari itu akan datang secepatnya. Tuhan, Kau mendengarkan doaku bukan?

. . . . .

''Selamat ulang tahun sayang, ayo bangun, Nak!'' Suara lembut dari seorang perempuan yang dia sayangi juga cahaya matahari yang menerobos masuk ke dalam celah retinanya yang terpejam membuat perempuan muda itu tersadar dari tidur lelapnya.

''Mama udah ngucapin itu tadi malem.'' Suaranya terdengar serak, khas suara seseorang yang baru bangun tidur. Tangannya terangkat ke atas saat mulut kecilnya menguap, dia masih mengantuk sebenarnya.

''Ayo cepetan mandi, yang lainnya udah pada nungguin. Gak mau ngebuat mereka nunggu lama kan?'' wanita setengah baya yang masih terlihat cantik diusianya itu mengusap kepala anak bungsunya dengan sayang.

''Oke, aku bangun sekarang.'' Menyingkirkan selimut tebal dari atas tubuh kurusnya, perempuan muda tersebut bangkit dari ranjang empuknya. Dia sedikit bergidik saat kedua kakinya menyentuh lantai marmer kamarnya yang dingin karena pendingin ruangan.

''Ya udah, Mama keluar. Oh, ya, Kana?''

''Kenapa Ma?'' Perempuan yang dipanggil Kana itu otomatis menoleh kembali ke arah sang ibu saat dia sudah hampir sampai di pintu kamar mandi.

''Jangan lama atau hadiah dari Abang-abang kamu Mama yang ambil.'' Senyum sang ibu penuh dengan ancaman. Jika tidak seperti itu, maka yakinlah Kana akan menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi nanti, seperti biasa.

''Oke, segera!'' Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat, tidak ingin jika dia sampai terlambat ke bawah. Ketahuilah, bahwa ancaman ibunya tidak pernah bohong. Dan kehilangan hadiah ulangtahun yang luar biasa dari kedua kakaknya adalah hal yang tidak dia inginkan.

Kana memilih membasuh wajahnya terlebih dahulu sebelum membasuh tubuhnya dengan air dingin. Sesaat kemudian dia tersenyum manis saat melihat pantulan wajahnya sendiri dari sebuah cermin besar yang terpampang dihadapannya. Betapa sempurna wajah yang dia miliki.

Entah sudah berapa kali dia mengatakan hal ini kepada dirinya sendiri; kau adalah perempuan tercantik saat ini. Wajah yang halus dan putih mulus dengan sedikit rona merah alami dipipinya, mata yang jernih berbentuk bulat sabit serta bibir tipis yang sedikit penuh membuat Kana seperti titisan dewi yang tersesat di dunia yang fana ini. Dia terlalu cantik untuk dipanggil manusia, itulah kalimat yang sering diucapkan oleh orang-orang disekitarnya.

Senyuman manis dibibirnya berubah mnejadi sebuah senyuman puas saat mengingat jika ribuan orang diluar sana begitu memuja dirinya yang berharga ini. Namun tarikan didbibirnya itu menghilang dalam sekejap saat kembali mendengar percakapan ayah dan ibunya yang seharusnya tidak dia dengar.

''Well, gue bakalan tetap jadi tuan putri di rumah ini sampai kapanpun.'' Tangannya yang putih dan lembut terkepal dengan kuat saat tahu bahwa sebentar lagi pemilik sebenarnya akan datang dan menggantikan posisinya. Sampai kapanpun Kana tidak akan mengalah, dia akan tetap berdiri di tempat yang seharusnya sampai orang itu datang ke rumah ini.

''Gue pengen lihat se-superior apa dia nanti.'' Kana tersenyum culas saat mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia bukanlah orang yang seharusnya menjadi bagian dari keluarga besar Widyatama.

Setelah semalaman merenung dan memikirkan ulang perkataan orangtuanya yag tidak sengaja dia dengar di ruang keluarag tadi malam, Kana mencoba menguatkan dirinya sendiri untuk tetap tenang. Bisa saja itu adalah informasi yang salah, dan bisa saja dia yang salah mendengar. Dia sebenarnya ingin melupakan kejadian tersebut, namun sungguh perkataan orangtuanya sangat-sangat mengganggu ketenangannya. Kana merasa posisinya terancam saat ini.

