PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Bukan Halu

Bukan Halu

Penulis:Ulya Faudiyah

Berlangsung

Pengantar
Jika ini memang halu mengapa dia begitu perhatian. "Hati-hati, dong. Masak gitu aja sudah jatuh." Tangan Riko mengelap lukaku dengan alkohol. "Aw," ringisku menahan sakit. "Sorry, sakit yah. Tahan." Hembusan nafas pelan oleh Riko di lututku sedikit mengurangi nyeri. "Gimana? Udah agak mendingan, kan?" Aku mengangguk pelan. Seila yang melihat Riko yang begitu perhatiannya padaku. Melengos pergi. Aku tau dia menyukai Riko. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada sosok tampan yang berlutut mengobati lukaku saat ini. Hidungnya yang mancung dan bibir yang begitu tipis. Bahkan bulu matanya begitu lentik hingga jika di bandingkan denganku, akan kalah jauh.
Buka▼
Bab

"Gimana hubungan lo sama Riko?" Tanya Rita, sahabatku satu-satunya.

Aku menggelengkan kepala, menatap lesu ke bawah.

"Aduh, parah sih. Gue kira lo bakal ada peningkatan. Meskipun kita masih setahun kenal tapi gue bisa ngerasain kalau kalian berdua itu emang sama-sama suka." Ungkapnya sambil memakan es cream cokelat kesukaannya.

"Entahlah, aku berasa kayak jemuran tau nggak, Rit. Ngegantung tanpa kepastian. Atau mungkin memang cuma aku yang suka Riko. Tapi, Riko sendiri ngak." Bisingnya kantin. Tak menyurutkan pembahasan yang sering kami bicarakan.

"Nggak, itu nggak mungkin." Suara tinggi Rita membuat seisi kantin menoleh ke arah kami.

"Ayok, kita makan di kelas saja. Bikin malu aja, sih." Gertakku.

"Sorry manis. Gue pelanin suara gue. Sebagai gantinya lo pesen deh apa saja, nanti gue yang bayarin." Itu teknik ampuh yang selalu Rita keluarkan ketika sedang membujukku.

"Untuk sekarang, itu nggak mempan yah. Aku lagi nggak nafsu."

"Eh, nggak nafsu apaan nih." Celetuk Riko yang entah kapan datangnya.

Aku dan Rita memang sekelas sedangkan Riko di kelas lain. Rita temanku sejak awal masuk ke sekolah SMA Bintang 1 ini. Awal bercakap dengannya seperti berbicara dengan teman lama saja. Ucapannya yang kadang ceplas-ceplos itu ang membedaknnya denganku yang terkesan pemalu. Riko teman sejak SD. Kebetulan kami bertetangga. Rumah kami berhadapan di sebuah Perumahan A.

Ketika orang tuaku ke luar kota. Mami dan Papi pasti menitipkanku pada keluarga Riko. Begitu pun sebaliknya. Karena kedekatan yang seperti itu. Orang tuaku mempercayai Riko untuk selalu menjaga anak semata wayangnga ini. Tidak ada yang aneh. Namun, hatiku menemui dilema. Aku menyukai Riko, entah dirinya. Apakah merasakan hal yang sama?

"Itu, Mia. Aku traktirin makan, nggak mau. Padahal nggak diet."

"Buat gue aja, Rit. Traktirin gue, yah?"

"Dasar cowok kere. Sudah sana, nih duitnya." Rita menyodorkan selembar kertas merah pada Riko.

"Mantap."

Selapas Riko pergi. Rita menyikut lenganku.

"Gebetan lo suka gratisan. Nggak modal." Ledek Rita sambil teetawa.

"Ih, bukan nggak modal. Ada gratisan, kenapa milih yang berbayar."

"Uhuy, bela terus. Kalau sudah jatuh cinta. Semua terlihat perfect. Bau kentutnya pun, di bilang hembusan aroma terapi." Tawa Rita membludak dengan tubuh agak gempalnya itu. Hampir semua anggota badannya bergerak.

"Hm, terus." Ucapku malas.

Rita menyikut lenganku lagi. "Apa lagi?" Tolehku ke arahnya.

"Tuh, liat."

Ku arahkan mataku yang di tuju oleh Rita. Mataku melotot.

'Banyak banget.' Lirihku dalam hati. Melihat Riko membawa begitu banyak yang ia pesan. 'Untukku, kah?' Tanya dalam hati.

"Kenapa? Gue beli ini bukan buat di makan sendiri, kok." Ucap Riko, seolah mengerti apa yang kami pikirkan.

"Ini buat lo, Mia." Satu humberger, hotdog serta friench potato. Di sodorkannya untukku.

"Apa, mana muat perutku, Riko?"

"Nggak muat, masih bisa di bantu sama si Rita." Rita tersenyum lebar mendapati dirinya bisa melahap semuanya.

"Pengertian banget sih, Riko. Uwuwu...." Ungkapnya sambil memukul lenganku.

"Is, sakit, Rita." Kebiasaan suka mukul lenganku yang berdiameter mini ini.

"Kegirangan habisnya. Mana yang mesti gue makan duluan?" Aku pasrah saja Rita mau makan semua yang tersaji saat ini. Belakangan ini, nafsu makanku menurun. Entah mengapa.

"Tunggu dulu, Nona Rita. Biarkan temanku, Mia. Makan terlebih dahulu." Cegah Riko.

Muka Rita masam. "Jadi, maksud lo. Gue makan sisa bekas Mia, gitu?"

Riko mengendikkan bahu. Aku yakin Rita bertanduk saat ini. Sudah tinggi harapan, taunya di lempar begitu saja. Dasar Riko, memang suka memanipulasi ungkapan. Ku hembuskan nafas berat. Seperti yang dia lakukan padaku. Hatiku terseliput rasa halu yang mendera, terkadang melihat sikap pedulinya padaku. Membuatku merasa bahwa ia juga memiliki rasa yang sama.

"Ini Rit. Lo makan humberger dan hotdognya. Aku makan ini saja." Tanpa babibu, Rita mengambil keduanya dengan sigap.

"Lo memang sahabat gue yang terbaik." Pujinya.

********

"Kenapa mobil lo, Mia?" Riko menghampiriku yang lagi mengitak-atik mesin mobik. Entah sebelah mana yang bermasalah.

"Ini mobilku mogok. Padahal baru beberapa hari lalu di bawa ke bengkel."

"Ya udah, pulang sama gue aja. Masalah mobil lo, nanti kita bisa bilang ke bokap lo buat panggilin montir benerin ini."

Tak ingin berlama-lama, aku mengikuti saran Riko saja. Ku buntuti Riko yang keluar dari parkiran mobil menuju parkiran motor.

"Eh, bentar Riko. Kamu pakek motor?" Ku memicingkan mata memegang rok mini yang ku pakai.

"Iya. Udah nggak papa. Lo bisa duduk miring." Ujar Riko enteng.

Menelan ludah, berharap rokku tak terangkat oleh angin nanti.

Riko melemparkan sebuah jaket kulit hitam padaku. "Buat apa?"

Riko melilitkan jaket itu di pinggangku. "Gini. Beres, kan. Helmnya pakek."

Sedikit banyak, jaket milik Riko ini menyelamatkanku.