PopNovel

Baca Buku di PopNovel

VLINDER

VLINDER

Penulis:Firnanda

Berlangsung

Pengantar
VLINDER berasal dari bahasa Belanda yang artinya 'kupu-kupu'. Menjabarkan seorang gadis remaja yang mempunyai paras cantik bak dewi dalam mitologi Yunani. Mungkin banyak perempuan di luar sana yang mengidamkan wajah yang cantik, tubuh yang modis dan ideal. Bahkan tidak sedikit perempuan berlomba-lomba untuk mempercantik diri. Tapi, tidak dengan Aalin. Baginya, paras cantik merupakan kutukan yang harus ia derita.
Buka▼
Bab

Beep! Beep!

Sebuah jam weker berwarna biru muda berdering di saat jarumnya menunjukan pukul 06.15, Seorang pria dewasa yang tidur dengan posisi terlentang dan buku yang berada di tangannya mengerjapkan matanya beberapa kali.

Faraz Gazbiyya Al-Hanan, tangannya mengambil sebuah kacamata yang terletak di samping jam weker lalu beralih untuk mematikan jam weker yang sedari tadi terus berbunyi.

Faraz berjalan menju kamar mandi untuk melakukan ritualnya di pagi hari. Usai itu, Faraz beralih untuk memakai pakaian kantornya.

Faraz membuka laci kecil lalu mengambil sebuah jam tangan. "Jam 07.03" monolog Faraz kemudian memakaikan jam itu pada pergelangan tangannya.

Saat di rasa sudah rapih, Faraz berjalan keluar kamar. Saat hendak menuruni tangga, pandangannya tertuju pada kamar sebelah yang pintunya tidak menutup dengan sempurna.

"Pasti belum bangun" ujar Faraz.

Faraz melangkahkan kakinya menuju kamar itu. Dan benar saja dugaan nya, seorang gadis cantik dengan rambut yang panjang masih terlelap di alam bawah sadarnya.

Faraz menghela nafas, tangannya menepuk-nepuk pipi gadis itu. "Lin, bangun udah siang" ucap Faraz.

Aalin Calista Amara, seorang remaja dengan paras yang cantik. Rambutnya yang panjang nan hitam, tubuhnya yang ideal serta kulitnya yang berwarna putih.

"Hm" gumaman Aalin dengan mata yang masih memejam.

"Aalin, bangun. Hari ini 'kan hari pertama kamu sekolah" kata Faraz.

Seketika kedua mata Aalin melotot dengan sempurna bersamaan dengan badannya yang berubah posisi menjadi duduk. Tangan Aalin mengambil jam weker berwarna ungu dari atas nakasnya.

"Aduh, aku udah telat mas" panik Aalin.

"Suruh siapa gak pasang alarm" kata Faraz lalu memutar bola matanya malas.

Aalin menepuk jidatnya. "Aku lupa" rengek Aalin.

"Udah, dari pada nanti makin telat. Mending sekarang kamu siap-siap, mas tunggu di bawah." ucap Faraz lalu pergi keluar kamar Aalin.

Aalin lari terbirit-birit menuju kamar mandi, hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk Aalin menyelesaikan ritual mandinya. Aalin memakai seragam sekolah barunya dengan kecepatan kilat.

Aalin menyambar sebuah tas berwarna lilac yang menggantung di kapstok bekalang pintu. Tangannya dengan lihai memasukan beberapa buah buku dan bolpoin ke dalam tasnya.

Setelah di rasa cukup, Aalin berlari keluar kamar. Baru saja di ambang pintu, langkahnya terhenti. "Ada yang lupa" monolog Aalin.

Aalin kembali masuk ke dalam kamarnya, ia berdiri di depan meja rias. Aalin mengambil sebuah liptint berwarna merah lalu mengaplikasikannya pada bibir Aalin.

"Nah, 'kan makin cantik'' puji Aalin pada dirinya sendiri.

Aalin menaruh kembali liptint itu pada tempatnya, lalu berjalan keluar kamar. Langkah kecil Aalin dengan lihai menuruni tangga, pandangannya tertuju pada Faraz yang sedang menyeruput secangkir kopi.

"Ayok mas, udah telat" ujar Aalin sambil berjalan melewati Faraz menuju teras rumah.

Faraz terkekeh kecil melihat tingkah Aalin yang menggemaskan. Faraz berjalan menyusul Aalin yang sudah berdiri di samping mobilnya.

"Lain kali jangan lupa pasang alrm, biar gak telat lagi" ucap Faraz sambil mencubit hidung Aalin.

"Ih, sakit tau" Aalin mengusap hidungnya yang memerah akibat cubitan dari Faraz.

Wajar saja, kulitnya yang putih dan bersih apabila di cubit walaupun tidak terlalu kencang pasti akan meninggalkan bercak merah.

Faraz tertawa gemas. "Cepetan masuk, nanti malah tambah telat lagi" kata Faraz.

Aalin mengangguk, tangannya membuka pintu mobil lalu duduk. Begitu pun dengan Faraz, ia berjalan mengelilingi mobil menuju kursi kemudi.

