PopNovel

Baca Buku di PopNovel

The Truth Untold

The Truth Untold

Penulis:Peachyjoy

Tamat

Pengantar
Ribuan kebohongan yang berusaha ditutupi akan terbongkar dengan semestinya. Sebanyak apapun mencoba menutupinya dengan duri, akan terlihat dengan keadaan yang sebenarnya. Ya, kebenaran yang tak akan dapat kau hitung dengan jarimu sendiri. "Kenapa? Kau terkejut melihat aku disini?" Anya terdiam dan kaget bukan main melihat laki-laki yang ada di depannya. "Apa? Terkejut dan menyesal mengetahui bahwa fakta Raihan adalah penerus perusahaan real state ini? Cih...bahkan wajahmu sangat menjijikkan." Anya sedikit mengepalkan tangannya. "Iya aku terkejut..." jawabnya datar. "Menyesal? Telah membuangku dengan sia-sia? Kau pikir aku miskin? Lihat saja dirimu...aku dengar fakta bahwa kau menjanda dan memiliki seorang anak. Itu karmamu karena hanya memanfaatkanku sewaktu dulu." Anya mencoba menahan emosinya. "Realistis saja, aku mencari pria kaya yang sanggup memenuhi kebutuhanku. Untuk apa aku bertahan dengan lelaki yang tidak punya uang, yang ada hidupku makin susah." Namun, Raihan membalikkan tubuhnya lagi. "Aku penasaran, apa anakmu itu adalah adikku? Bukannya kau menggoda ayahku demi uang 120 juta dan membuat ibuku menjadi susah?" Anya ikut membalikkan tubuhnya dan menatap Raihan dengan lantang. "Dia anakku dengan laki-laki yang aku cintai, bukan anak ayahmu yang pernah aku goda." Yes, The Truth Untold. Ribuan kebenaran yang tidak akan bisa bertahan lama di tempat persembunyiannya.
Buka▼
Bab

Happy reading.

"Siapa yang memperbolehkan membawa anak ke dalam kantor ini!" teriaknya di depan wajah Rania, membuat Rania tersentak dan sedikit mundur ke belakang. Di belakang Rania, si anak bungsunya yang sibuk memegangi pergelangan tangan bunanya dan mengajak untuk pulang.

"Aku sudah diberi kebebasan membawa anak jauh sebelum kau kembali kesini," jawab Rania masih dengan penuturan kata yang sopan.

Raihan mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau membuat kantor ini seolah-olah milikmu."

Rania menggeleng. "Tidak. Aku sadar siapa aku disini, aku hanya memberitahu bahwa aku diberi kebebasan untuk membawa anak-anakku."

"Cih! Aku ingin sekali menyayat bibirmu itu! Lihat apa yang telah anak sialanmu itu perbuat!"

Rania mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. "Anakku terlahir suci, bukan anak sialan," balasnya dengan sedikit dingin.

"Anak mana yang sangat nakal dan tidak tahu diri berkeliaran di saat semua orang sedang bekerja dan menumpahkan kopi di atas dokumen-dokumen penting yang telah aku tanda tangani."

"Aku akan ulang untuk mengeprintnya kembali dan aku minta maaf dan tolong jangan memarahi anakku." Kini, mata Rania sudah mulai berkaca-kaca.

"Aku tidak butuh air matamu!"

Gres!

Renan meremat kaleng minumannya yang telah kosong dan melemparkannya mengenai tong sampah. Matanya yang tajam menatap nyalang si sulung Raihan.

"Rania, selesaikan pekerjaanmu, ini perintahku sebagai atasanmu," kilah Renan, lalu tangannya bergerak mengambil lengan Vano kecil.

"Siapa yang berani menyuruh wanita sialan ini untuk pergi! Aku masih ada perlu dengan dia!" Raihan menunjuk-nunjuk Rania bagai sampah.

"Kenapa! Aku juga anak Ayah Haru, bukan kau saja. Walau kau yang akan menggantikan Ayah nanti, tetap saja kau hanya seorang manager sekarang. Dan yang berhak mengatur Rania disini adalah aku." Renan menggendong Vano yang gemetaran.

"Bunaaaaa...." panggil Vano lagi sampai mengangkat tangannya agar bunanya melihat.

"Ano sama Handa Renan dulu, ya. Buna akan pergi bekerja..." bujuk Renan pada Vano kecil yang malang. Anak itu tidak sengaja menyenggol kaki Raihan yang sedang berdiri, membuat Raihan oleng dan menumpahkan cangkir kopinya ke dokumen-dokumen pentingnya.

"Cih!" desis Raihan melihat Renan menyayangi anak Rania.

"Rania, pergilah, aku atasanmu," titah Renan sekali lagi.

