PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Young Marriage

Young Marriage

Penulis:SelSel

Berlangsung

Pengantar
Umina Salsabilla Assegaf, gadis polos yang terpaksa menikah dengan seorang badboy sekaligus the most wanted di sekolahnya, Alvano Bagasvita-namanya. Keduanya terpaksa menikah karena suatu insiden yang terjadi di dalam club malam. Awalnya, insiden itu terlihat seperti ketidaksengajaan. Hingga akhirnya, fakta baru pun mulai terungkap. Ada dalang di balik semua kejadian itu. Lalu, bagaimanakah kelanjutan kisah keduanya? Siapa yang menjadi dalang di balik semua ini? Akankah rasa cinta perlahan tumbuh diantara keduanya? Penasaran? Yuk langsung aja.
Buka▼
Bab

Jakarta, 00.15 WIB.

Di dalam sebuah club malam yang terletak tidak jauh dari kediaman keluarga Assegaf. Tampaklah, seorang lelaki dan perempuan yang tidur bersama dalam sebuah selimut tebal tanpa menggunakan sehelai pakaian pun.

Umina Salsabilla Assegaf atau yang kerab di sapa Umi pun perlahan mulai membuka matanya. Rasa nyeri pada bagian bawah organ kewanitaannya pun, membuat dirinya menjadi meringis kesakitan.

Umi pun lantas ingin segera bangkit dari tempat tidurnya, namun sebuah tangan kekar pun seperti menahan tubuhnya. Membuat Umi segera mengalihkan tatapannya dan langsung mendapati seorang lelaki seusia dirinya yang tampak tertidur pulas.

"Kyaaa!!!! Kamu siapa! Ini..."

"Enggak! Ini gak mungkin! Ini gak mungkin terjadi! Aku sama kamu udah lakuin? Hikss.. hikss.."

Umi yang baru menyadari hal apa yang baru terjadi pada dirinya pun lantas mulai menangis sejadi-jadinya. Mulai memukul-mukul kepalanya, menyesali semua yang telah ia lakukan.

Entahlah, mengapa ini bisa terjadi. Yang Umi ingat, ia ke sini karena ingin menemui seseorang namun entah bagaimana bisa. Sekarang ia tiba-tiba saja, bisa berada di dalam kamar asing, bersama dengan seorang lelaki yang juga asing bagi dirinya.

Tangisan Umi yang semakin lama semakin nyaring itu pun, lantas saja membuat lelaki yang semula tertidur di sampingnya itu pun mulai terbangun.

"Shittt! Siapa sih lo! Lo bisa diem, kan?! Lo gak lihat kalo gue lagi tidur?! Akhh! Kepala gue! Pusing banget!"

Perlahan mata lelaki itu pun mulai terbuka. Mulai menatap ke arah gadis yang masih terus menangis histeris itu.

Seketika, mata lelaki itu pun mulai membulat sempurna. Menatap bagaimana kondisi dirinya dan gadis itu saat ini.

"Jangan bilang? Gue sama lo? Udah lakuin...," gumam lelaki itu pelan sebelum akhirnya mulai mengacak-acak rambutnya kesal.

Jujur, begitu lelaki itu menyadari apa yang saat ini telah terjadi antara dirinya dan gadis di sampingnya itu. Dirinya benar-benar menjadi buntu. Ia tidak tau lagi harus melakukan apa dan harus bagaimana.

Sumpah! Demi apapun dirinya sama sekali tidak mengingat kejadian awal yang menjadi faktor dirinya bisa melakukan hal  seperti ini bersama gadis itu.

Rasa bersalah pun seketika muncul di dalam hati lelaki itu. Membuat dirinya yang hampir tidak pernah menyentuh wanita pun mulai mendekatkan dirinya kepada gadis itu.

Membawa gadis itu ke dalam pelukannya sambil mengusap-ngusap pelan punggung gadis itu.

"Pliss! Lo jangan nangis! Gue minta maaf! Gue pasti bakalan bertanggung jawab atas apa yang udah gue lakuin ke elo! Gue pasti bakalan temuin orang tua lo! Jadi, lo jangan nangis lagi, yah!"

Sebisa mungkin, lelaki itu pun berusaha agar bisa melunakki hati gadis itu. Hingga akhirnya, perlahan tangisan gadis itu pun mulai merendam.

Gadis itu pun akhirnya tertidur lelap di dalam pelukan lelaki yang sama sekali tidak di kenalinya.