Faraz menyalakan mesinnya lalu menancapkan gas meninggalkan perkarangan rumahnya yang di huni bersama Aalin sejak Aalin duduk di bangku SMP. Bukan hanya mereka, Faraz juga menyewa beberapa asisten keluarga dan satu orang satpam.

"Cie, sekolah baru, temen juga baru" rayu Faraz saat di perjalanan.

"Apasih, biasa aja" sahut Aalin sedikit cetus.

"Kok biasa aja? Harusnya kan luar biasa" ujar Faraz.

Aalin menghela nafas berat. "Mas Faraz tau sendiri 'kan kalau aku suka di bully"

Faraz melirik sekilas ke arah Aalin lalu kembali menatap jalanan. "Itu 'kan dulu. Kalau sekarang, sekolah baru, otomatis dapat teman baru dong"

Aalin mengerucutkan bibirnya, pandangannya menatap ke arah jendela mobil. "Tetep aja Aalin trauma"

Faraz mencubit pipi Aalin sekilas. "Gini aja, kalau ada orang yang jahatin Aalin, bilang sama mas Faraz. Nanti mas Faraz akan hukum orangnya"

Ekspresi wajah Aalin seketika berubah, Aalin tertawa menanggapi ucapan Faraz. "Apa sih mas Faraz, so banget deh"

Faraz sempat tertegun saat melihat senyuman di bibir Aalin yang membuat kelopak matanya menyipit membentuk bulan sabit. "Demi kamu, apa pun pasti mas Faraz lakukan"

Tawa Aalin seketika memudar, Aalin menatap lekat wajah Faraz yang sedang fokus menatap jalanan.

Faraz yang merasa di perhatikan pun menoleh sekilas ke arah Aalin lalu kembali beralih menatap jalanan. "Kenapa, hm?"

Aalin menggeleng. "Aalin penasaran deh, kenapa mas Faraz selalau baik sama Aalin?"

Faraz menyunggingkan sudut bibir kanannya. "Emangnya ada ya, larangan untuk berbuat baik?" tanya Faraz.

"Enggak ada. Cuma anehnya, kenapa mas Faraz selalu perhatian sama Aalin?" heran Aalin.

Faraz terdiam sejenak, ia melirik Aalin sekilas. "Karena mas Faraz sayang sama Aalin" ucapnya pelan tapi masih dapat di dengar oleh Aalin.

"Hah? Sayang?" beo Aalin.

Faraz menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah Aalin, badannya menyamping agar berhadapan dengan Aalin. Faraz menatap lekat wajah Aalin, begitu pun dengan Aalin. Keduanya terhanyut dalam tatapan yang sulit di artikan.

"Masih mau di sini?" tanya Faraz dengan suara beratnya.

"Hah?" beo Aalin yang masih tak sepenuhnya sadar bahwa mereka telah sampai pada tujuan.

Faraz melirik ke arah gerbang sekolah Aalin lewat kaca mobil depannya lalu kembali menatap Aalin. "Kalau di hukum karena telat, jangan salahin mas Faraz ya"

Aalin mengerjapkan matanya, pandangannya menyapu sekitar. "Udah sampai?" pekik Aalin terkejut.

"Udah dari tadi'' sahut Faraz kesal.

Aalin mencubit pinggang Faraz dengan kesal. "Kenapa gak bilang dari tadi, huh?"

"Ahahaha, geli." Kelakar Faraz sambil memegang tangan Aalin agar berhenti menyubitnya.

Tangan kiri Faraz mencekal tangan Aalin yang menyubit pinggangnya, sedangkan tangan kanannya mencubit gemas pipi Aali. "Udah sana masuk, nanti makin telat!" suruh Faraz.

Aalin melepaskan cubitan pada pinggang Faraz. "Iya," sahut Aalin malas.

Aalin membuka pintu mobilnya, namun nihil pintunya tidak dapat terbuka. Aalin menoleh ke arah Faraz yang membuang pandangannya. "Ih, mas Faraz jangan di kunci" ujar Aalin.

"Siapa yang kunci?" tanya Faraz sok polos.

"Tau ah." Aalin merajuk dengan tangan yang di lipat di atas dadanya.

Faraz terkekeh, lalu membuka kunci agar pintu mobilnya dapat di buka. "Udah tuh" ucap Faraz.

"Dari tadi kek." Cibir Aalin.

"Bilang apa?" tanya Faraz.

"Makasih." Ucap Aalin dengan senyuman terpaksa.

Saking gemasnya, antara sadar dan tidak, Faraz mendaratkan ciuman pada pipi mulus milik Aalin. Seketika Aalin menegang, otaknya mencerna kejadian barusan.

"Udah sana, nanti makin telat." ucap Faraz membuyarkan lamunan Aalin.

Aalin mengangguk, ia keluar dari mobil Faraz lalu berjalan memasuki gerbang sekolah barunya. Faraz menepuk jidatnya, ia merutuki dirinya sendiri atas apa yang baru saja ia perbuat.