Rania membungkukkan badannya pada Renan lalu pergi dari sana. Membiarkan anak bungsunya bersama dengan Renan.

***

"Mas! Tidak baik ah membuat orang-orang menunggu..." bisik Jihan yang sedang duduk dipangkuan Raihan. Pria itu hanya terkekeh dan menciumi punggung tangan Jihan dengan lembut. Matanya masih fokus dengan katalog di depannya. Memilih baju pengantin bersama Jihan. Rania yang berada disitu sesekali menggigiti bibir bawahnya. Sudah sekitar 15 menit dia berdiri bersama Nike, membuat kaki mereka berdua pegal. Selama itu pula mereka menjadi saksi kisah percintaan salah satu makhluk Adam dan Hawa yang sedang berbagi kemesraan.

"Baiklah, demi ratuku...." balas Raihan lalu mendongak menatap Rania dan Nike yang sudah mulai memucat.

Rania reflek menaruh dokumen yang telah diprint ulang dihadapan Raihan dan diikuti oleh Nike. "Ini Pak, dokumen baru. Maaf atas kesalahan anak saya. Lain kali saya akan mendidik anak saya dengan baik lagi."

Raihan dengan wajah datarnya hanya diam dan mulai menandatangani dokumen-dokumennya. Jihan pun berdiri dan membawa katalognya dan duduk di sofa yang menghadap jendela.

Setelah semua selesai, Rania dan Nike pun keluar. Rania menarik dan membuang napas lega. "Akhirnya..." gumamnya sambil menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.

***

Entah apa, Raihan seperti memiliki dendam yang amat mendalam pada Rania. Wanita itu berkali-kali dibentak olehnya hari ini. "Jika bukan karena Renan, anak sialanmu itu sudah aku hukum sampai dia jera," ujarnya mengapit dagu Rania dengan jari-jarinya.

Rania menepis lengan Raihan dan menatap nyalang. "Anakku hanya membuat kesalahan sedikit, kenapa kau sebegitu marahnya dengan dia? Aku tahu bagaimana aku harus mendidik anakku. Anakku hanya tidak sengaja telah menyenggolmu."

Raihan mendorong bahu Rania, sampai tubuh wanita itu terbentur tembok. "Kau!!" cakapnya dengan sedikit menarik rambut Rania ke belakang. "Tidak akan aku biarkan hidup tenang!" Lalu, matanya beralih memandangi tubuh Rania. "Murahan, cih!" Raihan mendorong kembali dengan tangannya hingga Rania tersungkur ke lantai.

Raihan berlalu begitu saja meninggalkan Rania. Rania menepikan tubuhnya ke pojok ruangan dan menangis dalam lengannya. "Tidak, tidak. Rania kuat.... Rania akan bertahan demi David dan Vano," lirihnya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.

Dengan langkah gontai Rania berdiri dan pergi menuju toilet untuk membasuh wajahnya. Di sana ada Jihan yang sedang berkaca dengan alat make up-nya. Rania membungkuk hormat dan disertai dengan senyum tipis yang manis.

"K-kau Rania, kan?" tanya Jihan ragu-ragu.

"Iya, saya Rania, Nona."

"Dulu, satu kampus dengan calon suamiku, kan?"

Rania sedikit tercekat lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi normal dan mengangguk sopan. "Benar, beliau adalah seniorku semasa kuliah dulu."

Jihan pun mengangguk-angguk paham dan kembali men-touchkan make-up ke wajahnya yang cantik dan jelita.

Handphone Rania berbunyi, menampilkan nama wali kelas David disana. Buru-buru Rania keluar dan mengangkat telponnya.

"....."

"Apa? Ibu, bagaimana bisa David memukul temannya?"

"......."

"Baik, saya akan segera kesana."

Rania menutup telponnya dan tergesa-gesa ingin ke sekolah David. Putra sulungnya tengah berkelahi dengan teman sekelasnya.

Brugh!

Rania tersungkur sampai hak sepatunya copot dan terlepas begitu saja. Lututnya perih dan sikunya nyilu. Saat dia menoleh siapa yang telah menjahilinya, dia mendapatkan Hana yang sedang tertawa terbahak-bahak. Rania menarik napasnya dalam - dalam dan berdiri kembali, memunguti hak sepatunya yang copot. Dia tidak menggubris perlakuan Hana, dia sangat lelah sekali hari ini. Di sisi lain, Raihan melihat semuanya. Bagaimana Hana yang menjulurkan kakinya sehingga Rania tersungkur dan membentur lantai tanpa ampun.

"Cihhh.... ceroboh," gumamnya tanpa sadar dan berlalu begitu saja.

***

To be continue...