PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Terpaksa Menikahi Mantan Pacar

Terpaksa Menikahi Mantan Pacar

Penulis:bundaRey

Tamat

Pengantar
Rania, 23 tahun, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Di umurnya yang sudah matang, belum ada tanda-tanda dia akan menikah. Sedang Tia, adik kandungnya, sudah dilamar oleh seorang lelaki. Rana dilema karena dia terlalu sibuk bekerja untuk membantu orang tuanya sehingga lupa memikirkan tentang pernikahan. Di saat yang sama, Rangga, mantan kekasih satu-satunya, datang untuk kembali padanya. Akankah Rania menerima kembali Rangga yang pernah menduakannya?
Buka▼
Bab

Sebuah kalimat yang berbunyi 'Sebagai anak pertama harus memiliki bahu sekuat besi dan hati setegar karang', mungkin benar adanya. Rania gadis 23 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarganya.

Di usia yang bisa dibilang cukup matang itu, dia sama sekali belum memikirkan tentang pernikahan dan sepertinya tidak akan memikirkannya untuk waktu yang lumayan lama.

"Ran! Rania!" seseorang mengguncang bahu Rania. Gadis itu hanya menggeliat karena masih merasakan kantuk.

"Rania! Bangun!" Sebuah teriakan meluncur tepat di depan lubang telinga Rania.

"Apaan, sih, Mut!" Rania melempar bantal ke arah Mutia. Gadis itu masih merasa malas untuk bangun.

"Woy! Anak gadis jam segini belum bangun! Kapan kawinnya kalau gini?!"

"Bawel, ah! Lo, Mut!" Rania kembali meringkuk dan memejamkan matanya.

"Ya Tuhan ...! Semoga anak gue nggak kayak gini nantinya. Dan juga gue nggak dapet mantu kayak lo!" Mutia merasa sangat frustasi menghadapi Rania yang tidak bisa bangun pagi. Apalagi jika hari Minggi seperti ini, dia akan menghabiskan masa paginya molor di tempat tidur. Hingga nanti menjelang siang.

"Hush ... hush ... hush ...! Udah sana. Nggak usah berisik."

Mutia segera keluar kamar dengan bibir yang terus mendengung. Seperti lebah yang sedang mengitari sarangnya.

Meski seperti itu, kedua sahabat itu nanti akhirnya rukun kembali. Ini bukan sekali dua kali keduanya ribut seperti ini.

Sepeninggalan Mutia, Rania segera membuka mata dan merenung. Dia sebenarnya tidak ingin Mutia melihat matanya yang sembab akibat menangis semalam.

Masih terngiang pembicaraannya dengan ibunya lewat telepon semalam.

'Rania ... adikmu sudah ada yang melamar. Ibu harap, kamu juga segera mengenalkan calon suami. Agar tidak kelangkahan.'

Begitulah kira-kira yang dikatakan ibunya di telepon. Tidak cukupkah pengorbanannya selama ini hingga harus berkorban masalah jodoh juga? Dengan siapa dia akan menikah, sedang pacar saja tidak punya?

Setelah pembicaraan itu, Rania hanya bisa menangis, di dalam selimut. Untungnya, Mutia, teman sekamarnya sudah tertidur ketika itu. Jadinya. Rania tidak perlu mendapatkan pertanyaan menyelidik dari Mutia.

Bisa gawat kalau Mutia tahu jika dia menangis sesenggukan.

Rania bukan orang yang mudah bergaul apalagi dengan lawan jenis. Rekor pacarannya pun hanya sekali, itupun mereka harus putus karena mantan pacar Rania selingkuh waktu itu.

Rania menghela napas. Kenapa dia begitu malang dalam urusan percintaan? Apakah jalan hidupnya selama ini belum berliku hingga urusan percintaan pun menjadi korban?

Bukannya dia tak mau menikah, hanya saja, siapa yang mau dengan gadis biasa yang tidak memiliki kemampuan apa pun. Bahkan kepintarannya saat berada di bangku sekolah, tidak berguna sama sekali.

Mutia kembali ke kamar itu dengan menenteng sebuah tas kresek yang di dalamnya ada dua bungkus nasi. Meski sikap Mutia layaknya seorang emak-emak yang sering ngomel sama anaknya, nyatanya dia tetap menyayangi teman sekamarnya itu.

