PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Habis Lelah Terbitlah Lillah

Habis Lelah Terbitlah Lillah

Penulis:Rosyida Kholil

Berlangsung

Pengantar
Blurb "Hati-hati dalam bergaul, Nduk! Ibarat baju putih yang direndam bersama dengan baju yang luntur, niscaya Ia akan ikut tercemari warnanya". Pesan terakhir ibunya satu minggu yang lalu, seakan jelas terdengar kembali menggema di telinga Nisa, selepas Ia melangkahkan kaki mengantarkan sang Ibu di tempat peristirahatan terakhirnya. Buku ini tentang Annisa, kisah anak manja yang selalu dituruti kemaunya, namun di usia remaja Ia harus kehilangan orang tuanya.
Buka▼
Bab

"Nisaaa, ada telpon!" teriak ibu kost, memanggil Nisa dari pintu belakang rumahnya sepagi itu.

"Iya, Bu" jawab gadis remaja berusia 18th itu terbangun dari tidur malasnya, pasalnya hari minggu adalah hari libur sekolah dan waktunya para anak kost untuk bermalas-malasan.

"Halo," sapa Nisa membuka percakapan, sembari menutup mulutnya yg terbuka lebar, dengan menggenggam gagang telpon dan mata yang masih terasa berat.

"Nisa sayang, ini Tante Risda, kamu pulang ya, sekarang! Ibumu sakit keras, Nis" ucap adik ke empat ibu Nisa itu, suaranya terdengar bergetar seakan menahan tangis.

Seketika suara itu menghilangkan beban berat di mata gadis kelas tiga SMA itu. Jantungnya berdebar tiga kali lebih cepat dari sebelumnya, ada rasa cemas bercampur lemas kini menghampirinya.

Nisa pun bergegas pulang ke kampung halamannya, karena butuh waktu 3 jam untuk bisa sampai ke sana. Gelisah menyelimuti hatinya, beribu pertanyaan tersirat di benak anak bungsu itu, memikirkan bagaimana keadaan sang Ibu di rumah.

***

Annisatus Sholihah adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, hidupnya yang dari kecil berkecukupan membuat Ia menjadi anak yang manja. Kedua orang tuanya sangat menyayangi Nisa, seakan apa saja yang gadis itu minta selalu di turuti oleh mereka, kedua kakak laki-lakinya pun tak kalah sayangnya dengan Nisa, karena memang Nisa juga anak perempuan satu-satunya dalam keluarga mereka.

Pak Haji Rusdi dan Bu Hajah Azizah adalah termasuk salah satu jajaran orang ternama di kampunya. Usaha dagang beliau cukup maju dan tak banyak saingan dagang di kampunya, hal itu membuat usaha orang tua Nisa berkembang pesat. Serta hasil dari tanah perkebunan warisan dari orang tua Hajah Azizah yang cukup luas, setiap tahunya juga membuahkan hasil panen.

Haji Rusdi adalah seorang yang jujur dan soleh, beliau berasal dari keluarga biasa, tapi orang tua Hj. Azizah memilih beliau untuk menikahi anak perepmpuanya, karena melihat kealiman dan ketaan Haji Rusdi kepada orang tuanya.

Kakek Nisa Haji Abdusyukur, juga orang kaya di kampunya, tapi beliau sudah meninggal setelah Hj. Azizah melahirkan putra pertamanya di usia 6th. Nenek Nisa Hajah Rohmah, masih sehat dan memilih tinggal bersama Ibu Nisa.

Ibu Nisa, memang sering sakit-sakitan dan sedang dalam masa pengobatan, Beliau mengidap penyakit tuberculosis. Beberapa kali Nisa mendengar saat Ibunya tak henti dari batuk yang seakan menyiksanya, sembari merintih menyebut asma Allah, Nisa pun penasaran dan berlahan menuju kamar Ibunya, lalu membuka pelan tirai kamarnya. Sungguh pemandangan yang sangat memukul hati Nisa, ketika Ia harus melihat sang Ibu tengah memuntahkan darah.

Terlihat Ayah Nisa di sana, yang setia menemani di samping Ibunya, dan mbok Imah yang sibuk membersihkan sisa bekas darah yang tercecer di lantai kamar. Namun gadis manis berhijab itu, masih ingat betul, kalau dua hari yang lalu Ibunya masih sehat, bahkan mengunjunginya ke tempat kost Nisa.

Saat itu Ibunya membawa masakan kesukaan Nisa yang beliau buat sendiri, dan tanpa menghilangkan kebiasaanya Hajah Azizah menciumi anak gadisnya itu, layaknya anak balita yang di cium pipi kanan dan kiri, kemudian mencium keningnya dengan penuh cinta, seakan lupa anak gadisnya sudah beranjak dewasa, hingga Nisa merasa malu di buatnya.

****

Semilir angin pagi yang dingin menerobos jendela bus yang Nisa tumpangi, dan mengantarkan semerbak aroma bunga melati. Wewangian itu tercium jelas dan membuyarkan lamunan gadis manis itu, wangi itu adalah wangi khas kesukaan ibunya, tak sadar Nisa mengendus dengan kepala yang Ia arahkan ke kanan dan ke kiri mencari dari mana asal weangian itu, Ia merasakan kehadiran Ibunya di situ, sampai ahirnya Ia tersadar Ibunya sedang sakit kritis di kampung dan tengah menunggu kedatanganya. Hatinya semakin gelisah,

"Ada apa ini, kenapa mendadak perasaan ini semakin tak menentu," Nisa bermonolog dalam hati, kemudian menarik nafas panjang dan mengeluarkanya perlahan.

