PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Renjana

Renjana

Penulis:Saniyah

Berlangsung

Pengantar
Jika cinta adalah pilihan, maka aku akan memilihmu untuk terus hidup bersamaku! Persahabat dengan sebuah perbedaan agama bukanlah suatu masalah bagi Shanum dan juga Lucas. Kendati begitu lama bersahabat, keduanya sama-sama di tumbuhi perasaan sayang yang lebih. Mungkinkah, perbedaan besar itu menjadi hambatan bagi sebuah rasa yang mereka sebut cinta? Lalu bagaimana dengan perbedaan besar di agama mereka?
Buka▼
Bab

Banyak yang berpendapat; bahwa tidak ada yang murni antara persahabatan antara seorang perempuan dan laki-laki. Di antara salah satunya pasti menyimpan perasaan lebih dari sekedar bersahabat.

Rupanya, hal yang aku kira tidak mungkin terjadi di antara aku dan kulkas--- Lucas maksudnya, menimpaku.

Aku malu dan enggan mengakui--- jika ternyata lambat laun perasaan nyaman ini datang secara perlahan.

Aku rasa aku ingin, memilikinya.

Aku cukup kuat untuk tidak cemburu jika Lucas sedang bersama dengan perempuan lain. Yang aku tahu juga bahwa perempuan itu bukan siapa-siapa Lucas.

"Kau cemburu?"

Aku tersentak kaget saat Rani dengan tiba-tiba duduk di sampingku.

"Tidak! Tidak sama sekali!"

"Kita ini sudah SMA, tidak ada yang percaya jika kau dan--" Rani menunjuk Lucas yang berada di sudut kantin dengan dagu nya. "Hanya sekedar bersahabat".

Aku baru membahasnya ...

"Kau pasti menyukainya?"

"Rani..." Aku berdecik kesal.

"Kenapa? Takut jika Lucas pergi menjauh saat kau mengakui perasaanmu?"

Aku memutar bola mata, ingin sekali menyumpal mulut Rani dengan ciki yang sedang ia makan.

"Alasan klasik. Cinta ya cinta saja..."

"Rani.. Berapa kali aku bilang, aku tidak menyukainya, apalagi mencintanya". Suaraku cukup tegas untuk Rani agar tidak melanjutkan opininya lagi.

"Mencintai siapa?"

Aku langsung menoleh ke arah suara dengan perasaan yang berdebar saat mendengar suara Lucas yang begitu dekat. "Kau ini!"

"Siapa yang sedang jatuh cinta?"

"Rani". Aku sontak menunjuk Rani, tetapi dengan waktu bersamaan Rani menunjukku. "Shanum".

Mendengar itu, Lucas melirik kami secara bergantian.

Hanya dengan begitu saja jantungku berdegup tidak karuan. Padahal--- aku dan Lucas sudah bersahabat hampir 6 tahun, sejak kami duduk di kelas 7.

"Oke baiklah! Lanjutkan cerita kalian nanti! Sekarang aku ingin membawa Mochi pulang. Umi sudah menelpon".

"Umi meneleponmu?"

"Iya. Katanya; kau tidak menjawab teleponnya".

Aku bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam tas ku. Ada 5 panggilan tidak terjawab yang terlihat di layar ponsel. "YaAllah- Aku tidak mendengarnya".

"Ayo pulang! Sudah selesai kan'?"

Aku mengangguk.

"Rani, kami pamit ya. Kau hati-hati nanti!" Lucas mengakhiri ucapannya dengan senyuman lebar.

Begitulah Lucas.

Perhatian dan baik pada siapapun.

Tidak sedikit perempuan yang salah mengira jika Lucas menyukai mereka. Padahal-- Lucas memang baik kepada semua perempuan. Ia begitu ramah dan lembut.

Lucas memang begitu luluh pada perempuan. TIDAK TERKECUALI!!

Entah itu teman sebaya, yang lebih muda, orang tua, guru bahkan ibu kantin-- Lucas begitu ramah kepada mereka.

Mungkin--- itu juga salah satu penyebab mengapa perasaan lebih ini muncul untuk Lucas.

"Kenapa diam saja?"

Entah kenapa aku begitu malu pada Lucas saat ia memergoki obrolanku dengan Rani. "Sariawan". Jawabku seadanya.

"Padahal aku baru mau membelikanmu ice cream. Tapi berhubung kau sedang sariawan- tidak jadi".

Ice cream? Tumben sekali

Aku hanya diam. Aku tahu ia hanya berpura-pura saja ingin membelikanku ice cream.

"Aku tidak pura-pura. Aku serius ingin membelikanmu ice cream".

Kulkas bisa membaca pikiranku?

"Tidak perlu. Aku langsung pulang saja. Ini sudah mau maghrib".

"Pegangan!"

Hah?

"Aku bilang pegangan!"

Aku langsung meremas ujung seragam di masing-masing sisi samping tubuh Lucas. Ia mempercepat laju motornya. "Kenapa ngebut?"

"Kau bilang mau maghrib. Aku baru ingat ini malam jumat, kau kan harus mengaji".

