Pagi ini, seorang perempuan yang beranjak remaja tengah berbaring di atas ranjang yang berwarna maroon, selimut bermotif Barcelona dan jangan lupakan dengan poster idol Korea Selatan yang ia gemari.
Bip ... bip ... bip ...
Ponselnya berdering tepat pukul 5.10 WIB. Tangan mungilnya nergerak ke arah ranjang yang ia tempati. Tapi, nihil.
Perempuan itu menegakkan kepalanya dengan wajah bangal dan rambutnya bak singa.
"Aish, kenapa ponsel itu," gerutunya seraya mengacak tempat tidur.
Melempar bantal, guling dan selimut ke lantai. Lalu, terlihat ponsel itu sudah berada di lantai dekat dengan sendal berbulu yang berwarna purple itu.
Mungkin saja ponsel itu terjatuh saat dia tidur. Bergeser atau mungkin ponselnya berjalan sendiri.
Gadis itu mematikan alarmnya lalu meletakkan ponsel di nakas, men-charger-nya dan bersiap-siap untuk mandi dan melaksanakan ritual paginya yang lain.
***
"Pagi semuanya," sapa gadis itu yang telah selesai dengan perlengkapan sekolanya. Ia telah mengenakan sepatu sekolah. Tas yang ia jenjeng dan seragam sekolahnya.
"Makan dulu, Sayang." Pria paruh baya itu tersenyum ke arah anak semata wayangnya yang berjalan mendekati meja makan.
"Wah, cantik sekali anakku ini," ujar wanita paruh baya seraya memeluk sang anak.
"Inilah Assyifa Azzella Khairani, Bunda."
Assyifa tersenyum bahagia lalu menoleh ke arah pembantunya yang tengah menyiapkan keperluan sarapan mereka pagi ini.
"Wah, nasi goreng."
Mereka mulai sarapan bersama pembantu mereka di atas meja makan. Setelahnya, Ayah Assyifa mengantar sang anak ke Sekolah Menengah Atas menggunakan mobil bersama sang supir.
"Yah, nanti Ifa pulang sama Nana," ucapnya sebelum ia berlari masuk menuju sekolah.
***
Sampai di sekolahnya, Assyifa keluar dari mobil lalu berjalan masuk ke dalam pekarangan sekolah menuju kelas. Dari kejauhan, dia melihat perempuan berjilbab putih sedang mondar-mandir di pintu kelas XI A IPA. Dia berjalan secara perlahan menghampirinya.
“Aduh, Assyifa. Untung kamu gak telat, 10 menit lagi, nih.”
Dia adalah sahabat Assyifa, namanya Ratna Putri. Sahabat yang cerewet dan bawel. Tapi, dia perempuan cantik berkulit putih.
“Maaf, ya. Aku sudah buat kamu menunggu,” ucapnya sambil mengelus pipi Nana yang sedikit berisi.
“Alah, apaan sih. Bucin,” sarkasnya sambil menggandeng tanganku masuk ke dalam kelas. Pagi ini, sekolah Jaya Bakti mengadakan apel pagi. Padahal ini adalah hari selasa. Mungkin ada pengumuman baru.
“Siswa dan siswi yang Bapak banggakan. Hari ini kita kedatangan guru baru yang akan mengajar di bidang matematika dan kimia,” ucap Pak Nopri dengan suara lantang.
Beliau adalah kepala sekolah. Orangnya yang berwibawa dan sangat disiplin.
“Pak, gurunya laki-laki atau perempuan?” tanya Kakak Kelas yang berada di samping kiri Assyifa.
“Laki-laki,” jawab Pak Nopri dengan singkat membuat semua siswi berteriak histeris.
“Putih atau sawo matang, Pak?”
“Tinggi atau enggak, Pak?”
“Nomor sepatunya berapa, Pak?”
“Single atau duda, Pak?”
'Kalau single kenapa? Kalo duda kenapa?' batin Assyifa yang menatap jengkel siswa perempuan tersebut.
Berbagai pertanyaan yang dilontarkan siswi pada Pak Nopri hingga beliau kewalahan untuk menjawab pertanyaan mereka.
“Bapak gak bisa menjawab pertanyaan kalian semua. Karena sekarang kita sudah korupsi waktu 4 menit. Sekarang masuk ke dalam kelas. Bubar!" teriaknya dengan suara yang sedikit mengerikan.
“Yah, Bapak mah.”
Semua siswa dan siswi berjalan masuk ke dalam kelasnya masing-masing.
“Eh, Fa. Kira-kira Bapaknya seperti apa, ya?” tanya Nana pada Assyifa sambil berjalan menuju kelas mereka.
“Mana gue tahu,” tukas Assyifa memasang wajah marah. Tapi, sebenarnya itu hanya bercanda.
“Kok gitu, sih ngomongnya.”
Nana mulai cemberut karena perkataan Asssyifa yang kasar menurutnya.
Sampai di kelas, Assyifa dan Nana duduk di kursinya. Assyifa dan Nana duduk sebangku di barisan kedua.
Di depan Assyifa ada Doni selaku ketua kelas ditemani dengan Antoni teman karibnya.
Untuk di sebelah kanan Assyifa ada Juwita. Perempuan sangat centil di kelasnya. Dia duduk bersama temannya bernama Tika.
“What?!” teriak Juwita tiba-tiba membuat seluruh di kelas Assyifa terkejut bukan main.
“Lo apa-apaan, sih? Di sini gak hutan. Jangan teriak deh!” Assyifa membentak Juwita.
“Eh, maaf. Gue liat guru ganteng, sumpah.”
Juwita mengangkat tangan sambil membentuk jarinya dengan huruf V.
