PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Gravitasi Cinta

Gravitasi Cinta

Penulis:Lovaerina

Berlangsung

Pengantar
Selama ini Keinara selalu bangga dengan status lajangnya. Akan tetapi, pertemuan Keinara dengan seorang pemuda berpayung biru di depan kafe Happiness Delight, menimbulkan getaran yang berbeda. Tanpa diduga, hubungan Keinara dengan pemuda tersebut menjadi dekat, meskipun tidak mengenal nama satu sama lain. Seiring waktu berjalan, rasa dalam hati Keinara kian tumbuh. Sayangnya, ketika Keinara meyakini rasa itu adalah cinta, sebuah praduga menyebabkan rumit yang sulit dielakkan. Akankah anggapan Keinara mengenai ketidakberhasilan cinta pertama menjelma kenyataan?
Buka▼
Bab

Bibir tebal seorang gadis tengah menyesap vanilla latte di gelas yang kedua. Hidung mungilnya mengembus napas dengan kesal. Dia jenuh. Selalu saja seperti ini setiap membuat janji temu. Sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan, sahabatnya yang bermata minimalis itu belum juga menampakkan batang hidung. Biasanya jika tidak terlambat datang, maka sudah pasti si pembuat janji tidak akan muncul sama sekali. Entah kali ini apa yang akan terjadi.

Sepasang mata bulat sosok yang tengah duduk menyendiri di sebuah kafe bertajuk Happiness Delight itu sibuk menelusuri gambar bergerak yang tersaji di layar computer jinjingnya. Aktivitas tersebut berhasil mengalihkan sedikit kekesalan akibat jenuh terlalu lama menanti.

If you need a lover ….

Let me know and let me in ….

Semua mata pengunjung di penjuru kafe menatap ke arah pojok ruangan, tempat si gadis pemilik sepasang mata bulat, bertubuh mungil berada. Bukan karena tergerak untuk memberikan saweran atas nyanyian yang terdengar lantang tersebut, melainkan gemas pada sosok yang tetap fokus pada layar laptop, dengan ujung kabel in-ear penyuara telinga yang menyambung pada laptop dan kedua bud menyumpal lubang kuping.

I could treat you better ….

Tangan seorang laki-laki terulur melepas paksa bud di telinga sebelah kanan si mata bulat. Membuat sosok itu membelalakkan kedua mata yang semakin bulat dan hendak marah karena kesenangannya terganggu.

“Hp-nya dari tadi bunyi,” ujar laki-laki pemilik lesung pada pipi sebelah kirinya, lantas berlalu pergi.

Steal you roses every—

Jempol mungil si gadis bermata bulat segera menggeser ikon telepon berwarna hijau di layar gawai, membuat alunan merdu suara penyanyi favoritnya terhenti dalam hitungan detik.

“Heh! Lian! Kamu di mana, sih?! Aku udah nungguin kalian berdua selama 12.000 detik. Jangan bilang kamu sama Mentari enggak jadi datang, deh!” cerocos gadis mungil itu sebelum suara si penelepon terdengar menyapa lebih dulu.

Sementara orang di seberang sambungan sana hanya terkekeh manja. Bisa dipastikan kekehan itu adalah pertanda buruk bagi si mata bulat yang sudah menunggu sekian lama.

“Nara cantik …. Maaf, banget, aku enggak bisa ke situ,” ucap Berlian dari telepon.

Gadis bernama Keinara yang sejak tadi menunggu sampai nyaris berlumut itu, berdecak sebal. “Ck! Kebiasaan deh!”

“Gimana dong? Pacar aku pas banget lagi free hari ini. Terus ngajak jalan,” keluh Berlian.

“Lian, tugas kampus lebih penting daripada pacaran, lho!” timpal Keinara, mengingatkan dengan ketus.

“Kan ada Nara. I count on you, Beb!”

Lagi-lagi Keinara berdecak. Sudah tahu tabiat Berlian memang seperti itu, tetapi selalu saja maunya berada di kelompok yang sama.

“Titip tugas, ya. Ra. Ada Tari juga, ‘kan?” Berlian membujuk Keinara.

“Boro-boro. Jam segini aja belum nongol,” gerutu Keinara.