Tiap kali Lucas bicara di motor, ia harus selalu menaikkan volume suaranya, sedikit berteriak- agar aku bisa mendengarnya dari belakang.

Tapi saat motor melaju lebih cepat, aku tidak bisa mendengar apa yang baru saja Lucas katakan.

"Kau bicara apa?"

"Kau mengaji".

Apa sih yang Lucas katakan? Kenapa dia bilang ingin membeli gergaji.

"Oh iya".

Kami bertetangga. Rumah kami berada di dalam satu komplek bernama Nirwana. Kebetulan juga rumah kami bersebrangan, hanya di batasi dengan dua jalur jalan berlawanan arah dan pembatas jalan yang di hiasi pepohonan.

Aku sedikit bingung saat ia menurunkanku di depan rumah. Bodohnya, aku tetap stay di atas motor dan masih meremas ujung seragamnya.

Kulihat Lucas melepas helmnya dan menoleh ke arahku. "Kenapa tidak turun?"

Aku kebingungan. "Kau bilang akan membeli gergaji. Kenapa malah pulang?"

"Siapa yang mau membeli gergaji?"

Dengan polosnya aku masih belum sadar juga. "Kau---"

Lucas menertawakanku. "Aku bilang; kau harus mengaji. Lagipula, untuk apa aku membeli gergaji. Dasar!"

Ah-- aku salah mendengar.

Aku langsung turun dari motor dan menyampirkan tas di bahu ku, yang sebelumnya ku letakkan di antara tubuh Lucas dan tubuhku. "Yasudah. Terimakasih".

"Mochi! Mengajinya sampai jam berapa?"

"Seperti biasa. Kenapa mesti tanya lagi?"

"Ah- iya iya maaf".

"Sudah aku mau masuk!"

"Iya! Jangan lupa doakan aku!"

Sambil menutup gerbang, aku hanya bergumam saja.

Apa Lucas tidak pernah menaruh sedikit perasaan lebih kepadaku? Kami bersahabat cukup lama, apa tidak ada debaran-debaran yang aneh saat berdua saja seperti tadi? Apa hanya aku saja?

Otakku terus saja bertanya-tanya.

Lalu, setiap kali aku tersadar kami berbeda----- "Astaghfirulloh".

Walaupun ia memiliki perasaan yang sama padaku, jelas kami tidak bisa bersama. Kami jelas berbeda. Lagipula, umi dan abi melarangku berpacaran.

"Sudah ambil wudhu belum?"

Aku tersentak kaget, saat bang Gibran ternyata sudah berada di ambang pintu. "Sudah bang. Sebentar lagi Sha-sha turun kok".

"Apa yang kau pikirkan? Abang lihat kau melamun tadi".

"PR". Jawabku bohong.

"Pantas..."

Setelah bang Gibran kembali menutup pintu kamarku, aku langsung mengambil mukena dan turun untuk sholat berjamaah dengan abi, umi dan bang Gibran.

Itu rutinitas kami setiap malam jumat. Kami selalu sholat maghrib berjamaah dan setelahnya mengaji bersama.

Abi juga selalu mengajakku, umi dan bang Gibran untuk melakukan percakapan. Apa yang terjadi belakangan, atau merundingkan sesuatu. Kata abi komunikasi dengan keluarga itu penting. Sesibuk apapun abi, setidaknya setiap malam jumat, abi selalu menyempatkan diri untuk keluarganya.

Sholat dan mengaji biasanya selesai setelah Isya, kemudian aku membantu umi untuk menyiapkan makan malam.

"Sha, katanya; Lucas mau ikut makan malam".

"Makan malam?"

"Iya. Jadi nanti kalau sudah selesai, kamu kabari Lucas ya!"

Sulit sekali menyukai seseorang yang selalu berada dekat di sekitaran. Entah itu sekolah, rumah dan bahkan keluarga.

Jika orang lain mungkin akan senang, jika di dekatkan terus dengan seseorang yang mereka sukai. Tapi untukku tidak. Justru hal itu membuatku terus berbohong pada diriku dan juga perasaanku sendiri.

Ya-- Beberapa persen tentu membuatku senang. Apalagi dengan sikap perhatian dan manisnya. Tapi--- ada tapinya lagi. Lucas memang begitu pada semua perempuan. Jadi aku harus selalu bersabar kala melihatnya.

"Sha--? Sudah kabari Lucas belum? Ini sudah selesai". Umi sedikit berteriak dari dalam dapur.

"Iyah umi".

"Kenapa harus ikut makan malam juga coba? Padahal kan dia sudah tiap pagi sarapan disini. Ck". Aku berdecik kesal dan mengerang sebal sampai abi berdehem dari belakang.

"Abi--"

"Jadi---- Sha-sha tidak suka kalau Lucas makan disini?"

"Bukan. Bukan begitu abi---" Aku gelagapan. Sejak kapan abi ada disana?

"Jadi---?" Abi menunggu jawaban dariku.

Aku merasa di sudutkan, hal itu membuatku tidak bisa berpikir jernih. "Itu--- maksudnya Sha itu--"

"Si kulkas----" Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba saja gatal.

