PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Lady Escort In Love

Lady Escort In Love

Penulis:AlphQueen

Berlangsung

Pengantar
Namanya adalah Ross. Dia adalah seorang janda muda beranak satu setelah dicampakkan suaminya sendiri. Karena kondisi mentalnya yang kurang sehat, Ross hampir saja membawa anaknya untuk melakukan tindakan bunuh diri. Namun, takdir justru berkata lain. Sebelum Ross sempat melompat dari jembatan, seorang wanita bertubuh tinggi sedang menariknya dari sana. Usul punya usul, wanita itu adalah seorang bos di sebuah warung remang. Dia yang tertarik dengan kecantikan Ross pun menawarkan pekerjaan dengan gaji lumayan. Ross yang sedang kacau akhirnya menerima pekerjaan tersebut. Sampai satu tahun lamanya, ia pun merasa bosan dan jenuh dengan kehidupannya sendiri. Dan, di suatu waktu, Ross merasakan debar-debar yang telah lama hilang dari hatinya. Ross bertemu dengan seorang lelaki yang mau menerimanya apa adanya. Sayang, Ross harus melewati banyak masalah untuk bisa mendapatkan cintanya itu.
Buka▼
Bab

Tiba saatnya aku kembali menjadikan malam menjadi siang, kemudian harus duduk manis di samping seorang lelaki yang tak jarang adalah para pemuda, dan seringnya malah om-om seumuran bapakku sendiri. Di samping itu, aku juga harus menemaninya minum dan merokok sambil berkaraoke-ria sampai beberapa jam kemudian. Tentu, yang kutemani pun bukan hanya satu pria hidung belang. Melainkan tiga dalam semalam, bahkan kadang mencapai lima orang kalau sedang ramai pengunjung.

Sekarang ini contohnya. Begitu masuk setelah datang terlambat karena satu hal dan yang lainnya, pandanganku langsung disuguhi beberapa lelaki dengan usia berbeda-beda sepertinya. Mereka sedang asyik berbincang dengan teman-teman sepekerjaanku sebelum biasanya memilih, oleh siapa mereka ingin ditemani.

Ya, seperti itulah memang pekerjaanku. Gadis pendamping di tempat karaoke, dengan bayaran lumayan jika berhasil menggaet para lelaki hidung belang dalam semalam. Selain tips, aku pun mendapatkan uang dari hasil penjualan minuman. Jika lelaki yang kutemani menghabiskan banyak minuman, banyak pula penghasilanku. Dan jika sebaliknya, sedikit pula penghasilanku.

“Kamu ini dari mana saja, sih? Lihat, tuh! Mereka nanyain kamu terus dari tadi.”

Namanya Lisna. Tapi, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Madam karena statusnya yang tak lain adalah bos di warung remang-remang ini. Dan, begitu melihat aku masuk, wanita bertubuh tinggi semampai itu langsung datang menyambut. Lebih tepatnya mengomel, karena aku tak datang tepat waktu.

Katanya lagi, bahkan sebelum aku sempat menjawab. “Kamu ini primadona di sini. Jadi please, ya. Tolong ... untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kebaikanku.”

“Maaf, Madam. Tadi ... aku harus mengurus sesuatu dulu. Kemungkinan, aku pun nggak bisa kerja sampai larut.”

Meski pun baik, wanita berambut pendek layaknya seorang pria ini kerap membuat aku dan yang lainnya takut, tiap kali ingin meminta waktu semalam saja untuk berlibur. Karena baginya, liburnya salah seorang ladies akan membuat dirinya rugi banyak.

Itu kenapa, selain karena butuh dan takut dipecat, aku hampir tak pernah bolos bekerja. Setiap malam selalu hadir, bahkan meski tubuh tak sedang baik-baik saja. Namun, masalahku sekarang tak bisa diabaikan. Aku harus pulang, setidaknya sebelum memasuki tengah malam nanti.

“Ada apa? Kenapa? Nggak biasanya lho, kamu ini minta pulang sebelum waktunya. Atau, apa mungkin kalau kamu ini sudah dapat pekerjaan baru? Lalu, mau melupakan kebaikanku yang sudah menolongmu dari jalanan ini?”

Madamku itu menyelidik. Sebelah dari alisnya bahkan sampai terangkat tinggi. Aku tahu kalau dirinya marah. Tapi, sekali lagi aku tegaskan, masalah yang sedang aku hadapi sekarang ini tak bisa diabaikan.

“Bukan begitu Madam! Tapi—“

“Ah, sudahlah! Sekarang sebaiknya kamu bergabung sama mereka itu!” selanya sembari menunjuk ke arah di mana para lelaki sudah menunggu untuk diberi pelayanan eksklusif. Mereka bahkan tersenyum senang begitu aku meliriknya sekilas. “Jangan buang-buang waktumu lagi. Urusan pulang, kita lihat saja nanti!” sambungnya. Kali ini sembari melengos pergi.