“Dia ngajar di kelas kita?” tanya Tika pada Juwita.
“What?!” teriak Nana. Assyifa menoleh ke arah Nana.
“Mulai,” ujarnya sambil memperingati Nana agar tidak berteriak sama seperti Juwita.
Ini kebiasaannya setelah Juwita. “Guys, dia jalan ke sini,” tutur Juwita menoleh ke arah jendela kelas.
“Ka, gimana jilbab gue? Rapi ‘kan? Gak kusut ‘kan? Bedak gue gak ketebalan ‘kan?” cecar Juwita sambil mengeluarkan bedak tabur dengan ukuran besar dari dalam tasnya.
“Bapak datang,” sahut Doni melihat ke arah pintu.
“Assalamualaikum.”
Seorang laki-laki berjalan masuk ke dalam kelas XI A IPA.
“Waalaikum salam, Pak,” jawab mereka dengan serentak.
Doni menyiapkan kelas dengan mendahulukan membaca doa dan diakhiri dengan kata ‘aamiin’ oleh semuanya.
Seorang laki-laki dewasa bertubuh tinggi tegap, berkulit putih dengan rambut lurus yang sedikit panjang, tapi tetap rapi, leher yang lebar, berdiri sambil berkacak pinggang di depan kelas.
Assyifa melirik ke arah Nana dan ternyata dia tersenyum genit ke arah guru tersebut.
Astaga, Assyifa hanya bisa menatapnya heran sambil melihat jijik ke arah Juwita yang melakukan hal yang sama seperti Nana.
Assyifa menghela napas pelan lalu bertumpu dagunya dengan satu tangan.
“Ada yang kenal saya? Atau mungkin pernah bertemu dengan saya?” tanyanya.
“Menurutku dia laki-laki biasa aja. Gak ada menarik-menariknya, tuh. Sama-sama manusia 'kan? Gak alien,” bisik Assyifa tepat di telinga Nana.
Mendengar bisikka temannya Nana melototkan matanya ke arah Assyifa karena tak percaya.
“Bapak ‘kan guru baru yang di bilang Pak Nopri tadi.”
“Tadi Pak Nopri bilang kalo sekolah kedatangan guru baru,” jelas Doni.
“Oke, kalo begitu. Saya akan memperkenalkan diri saya kepada kalian semua.”
Guru tersebut menyimpan kedua tangannya di balik punggungnya.
“Perkenalkan nama saya Kevin Kurniawan Syarief.”
Dia memperkenalkan diri sambil memegang dadanya dengan tangan kanan.
“Namanya Pak Kevin,” bisik Nana pada Assyifa.
“Bukan urusanku.”
Assyifa melipat kedua tangan di atas meja lalu menjatuhkan kepalanya di atasnya sebagai bantalan untuk kepala agar tidak sakit.
“Ih, gak boleh gitu. Nanti dia yang akan ngajarin kita,” ucap Nana pelan.
“Iya, terserah.”
Assyifa tak mempedulikan ocehan Nana dan memilih meletakkan kepala di atas meja. Lama-kelamaan rasa kantuknya mulai menyerang padahal ini masih pagi.
“Eh, nanti yang ada kamu di hukum tahu. Bangun,” bisik Nana sambil menarik tangan Assyifa agar dia bangun dan duduk dengan baik. Tapi, lebih dulu Assyifa menahannya.
“Ada pertanyaan?”
Suara milik Pak Kevin masih terdengar di telinga Assyifa dan pada saat itu Nana menghentikan aktivitasnya. “Saya, Pak.” Assyifa membuka sedikit kelopak matanya lalu menatap sekilas Juwita yang sedang mengangkat tangan kanan tak lupa dengan senyuman manis menghiasi wajahnya.
“Bapak masih single atau sudah beristri?” tanyanya tanpa ragu. Pertanyaan macam apa itu? Assyifa kembali menutup mata dan memfokuskan pikirannya ke alam bawah sadar.
“Saya single. Kenapa?” jawab Pak Kevin sambil menantang Juwita.
“Gak apa-apa, Pak. Nanya aja.” Juwita menurukan tangannya. Pak Kevin menjawab dengan wajah datarnya sehingga keadaan kelas menjadi hening bak kuburan.
Hampir saja ia mendekati alam bawah sadar. Tapi, Nana langsung mengejutkannya dengan cara mengguncang tubuhnya dengan sedikit kasar.
“Ifa, kamu liat deh. Pak Kevin punya lengan yang kekar. Liat, dong.”
Nana menepuk pelan bahu Assyifa.
“Jangan ganggu,” ancamnya sambil menggerak-gerakkan bahunya pelan.
“Ekhem, karena saya tidak tahu dengan nama kalian. Maka, saya akan mengabsen kalian satu per satu.”
Dengan terpaksa, Assyifa mengangkat kepalanya dan menghadap ke depan.
“Dari tadi, kek.”
Nana tersenyum ke arahnya. Assyifa membalas senyumannya tak kalah manis.
“Terpaksa,” ucap Assyifa pelan. Senyuman yang tadinya menghiasi wajah cantik Nana langsung hilang seketika mendengar penuturan sahabatnya.
“Antoni,” panggil Pak Kevin sambil memegang buku absen di tangannya.
“Saya, Pak.”
Antoni mengangkat tangan kanannya. Pak Kevin melirik sekilas ke arahnya lalu kembali menatap buku absen.
“Assyifa Azzella Khairani Firdausi.”
Pak Kevin memanggil nama gadisnya. Ralat, nama gadis itu. Dengan malas, ia mengangkat tangan kanan dan melirik guru tersebut sekilas.