"Ra! Bangun! Gue tahu lo nggak beneran molor! Ini! Sarapan dulu. Ntar kalau lo pingsan, tambah ngerepotin gue lagi!" Mengetahui kebohogannya telah terendus, dengan terpaksa, Rania bangkit dari tidurnya. Namun, wajahnya tidak berani dia hadapkan pada Mutia.

"Udah ... udah, nggak perlu malu kalau mata lo bengkak. Gue udah tahu kalau semalam lo nangis."

Rania segera membalikkan badannya, tak mungkin lagi membohongi Mutia. Bahkan Mutia bisa tahu perihal tangisannya semalam.

Rania masih tidak berani melihat mata teman sekamarnya itu, karena instingnya itu lebih tajam dari pada silet.

"Gue tahu lo nangis habis dapet telepon semalam." Mutia menghela napas panjang, "Kalau ada masalah, lo dapat cerita ke gue." Mutia menyayangi Rania seperti saudaranya sendiri. Maklum, sebenarnya Mutia adalah anak tunggal, jadinya dia tidak bisa mencurahkan kasih sayangnya yang berlebih pada orang lain.

"Gue ... gue--."

"Udah! Sekarang makan dulu. Nanti aja jelasinnya. Keburu nasinya kelamaan kerendam kuah sayur."

Rania hanya bisa menurut akan perintah Mutia. Secerewet-cerewetnya Mutia, dia adalah sahabat terbaiknya. Yang selalu mengerti Rania, jadi gadis itu hanya diam jika Mutia marah-marah atau ngomel nggak jelas seperti tadi.

Mutia segera mengeluarkan bungkusan makanan tadi dan membaginya satu-satu. Satu untuknya, satu lagi untuk Rania.

Dengan lesu, Rania membuka bungkusan itu dan kemudian memakannya.

Mutia pun memilih untuk tetap diam, dia ingin menginterogasi Rania, tapi menunggu perut gadis itu terisi dulu. Nggak tega rasanya jika kondisi perut Rania masih kosong. Bisa-bisa gadis itu pingsan karena kelaparan.

Membayangkannya saja membuat Mutia geleng-geleng kepala.

Kini keduanya dalam keadaan kenyang dan Rania juga sudah bisa tersenyum.

"Kini waktunya lo bayar hutang sama gue!" Mata Rania membola. Dia memiliki utang apa sama Mutia? Apa makanan barusan suruh bayar sama Mutia?

"Utang apa, Mut?"

"Utang cerita, lah. Kenapa lo nangis dan siapa yang nelpon lo semalam? Karena gue cuma denger lo bilang iya-iya mulu. Tapi, setelahnya malah ngumpet di dalam selimut dan nangis."

"Ibu gue yang nelpon."

"Ada anggota keluarga yang sakit atau gimana? Kalau iya,mending lo balik sekarang biar perasaan lo bisa tenang."

Rania menggeleng, " Ini berita bahagia sebenarnya."

"Kalau bahagia kenapa malah nangis coba? Harusnya 'kan lo seneng?" Mutia heran, kenapa sahabatnya itu malah menangis. Sekalipun menangis, harusnya tangisan bahagia. Tapi, tak terlihat di wajahnya itu sebuah kebahagiaan.

"Sekaligus sedih."

Mutia mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?"

"Iya ... kabar bahagia buat adik gue, tapi kabar sedih buat gue."

"Adik lo bahagia, tapi lo-nya sedih? Apaan, sih? Kepo deh, gue?"

Mutia nampak tidak sabar mendengar penjelasan Rania. Hal apa yang bisa membuat Rania bersedih , tetapi membahagiakan buat adiknya?

"Jadi gini, adek gue udah dilamar orang--."

"Wah! Bagus, dong!" Wajah Mutia nampak begitu bahagia saat ini. Adik sahabatnya sudah dia anggap seperti adiknya sediri. Meski pun Mutia belum pernah ketemu dengan keluarga Rania.

"Iya, emang bagus 'kan buat adek gue?" Mutia mengangguk.

"Tapi, imbasnya gue mesti bawa calon secepatnya dan nggak boleh kelangkahan."

Mutia menutup mulutnya yang tengah terbuka lebar saat ini. Setahu dia, Rania itu jomblo dan nggak pernah tahu dia deket sama cowok.

"Lo mau bawa siapa?"

"Nah! itu berita buruknya. Gue nggak tahu."

Keduanya sama-sama menghela napas panjang. Baik Rania maupun Mutia sama-sama memikirkan hal yang sama, dengan siapa Rania akan pulang ke rumah orang tuanya?