Lama menjalin persahabatan membuat Keinara, Berlian, dan Mentari blak-blakan bersikap di hadapan satu sama lain. Kalau tidak suka, ya akan ditunjukkan. Mereka bukan tipikal yang menebar tawa bersama di depan, lantas mengumbar aib masing-masing di belakang.

“Ya, udah Aku percayakan semua sama kamu, Ra,” pungkas Berlian.

Tanpa menunggu sahutan dari Keinara, Berlian mengakhiri sambungan telepon, membuat dengkusan kasar kembali terlontar dari gadi itu. Mata Keinara menatap datar, bibirnya mengerucut panjang ke depan.

Kesal? Sudah pasti.

Tentu Keinara kesal. Sangat kesal. Sudah dua gelas vanilla latte habis diteguk sembari menunggu kedua sahabatnya itu datang. Namun, yang dia dapatkan justru kabar ketidakhadiran orang yang ditunggu.

“Terus yang bayar minuman ini siapa?” gumam Keinara. “Semoga aja Tari jadi dateng deh,” imbuhnya berharap, meskipun kemungkinan hadirnya pun hanya 0,01 %.

Jemari mungil Keinara menari kembali di layar ponsel dengan terampil. Dia menghubungi sahabatnya yang satu lagi. Kalau memang berniat datang, semestinya Mentari sudah ada di tempat.

“Halo, Ra!” Terdengar sapaan Mentari begitu panggilan Keinara diterima olehnya.

“Kamu di mana? Jadi dateng, ‘kan? Tanya Keinara lugas, tanpa basa-basi.

“Duh, Ra. Maaf banget, aku enggak bisa ke sana. Barusan banget Mas Pacar ke rumah. Ini kita lagi di jalan mau ke peternakan. Ada inspeksi kesehatan,” jawab Mentari.

Keinara tidak bisa melakukan apa pun lagi selain pasrah.

Sebenarnya hari ini mereka bertiga memiliki janji untuk mengerjakan tugas kuliah bersama di kafe Happiness Delight. Kenapa memilih kafe itu? Sebab, selain tersedia wifi gratis dengan kecepatan super kencang dibandingkan kafe yang lain, Keinara dan kedua temannya juga suka mencuri pandang pada pemilik kafe, seorang cowok seksi dengan kulit berwarna tan eksotis.

Meskipun Berlian dan Mentari memang sudah mempunyai kekasih, tetapi masih saja kecentilan saat di depan pemilik Happiness Delight yang senyumannya mampu melunturkan iman siapa saja. Sedangkan Keinara sendiri berusaha keras untuk bisa mengontrol hasrat genitnya, padahal masih berstatus High Quality Jomblo. Alias lajang.

“Nara, tumben sendiran? Lian sama Tari enggak ikut datang ke sini?” Sang pemilik Happiness Delight bernama Kaisar Alvaro itu menghampiri Keinara.

Intensitas Keinara yang datang bersama Berlian dan Mentari membuat Kaisar dan pegawai kafe lainnya cukup familier dengan mereka bertiga.

Keinara semakin memajukan bibir tebalnya. Dia masih kesal pada Berlian dan Mentari yang seenak jidat sendiri, membatalkan janji saat dirinya sudah lama menanti.

“Tadinya, sih, emang janjian, tapi mereka enggak pada jadi dateng,” sungut Keinara.

“Terus, itu muka kamu kenapa? Aku lebih suka kalau lihat kamu senyum imut dari pada manyun kayak gini,” cibir Kaisar.

Ucapan Kaisar itu berhasil membuat pipi bakpau Keinara merona merah, semerah-merahnya, seperti dipulas blush on 12 lapis. Malu. Gugup. Dan kesal. Semua berbaur menjadi satu.

Sementara itu, Kaisar tersenyum gemas melihat rona merah di pipi Keinara. Rasanya ingin mencubit, kalau bisa mencomotnya dan dikunyah seperti bakpau isi daging yang hangat. Karena penasaran, Kaisar mendudukkan bokong seksinya di kursi berhadapan dengan Keinara. Dia lantas menopang dagu menatap si gadis manis. Tatapan mata Kaisar itu sehangat vanilla latte yang baru saja disesap oleh Keinara.

Ditatap seperti itu, membuat jantung Keinara, tetapi itu hal yang wajar, 'kan?

To be continued.