"Maafin gue! Ini semua salah gue! Tapi, gue pastiin! Gue gak akan jadi cowok brengsek yang bakalan ninggalin sesuatu yang terjadi karena kebodohan yang udah gue perbuat sama lo! Maafin gue! Ini semua salah gue! Sekali lagi maaf," gumam lelaki itu pelan sebelum akhirnya dirinya ikutan tertidur bersama gadis polos itu.

*****

Brum! Kini, lelaki itu pun telah menginjak pedal rem mobilnya. Mulai menghentikan mobil sedan hitamnya tepat di hadapan pagar, sebuah rumah yang memiliki dua lantai itu.

Mata elang tajamnya pun, perlahan mulai beralih ke arah gadis yang ada di sampingnya itu.

Gadis itu terus saja menundukkan wajahnya dengan isakkan kecil yang keluar dari mulut gadis itu.

"Hei? Dengerin gue! Malam ini, gue bakalan kesini lagi dan temuin orang tua lo! Gue bakalan bilang apapun ke mereka soal apa yang udah gue lakuin ke elo! Jadi, lo jangan nangis lagi! Gue pasti bakalan terus ada di samping lo! Kita hadapin ini semua berdua, yah! Lo percayakan sama gue?"

Bukannya menjawab atau apa, Umi lantas hanya mengangkat wajahnya. Menatap dalam-dalam manik mata hitam elang lelaki itu.

"Janji," ucap gadis itu pelan sambil sesegukkan. Umi pun juga turut menyodorkan jari kelingkingnya tepat di hadapan lelaki itu.

Membuat lelaki itu yang awalnya tampak datar pun mulai tersenyum tipis merasa lucu dengan tingkah kekanakkan gadis itu.

"Iya! Gue janji sama lo! Gue gak akan ngecewain elo," ucap lelaki itu yang lalu ikut menautkan jari kelingkingnya.

Perlahan, sebuah senyuman tipis pun terukir indah di wajah gadis itu.

"Makasih! Aku tau! Kamu gak akan ngecewain aku," ucap Umi sebelum akhirnya gadis itu pun keluar dari mobil lelaki itu lalu memasuki rumahnya.

Huftt! Helaan nafas panjang pun mulai keluar dari mulut lelaki itu. Entah apa yang akan menjadi resiko bagi dirinya setelah ini, yang pasti dirinya harus tetap menghadapi semuanya.

Karena lelaki sejati, adalah ia yang berani berbuat sesuatu lalu ia juga yang akan bertanggung jawab atas apa saja yang telah dilakukannya.

*****

Umi POV.

Jujur, untuk pertama kalinya. Aku pun merasa berat untuk melangkahkan kakiku, untuk masuk ke dalam rumahku.

Rasa bersalah atas apa yang sudah aku lakukan, membuat aku rasa-rasanya ingin pergi saja dari hadapan semua orang.

Wajah kecewa serta sedih dari kedua orang tuaku pun mulai terbayang-bayang di dalam benakku.

"Umi? Kamu sudah pulang, nak? Bagaimana kerja kelompoknya? Apakah sudah selesai?"

Dengan cepat, aku pun menghapus bulir air mata yang tadi menetes di pipiku. Membalas tatapan Mama dengan wajah sebahagia mungkin.

"Udah, Ma! Ma, Umi izin buat istirahat dulu, yah! Umi cape banget, soalnya tadi malam habis begadang," dusta Umi yang pastinya dengan wajah yang tampak bersalahnya.

"Oh, yaudah! Nanti biar Bibi aja yang nganter makanan buat kamu ke atas, yah! Kalau begitu, Mama pergi dulu! Ada acara tasyakuran di rumah tante Ita! Kamu jaga diri baik-baik yah, sayang!"

Setelah kepergian Mama dari rumah. Buru-buru, aku pun berlari menuju lantai atas. Tempat di mana kamarku berada. Mulai menenggelamkan kepalaku di tumpukkan bantal itu dan kembali menangis sejadi-jadinya.

Demi apapun! Aku benar-benar tidak sanggup untuk membalas tatapan Mama yang begitu menyayangi dan mempercayaiku.

Andai! Waktu bisa diputar kembali! Andai semuanya bisa dicegah! Tapi, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dengan apa yang sudah terjadi.

*****

"Apa?! Kenapa, Al! Kenapa kamu harus mengecewakan kepercayaan yang sudah Papa berikan kepada kamu?! Kamu mau buat Papa jantungan?! Kenapa Alvan! Kenapa kamu harus lakuin ini?! Hah?!"

Sedari tadi, Alvan hanya bisa menundukkan wajahnya tanpa berani membalas tatapan sang Papa.

