PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Forever Love

Forever Love

Penulis:Queen_Purple92

Berlangsung

Pengantar
Namaku Annisa, lengkapnya Nurmannisa. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Ibuku menikah sebanyak tiga kali. Dengan suami pertama melahirkan kakakku, tapi qadarullah dia meninggal ketika muda karena kecelakaan tunggal. Setelah pernikahan pertama kandas, Ibu menikah lagi dengan Abahku, Ilyas. Tapi, juga tak bertahan lama. Saat usiaku menginjak 4 tahun, Ibu meminta cerai karena kelakuan Abah yang sering menyakiti hatinya. Dan aku memilih tinggal bersama Ibu. Abah Ilyas, beliau suka minum minuman keras dan main perempuan. Lalu Ibu menikah lagi dengan suaminya yang ketiga Abah Hasbi dan dikaruniai lima orang anak. Nazwa, Naira, Yusuf, Syifa dan Icha. Semuanya kuanggap sebagai layaknya saudara kandung tak ada perbedaan. Ini kisah perjalanan hidupku. Tertatih untuk meminta pengakuan Ibu, bahwa aku juga anak kandungnya. Bukan anak tiri, tapi anak kandung yang tak pernah disukai kehadirannya. Sejak tinggal bersama Ibu, tak pernah sekali pun Abah Ilyas mengirimi uang. Jangankan untuk makan, menjenguk pun tak pernah. Inilah penyebab Ibu tak pernah bersikap adil terhadapku. Aku hanya lah aib untuk hidupnya dan benalu yang tidak diinginkan.
Buka▼
Bab

Suara ayam jantan berkokok saling bersahutan, subuh telah datang. Aku menggeliat di atas dipan. Sayup terdengar ceramah agama dari radio butut yang digantung dekat nakas.

“Lakasi bangun, Sa. Melandau tarus gawian. Kada perejekian. Tadahulu dipatuk ayam,” ucap Ibu seraya menyibak kelambu.

“Iya, Ma.” Aku menguap lebar.

Kulangkahkan kaki menuju pejijipan. Mengaitkan handuk di dinding seng lalu memompa air. Semua baskom kupenuhi dengan air, termasuk tajau dan tempat wudhu. Lalu aku pun mandi sambil menyanyi kegirangan. Memompa air adalah aktivitas yang tak boleh dilewatkan. Kalau tidak, maka ceramah Ibu akan panjang tak henti-hentinya. Setelah sarapan dengan nasi putih yang berlauk ikan asin goreng dibagi bertiga. Ya… Nazwa, Naira dan aku makan sepiring bersama-sama demi menghemat. Aku pun berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Jaraknya lumayan jauh, tapi aku sudah terbiasa.

Bismillah. Kupanjatkan doa di pagi ini dengan khusuk. Hari ini pengumuman kelulusan SLTP. Semua orang tua murid datang kecuali Ibu. Beliau bilang adik-adik juga pembagian rapor. Jadi lebih baik mengalah dan meminta tolong ke orang tua temanku. Mata menatap nanar nilai yang tertera di kertas. Angka 8 menghias kolom-kolom mata pelajaran dan lulus dengan nilai memuaskan. Aku tersenyum puas walaupun sebenarnya batin teriris ingat perkataan Ibu semalam.

***

“Sa, kamu mau lanjutin sekolah ke mana?” tanya Abah sambil menyeruput kopi sore itu.

“Belum tahu, Bah. Salwa dan Aya ke SMK dan memilih jurusan Multimedia,” jawabku.

“Oh … bagaimana denganmu? Kamu kan suka komputer?” tanya Abah lagi.

“Biaya pendaftarannya mahal, Bah. Belum termasuk membeli kain untuk seragam, terus mau berangkat sekolah pakai apa?” tanyaku meminta kepastian.

“Di mana ada kemauan di sana pasti ada jalan, berdoa saja,” kata Abah tersenyum.

“Sagan apa binian sekolah tinggi-tinggi, hujung ke dapur jua, baik lakiakan. Nyaman ampih mikirakan memberi makani,” ucap Ibu menimbrung pembicaraan kami.

“Ikam kada beisi Abah. Mun handak sekolah minta duit ke wadah abah ikam sana!” ujar Ibu lagi.

Air mata menggenang lagi. Sepertinya aku tidak akan meneruskan sekolah layaknya kedua sahabatku, Aya dan Salwa.

***

Aku berjalan menuju lorong kelas untuk mengambil tas. Sekilas perhatian ke papan mading yang penuh tulisan aneka puisi, pantun dan cerpen.

Aku tersenyum melihat karya dengan nama pena “Naviela Anita”, bakatku tersalurkan. Tak banyak yang tahu kalau aku yang menulisnya. Termasuk hobiku mengunjungi perpustakaan di saat uang jajan habis dan perpustakaan adalah tempat terfavorit. Aku pernah dihadiahi kaos kaki oleh penjaga perpustakaan karena ia sering memperhatikan kaos kaki yang berlubang tumitnya. Memalukan. Tapi ini benar adanya.