Sesampainya bus di terminal kampung halamanya, segerombolan ojeg pangkalan pun berlarian mengejar ke arah armada yang Nisa tumpangi, mereka saling berebut dan mendekati para penumpang dari bus itu, untuk menawarkan jasanya.

"Ojeg, Mba?" salah satu di antara mereka bertanya pada Nisa. Gadis itu tak menjawab, Dia hanya nggukkan kepalanya tanda setuju.

"Kemana, Mba?" kembali sang ojeg bertanya, sembari mengambil helm yang tercantel di spion motornya, lalu Ia kenakan.

"Haji Azizah, anaknya Haji Azizah," saut salah seorang ojeg di situ, dan membuat Nisa beralih pandangan menatap ke arah segerombolan ojeg pangkalan itu. Tak lama kemudian, merekapun salaing bertatapan dan samar terdengar oleh gadis itu mereka tengah berbisik-bisik sambil menatapnya.

"Anak bungsunya Bu Haji, yang sekolah di luar kota," dan entah apa lagi yang mereka bicarakan, Nisa tak mendengar karena motor yang Dia tumpangi berlahan melaju.

Kembali benak Nisa di selimuti pertanyaan, "Ada apa sebenarnya, kenapa para ojeg itu seolah membicarakanku," gumanya dalam hati.

Dari kejauhan rumahnya sudah nampak terlihat, namun kali ini berbeda, ada banyak warga di halaman rumah bahkan sampai ke halaman rumah tetangganya. Belum Nisa berhentikan, ojeg pun sudah berhenti tepat di depan halaman rumah. Seorang pria bergegas menghampiri gadis itu, Dia merangkul erat gadis bertinggi badan 160 cm, dengan berat badan 50 itu erat, dan gadis itu menyalami kakak keduanya. Nisa masih terbengong, dengan pemandangan yang Ia lihat saat itu dan Ia pun memecahkan rasa penasarannya pada Mas Haris kakak ke duanya itu.

"Ada apa ini, Mas? Mana Ibu, Mas?" ucapnya, matanya menukil tajam kedalam rumah, di sana juga terlihat banyak ibu-ibu sedang duduk di atas tikar, dan saling berbisik memandang ke arahnya.

"Kamu yang sabar, ya! yang ikhlas," jawab pemuda berusia 22th itu, semakin erat merangkul adik perempuanya itu dan tanganya mengelus-elus lengannya, seakan sedang menenangkan Nisa, sambil mengajaknya terus melangkah mamsuki rumah.

"Itu, Ibu. Allah sudah menghilangkan rasa sakitnya" tangannya menunjuk ke arah sebuah ranjang di ruang tengah, beberapa orang di dekat ranjang itu pun berdiri seolah memberinya jalan, dan terlihat seorang sedang berbaring terbujur kaku di sana, di tutup kain batik berwarna coklat tua.

Gadis itu semakin mendekati ranjang, seraya menutup mulutnya, perlahan Ia membuka bagian atas kain batik itu. Seketika nafas Nisa mendadak tak beraturan, lidahnya terasa kelu, tenggorokannya kian mengering, dan jantungnya seolah berhenti berdetak.

Tak ada tangis, tak ada suara bahkan tak ada tenaga. Badannya kian kehilangan keseimbangan dan kakinya serasa tak bertulang, lemas tak berdaya dan hanya gelap yang Ia rasa.

"Buuuugggg ... " gadis manis berhijab itu tak sadarkan diri, Ia terlepas dari rangkulan kakaknya dan terjatuh ke lantai.

"Astaghfirullah .., Astaghfirullah..," samar Nisa mendengar suara Mas Agung, Kakak pertamanya berbisik tepat di telinga kanannya.

"Nisa, bangun Nisa, istighfar!" terdengar pelan suara sahabatnya, Laela. Dia menggenggam erat tangan Nisa, dan mengelus-elusnya. Badannya masih kaku dan entah apa yang terjadi Nisa pun masih belum sadar betul.

"Mba Izah ...! Mba Izah ...!" di sebelah kiri terdengar jelas suara teriakan serta tangisan yang menyadarkan Nisa, suara dari Tante Yani, adik kedua Ibuunya. Seketika tangis gadis manis itu pecah tak terbendung, ada rasa sakit yang kian menyayat hatinya, ada rasa tak percaya menyelimuti, seakan Ia ingin terbangun dari tidurnya, namun Ia sadar, semua ini bukanlah sebuah mimpi.

****

"Hati-hati dalam bergaul, Nduk! Ibarat baju putih yang di rendam bersama dengan baju yang luntur, niscaya Ia akan ikut tercemari warnanya". Pesan terahir Ibunya satu minggu yang lalu, seakan jelas terdengar kembali menggema di telinga Nisa, selepas Ia melangkahkan kaki mengantarkan sang Ibu di tempat peristirahatan terakhirnya.

___

*Nduk = Panggilan sayang untuk seorang anak perempuan.