"Nak! Apa salahnya berbagi selagi kita mampu? Apalagi berbagi dengan orang yang membutuhkan?"

"Apa arti orang yang membutuhkan?"

Aku memutar bola mata, mencari jawaban. "Orang yang tidak punya, bi".

"Orang yang membutuhkan tidak selalu orang yang kurang mampu, melainkan orang yang memang membutuhkan bantuan kita".

"Misalnya-- Pak Sanusi di samping rumah. Kau lihat betapa megah rumahnya? Betapa banyak mobilnya? Tapi saat ia membutuhkan sesuatu, tidak apa-apa kita membantunya. Misalnya tiba-tiba ia butuh lilin karena lampunya padam. Atau semacamnya. Begitu nak---". Abi mengusap pucuk kepalaku.

"Iyah abi".

Segera setelah abi berlalu ke ruang makan, aku langsung menghubungi kulkas.

"Halo".

"Assalamualaikum nya mana?"

Terkadang aku bingung dengan perasaanku, kenapa bisa-bisa menyukai laki-laki jahil sepertinya.

"Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam".

"Jadi makan malam disini?"

"Oh sudah mengajinya?"

"Sudah".

"Otw".

"Eh Assalamualaikum".

"Waalaikumasalam".

Semua orang dirumah sudah siap untuk menyantap makan malam, hanya saja menunggu seseorang yang belum datang.

"Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam". Orang rumah menjawabnya bersamaan.

Lucas masuk dengan wajah yang begitu sumringah. Senyumnya begitu menunjukkan betapa senangnya ia bisa makan malam di rumahku.

"Duduk, Kas!" Bang Gibran menepuk kursi di sebelahnya. Dan Lucas langsung duduk di samping Bang Gibran bersebrangan denganku.

"Terimakasih ya umi, abi, Lucas boleh makan malam disini". Ia memamerkan giginya yang putih.

"Lucas, kau ini seperti baru mengenal kami tiga hari". Candaan abi.

Sebelum makan kami berdoa, termasuk Lucas. Saking seringnya ia sarapan di rumahku, ia ikut hapal bagaimana doa sebelum makan.

Ya. Setiap hari Lucas sarapan dirumahku.

Setiap hari

Setiap pagi

Bahkan kadang ia mengatakan ini kepada umi "Boleh tidak umi, Lucas membawanya juga untuk bekal makan siang?"

Aku rasa, hampir setiap hari ia mengatakan hal itu kepada umi selama kurang lebih setengah tahun saat kami masih SMP.

Bagaimana ceritanya?

Kami teman sekelas kala itu.

Suatu pagi, seseorang dengan rambut berantakan datang tiba-tiba ke rumahku sambil membawa sebuah piring yang berisikan sepotong roti selai kacang, dan dua buah sosis bakar yang belum begitu matang.

Mata polos yang mengantuk itu menatap umi. "Boleh aku sarapan disini bersama Shanum? Aku membawa sarapanku sendiri".

Umi hampir menangis kala itu.

Umi menundukkan tubuhnya, mengelus kepala Lucas sambil berkata "Lucas, mau tidak sarapan bersama Shanum setiap pagi disini? Tapi, Lucas tidak perlu membawa sarapan sendiri. Biar umi yang buatkan".

Lucas sempat diam sampai beberapa detik, sampai akhirnya ia tersenyum semangat.

Tidak sampai hati umi melihat anak laki-laki yang seusia denganku itu melarikan diri di tengah sarapan, karena kedua orangtua Lucas yang bertengkar. Belum lagi, mendengar pernyataan bahwa sebenarnya Lucas tidak menyukai selai kacang, tapi mamanya tidak tahu akan hal itu.

Tidak hanya umi, aku juga hampir menangis mendengar anak kecil yang begitu riang dan baik di sekolah, ternyata mengalami hal pahit di rumahnya.

"Aku bantu mencuci piring ya?"

"Tidak perlu!"

"Lagipula aku hanya basa basi".

"Ck! Menyebalkan".

***

Ku kira Lucas sudah pulang sejak tadi. Ternyata sampai pukul 10 ia masih bermain-main bersama abang Gibran. Apa dia tidak memiliki PR?

Drrt!

Aku meraih ponsel yang berada di ujung meja belajar.

Kau sudah selesai mengerjakan PR nya? Jika sudah, aku akan pulang.

Random.

Laki-laki blasteran Jepang itu memang sangat acak. Aku selalu tidak bisa menebak jalan pikirannya.

Pulang saja! Lagipula, kenapa harus menungguku selesai mengerjakan PR?

Aku menemanimu mengerjakan PR. Itu sebabnya aku masih disini dan tidak pulang.

Menemani? Menemani apanya? Kau sejak tadi bersama bang Gibran.

Setidaknya kan' aku masih berada di sekitaran rumahmu.

Aku mendesah berat. Tapi setelahnya aku tidak mampu juga untuk menahan tawa.

Mochi.. Aku ingin bicara.

Aku tidak mau dengar.

Tapi kau membaca pesanku.

Read

Kau menyukai seseorang?

###