Kana memang sudah tahu jika dia bukanlah anak kandung keluarga ini, dia hanya berpura-pura berperan sebagai putri bungsu Widyatama. Atas bantuan seseorang enam belas tahun yang lalu, dia akhirnya bisa masuk ke dalam keluarga ini.

Dulu, Kana tidak pernah tahu apa tujuan orang tersebut untuk menjadikan Kana sebagai putri bungsu keluarga Widyatama yang hilang. Namun sekarang dia paham, dan tentu saja dia tidak mau kehilangan keluarga yang sudah merawat dan membesarkannya ini. Belum lagi semua fasilitas mewah yang dia dapatkan selama di sini, Kana tidak akan pernah mau melepaskannya.

. . . . .

''Kok Adek belum turun juga Ma?'' seorang pemuda tampan berkacamata menanyakan keberadaan adiknya yang tak kunjung turun.

''Tuh adek kamu, Bang!'' Istri dari Dierja Widyatama itu menunjuk Kana yang baru saja sampai di anak tangga terakhir. Omong-omong, Abang adalah panggilan khusus untuk putra kedua kelurga Widyatama, dia sering disapa Endra. Profesinya sebagai seorang tenaga kesehatan di RS keluarga Widyatama, lebih tepatnya dia adalah seorang Dokter.

''Pagi semuanya, Abang pagi-pagi udah nyariin Kana aja, kangen ya?'' Pagi ini gadis cantik itu mengenakan sebuah dress di atas lutut berwarna putih gading, rambutnya yang ikal dan kecokelatan tergerai indah dipunggungya yang tampak sempit dan rapuh. Wajahnya tersenyum jahil menatap kakak keduanya yang saat ini menatapnya sedikit kesal.

''Pagi princess-nya Papa, tidur kamu nyenyak?'' Dierja menyimpan tab yang sedari tadi dia pegang ke atas meja makan, dia tidak akan menganggurkan kehadiran putri kesayangannya hanya karena sebuah pekerjaan.

''Em, tadi malem Kana mimpi kalau hari ini bakalan ada kejutan besar buat Kana.'' Gadis itu mengerling kepada sang ayah. Begitulah kepribadian seorang Kana Anngun Widya dihadapan keluarganya, begitu lembut dan ceria. Membuat semua orang betah ingin berlama-lama dengannya.

''Makan yang benar, Kana!'' seorang pemuda yang lebih dewasa dari Endra mengusap pelan kepala adiknya kemudia mengecup kening Kana dengan sayang. Itu adalah sebuah kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan, dia akan selalau melakukan itu saat bertemu dengan adik bungsunya ini.

Sedangkan Kana hanya tersenyum manis mendapat perlakuan manis dari Hadyan, kakak pertamanya. Dia amat senang diperlakukan seperti seorang putri di rumah ini. Itulah yang memang seharusnya dia dapatkan.

''Sayang, siang nanti kita ke butiknya Tante Diana ya? buat ngambil dress kamu, katanya udah siap dipakai. Mama lihat potonya aja udah suka banget. Kamu bakalan jadi yang tercantik di pesta kamu nanti malem.'' Wanita bernama Hinda Cassandra itu menatap putrinya bahagia, betapa dia sangat menantikan pesta ulangtahun Kana nanti malam.

''Oh ya? pasti gaunnya cantik banget. Kana gak sabar buat acara nanti malam.'' Matanya nampak sipit saat tersenyum, itu membuat Kana terlihat manis sekarang. Hadyan yang duduk tepat di samping adik bungsunya ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar di mata Kana.

''Kayaknya kamu lebih gak sabaran buat ketemu Bryan deh, daripada acarnya. Bener kan?'' Endra menatap adiknya dengan satu alis terangkat, dia suka sekali menjahili Kana.

''Abang!''

''Hahaha!''

. . . . .

TBC

Jangan lupa vote dan komen! terimaksih atas dukungannya.

20 Juli 2021, Nasaldinarta.