“Sa, kok melamun? Sa?” tanya Aya mengejutkanku.

“Aya. Ada apa?” Aku menyeka air mata.

“Kenapa kamu menangis ?” Aya bertanya lagi sambil memiringkan kepalanya.

Mahya Dzafira atau yang sering kupanggil Aya, sahabat kecil dari SD. Kami mempunyai kebiasaan yang sama, suka membaca dan menulis. Bahkan makanan kesukaan pun sama.

“Nggak papa, aku hanya sedih berpisah dengan semua ini. Kita tak mungkin bisa mengulangnya lagi,” ucapku beralasan.

“Iya, gara-gara kamu. Aku jadi ikutan sedih, kamu sih!” ujar Aya cemberut.

“Oh, itu Fauzi nyariin kamu,” kata Aya lagi.

Mendengar nama Fauzi membuatku merinding. Bukannya menatap aku malah menunduk. Fauzi adalah musuh bebuyutan waktu di kelas satu. Dia terkenal karena suka iseng dan nakal. Aku termasuk korbannya karena mempunyai wajah pas-pasan dan berasal dari keluarga yang tidak mampu. Aku sering diejeknya atau diintimidasi dengan sebutan “Anak Penjudi” karena pekerjaan abahku. Katanya dia kerap menemukan Abah lagi bermain judi di belakang rumahnya.

Malunya bukan kepalang, ketika dia membeberkan aibku. Tapi apa mau dikataSemua ucapannya membuat tak fokus belajar dan nilai ulangan rendah. Aku depresi karena selalu diolok-oloknya. Beruntung, di kelas tiga kami tidak sekelas lagi.

“Ada apa, Zi?”

“Aku minta tanda tanganmu di sini !” ujar Fauzi menyerahkan bahunya.

“Sayang bajunya, Zi. Menurutku lebih baik dikasihkan ke adik kelas yang kurang mampu.”

“Ini untuk kenang-kenangan, nanti aku minta ke teman-teman lainya juga kok, nggak kamu aja. Jadi jangan geer, cepetan jangan banyak ngomong!”

“Baiklah.”

Kuberikan tanda tangan di lengan bajunya dengan spidol biru yang tadi diberikannya.

“Ok, makasih. Aku minta maaf atas semua perlakuanku selama ini ke kamu. Tolong dimaafkan, ya!” ucap Fauzi sembari mengerlingkan matanya.

Aku tertegun mendengarnya. Sepertinya ini tulus. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Kami saling bersalaman, ada dentuman lembut di hati. Perasaan suka kepadanya datang lagi tapi berusaha kutepis. Dia berlalu pergi dan menggoda teman yang lain.

“Hei, kalian berdua. Gak mau ikutan konvoi?” Salwa datang mengejutkan aku dan Aya.

“Nggak ah, aku nggak ikut. Nanti baju dipilok dan dicoret-coret,” jawabku cepat.

“Aku, ikut deh,” ucap Aya.

Mereka berlalu sambil bergandengan tangan. Aku hanya tersenyum kecut. Mereka konvoi menaiki beberapa buah motor lengkap dengan pilok dan spidol. Aku memilih pulang dengan mempercepat langkah. Karena ingin memperlihatkan nilai-nilai hasil ujianku kepada Ibu.

Sesampai di rumah kudapati Ibu dan Abah sedang bertengkar. Baru saja mengucapkan salam, sudah dibentak.

“Masuk kamar sana! Ini bukan urusanmu,” kata Ibu kasar.

Aku melangkahkan kaki dengan cepat ke kamar dan mendengar pertengkaran berlanjut.

“Sagan apa menukarkannya sepeda? Katiadaan, alahan pada bini kehandaknya diturutkan terus,” cerca Ibu nyaring.

“Tapi, Bu. Ini buat kebaikan Nisa. Aku yang bekerja, jadi terserah aku,” jawab Abah tegas.

“Alaah .... Amun dibalasnya kaina pas ganal? Amun hakun meharagu ikam kina mun garing?”ucap Ibu sinis.

Batinku teriris. Ibu terkesan tidak ikhlas untuk menyekolahkan. Aku ke luar dari kamar dan memberanikan diri menjenguk ke gudang. Benar saja, ada sebuah sepeda, aku hampir berteriak kegirangan.

“Aku akan melanjutkan sekolah? Ini mimpi atau nyata,” batinku keheranan.

“Kaina sekolah bujur-bujur, jangan handak sepapacaran, mun aku kada rigi menyekolahkan ikam tu,” ujar Ibu mengejutkanku seraya berlalu sambil menggendong Icha.

“Inggih, Ma.”