“Tapi, Madam. Aku—“

“Sudah kubilang sana, dan jangan membuang-buang waktu!” selanya lagi, setelah aku berusaha menghentikan langkahnya dengan satu permohonan yang bahkan tak sempat aku ucapkan.

Wanita yang di antara telunjuk dan jari tengahnya ada sebatang rokok itu tak peduli. Dia terus saja berjalan, ke arah di mana dirinya biasa duduk untuk mengawasi pekerja dan pelanggannya.

“Astaga!”

Tanganku refleks mengusap kening sembari menujukan tatapan ke arah para lelaki hidung belang, yang duduk sambil berbincang dengan sekawanannya di bawah kerlip lampu disko. Remang-remang, aku melihat wajah-wajah beringas itu tampak tak begitu sabar untuk aku hampiri.

“Nggak bisa gitu, dengerin aku ngomong sekali saja? Masalahku ini darurat lho! Bukan karena aku udah dapat pekerjaan baru.”

Dengan perasaan sedih bercampur kesal, kakiku pun akhirnya melangkah malas ke arah para lelaki hidung belang yang berjumlah dua orang itu. Sebabnya, tiga lelaki lain sudah ditangani oleh teman-teman yang lain.

Syukurlah. Karena meski pun akan mendapatkan tips yang banyak, aku tak sanggup juga jika harus melayani lima pria sekaligus. Kecuali kalau datangnya satu per satu, atau dua per dua. Sampai pagi pun biasa aku jabanin.

“Akhirnya datang juga kamu, Ros!” seru salah seorang, di tengah-tengah alunan musik disko yang sedikit memekakkan telinga.

Aku langsung bergidik. Pantas saja si Madam bilang kalau mereka sudah menungguku. Yang datang, ternyata memang langganan tetap yang selalu harus aku yang melayaninya. Kali ini, aku rasa dia membawa kawan.

“Sini duduk!” serunya lagi sembari menepuk-nepuk kursi bagian tengah, di mana di kedua sisinya ada dia dan pria lain yang sama sekali belum pernah aku lihat. “Eh, tapi ... sebaiknya kamu ambilkan dulu minumannya, Ross. Kita sama sekali belum memesan apa-apa karena nungguin kamu.”

“Oh, ya? Sebentar kalau gitu!”

Aku yang baru saja hendak duduk di sebelah mereka itu pun urung. Kemudian melengos tanpa berucap lebih panjang. Sebenarnya, isi pikiranku sedang tidak baik-baik saja sekarang. Bahkan, meski ragaku sedang ada di sini, hatiku justru sedang di tempat lain. Aku benar-benar cemas memikirkan satu-satunya orang yang memaksa keputusanku untuk tetap betah di sini.

“Jangan membuat mereka menunggu lama, Ros! Cepatlah!”

Seseorang yang dari suaranya dapat kuketahui siapa itu tiba-tiba hadir di belakangku. Dia benar-benar membuat aku terkejut karena kemunculannya yang tiba-tiba. Bahkan, hampir saja membuat aku menjatuhkan botol minuman dalam genggaman.

Dia ini, selain sering bikin senang karena kebaikannya, juga selalu membuat karyawannya kaget setengah mati. Astaga! Andai saja kalau bukan karena dulu, Madam pernah menolong hidupku ...

“Kamu melamun?”

Ia berucap lagi setelah menyaksikanku sigap mempertahankan botol yang hampir saja terjatuh. Aku menganggukkan ragu tanpa menimpalinya sebelum kemudian melengos, untuk segera memberikan minuman-minuman dalam pelukanku ini pada pelanggan. Mereka pasti sudah tak sabar setelah menunggu kedatanganku sedari tadi.

Samar, aku mendengar umpatannya. Dia, sepertinya tidak akan membuatku lolos malam ini. Terlebih, kedatangan pelanggan tetap yang kalau datang tak pernah buru-buru pulang ini. Dia, pasti akan menyuruhku untuk stay di sini.

“Tapi tidak! Semoga saja Madam mau berbaik hati. Ya, dia pasti mau berbaik hati.” Aku bergumam sembari meletakkan minuman-minuman yang aku bawa ini di meja.

“Apa katamu?” tanyanya, yang mungkin baru saja mendengar gumamanku barusan. Lelaki hidung belang yang bernama Ikhlas ini mendongak sebelum akhirnya menarikku sampai terduduk di sebelahnya.

“Bukan. Bukan apa-apa.” Yang kupikirkan ini masalah pribadi. Tentu saja, aku tidak akan mungkin membaginya dengan sembarang orang. “Aku lupa nanya tadi. Jadi, aku ambilkan dua botol dulu saja ini.”

“Nggak apa-apa!” timpalnya sambil tertawa tidak jelas. Pasalnya, memang tidak ada satu hal pun yang lucu di sini. “Sekarang buka. Sajikan untuk aku dan temanku ini. Dia baru pertama kali datang ke tempat ini. Jadi, jangan heran kalau sikapnya seperti kucing. Malu-malu, padahal doyan!” Tawanya pun kian menjadi.

Dia ini, belum minum saja sudah mabok. Heran!