"Udah, Pa! Gak ada yang bisa kita lakuin lagi! Semua udah terjadi! Mau Papa marah bagaimana pun, semuanya gak akan ngubah keadaan! Harusnya Papa masih bersyukur karena Alvan udah mau jujur dan mau bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia lakukan! Kita harus tetap kasih dukungan buat Alvan, Pa! Mau bagaimana pun, Alvan itu tetap anak kita, Pa! Udah, Pa! Cukup," ucap Mama sambil berusaha menenangkan Papa yang mulai tak terkontrol.

"Maafin, Alvan! Pa, Ma! Alvan minta maaf! Alvan minta maaf karena udah ngecewain Mama sama Papa! Alvan mohon! Papa sama Mama mau ikut Alvan buat datang ke tempat cewek itu, yah, Pa! Alvan janji! Alvan bakal lakuin apa aja yang Papa sama Mama minta! Papa juga boleh mukul Alvan sampai Papa puas! Tapi, Alvan mohon! Alvan gak mau buat cewek itu sampai kecewa, Mah, Pa! Dia lebih menderita dibandingkan dengan apa yang Alvan rasain sekarang! Sekali lagi maafin, Alvan, Mah, Pa!"

Perlahan, tangan Papa pun mulai bergerak, menyentuh ujung rambut anak semata wayangnya itu. Membawa anak lelakinya itu, ke dalam pelukannya.

"Papa juga minta maaf! Karena udah sempat nampar kamu! Tapi, Papa gak pernah nyesal! Karena memang itu yang pantas buat kamu! Baiklah! Papa sama Mama bakalan ikut sama kamu! Mau bagaimana pun, Papa tetap bangga karena kamu masih bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu lakukan! Pergilah! Kamu harus istirahat dulu! Jangan sampai kamu berwajah lemah seperti itu ketika berhadapan dengan calon mertua kamu! Sana," ucap Papa sambil melemparkan sedikit lelucon untuk memecahkan suasana dingin yang sebelumnya tercipta di antara mereka.

Tanpa ingin membantah lagi, Alvan lantas menganggukkan kepalanya dengan cepat. Setelahnya, Alvan pun pergi, meninggalkan kedua orangtuanya yang masih terdiam di tempat.

"Hmm, Pah? Papa ada ngerasa aneh gak sama Alvan? Kenapa dia bisa ngomong 'kasian cewek itu'? Apa Alvan gak tau nama cewek yang akan dia nikahin?"

Seketika, pertanyaan yang dilontarkan oleh Mama pun membuat Papa juga turut berpikir janggal.

"Iya, yah?"

****

19.30 WIB.

Sedari tadi, Umi terus saja berjalan mondar-mandir. Takut-takut jika lelaki itu tidak akan datang dan melanggar janjinya.

"Pa? Ma? Kalian mau kemana?"

Buru-buru, Umi pun berlari cepat, menghentikan langkah kedua orang tuanya yang hendak pergi itu.

Kerutan bingung pun tampak tercetak di kening kedua orang tuanya.

"Ada apa, sayang? Mama sama Papa cuman pengen keluar sebentar! Kamu mau ikut?"

Mendengar ucapan dari Mamanya itu pun, lantas saja berhasil membuat Umi mulai memutar otaknya. Berusaha mencari alasan yang tepat, agar kedua orang tuanya itu tidak pergi.

Lama dirinya berpikir, membuat Mama dan Papanya ingin segera meninggalkan rumah mereka. Hingga akhirnya, tiga orang pun mulai datang dan mengucapkan salam pada mereka.

"Assalamualaikum!"

Semula, Papa dan Mama gadis itu pun mulai saling tatap satu sama lain. Merasa bingung dengan kehadiran orang lain yang rasa-rasanya tidak sedang membuat rencana bertemu dengan mereka.

"Wa'alaikumsallam! Siapa, yah? Eh? Riska? Ini kamu?"

"Loh? Loli? Kamu?"

"Ridwan! Ini serius kamu? Kapan pulang dari Arabnya?"

"Eh, Tio? Masuk ayo masuk!"

Seketika, pertemuan empat orang yang saling mengenal itu pun membuat Umi maupun Alvan menjadi saling tatap, tak mengerti dengan situasi saat ini.

"Kenapa, Umi? Ayo, salaman dong sama Om Tio sama Tante Riskanya! Mereka ini sahabat semasa SMA-nya Papa sama Mama!"

Satu kalimat, yang berhasil membuat Umi seketika membelalakkan matanya sempurna.

"Sahabat?"

*****