PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Pembantu Tajir

Pembantu Tajir

Penulis:Lestari Zulkarnain

Berlangsung

Pengantar
Amira—gadis yang baru lulus kuliah dipaksa oleh ayah dan ibunya untuk menjadi asisten rumah tangga supaya merasakan betapa susahnya menjadi ibu rumah tangga. Selama ini, Amira hanya terima beres untuk segala sesuatunya, secara Ia adalah putri tunggal pemiliki Property ternama. Ia menjadi Pembantu Rumah Tangga di Kediaman Pak Fredy. Bagaimana kelanjutannya? Pastinya seru ... banget.
Buka▼
Bab

“Mir, siapkan bajuku!” perintah Angga, anak Pak Fredy--majikanku.

“Baju yang kayak apa, Mas,” tanyaku kurang paham. Memang aslinya aku tidak paham. Jangankan baju kantor, daster saja aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya kaos oblong dan celana jeans.

“Astaga! Kamu bisa kerja nggak, sih! Sono tanya sama Mbok Yem!” suruh Angga dengan nada kesal.

Aku menghampiri Mbok Iyem yang sedang memetik sayuran di dapur.

“Mbok, maaf, itu Mas Angga minta diambilin jas dan hem, aku nggak paham yang seperti apa,” keluhku pada wanita setengah baya yang saat ini kerja bersamaku. Ia memandangku heran.

Mbok Iyem bangun dari duduknya dan menuju ke kamar Angga yang letaknya berdekatan dengan kamar utama dan aku mengikutinya dari belakang.

Ya Allah, baru dua hari kerja rasanya seperti ini, capek, pegel, pingin nanggis. Papi, Mami aku kangen rumah ….

Mbok Iyem membuka lemari Angga dan mengambil satu stel jas beserta hem dan dasi.

“Neng Amir, eh Amira sini Mbok kasih tahu letak baju-bajunya Mas Angga. Di sini khusus jas dan dasi yang menggunakan hanger. Sebelahnya khusus untuk hem serta baju resmi lainnya dan itu khusus kaos dan baju santai. Untuk pakaian dalam ada di sebelah bawah,” ucap Mbok Iyem sembari menunjukkan letak-letaknya.

“Iya, Mbok. Eh, mbok, apakah Mas Angga selalu seperti ini?” tanyaku sembari kuanggukkan kepala yang padahal masih belum mudeng.

Bagaimana aku bisa paham, ketika di rumah aku tidak pernah mengatur pakaian, bahkan pakaian dalampun masih diambilkan oleh Mbok Tinah--Asisten rumah tangga kami. Kali ini benar-benar berbanding terbalik dengan keadaanku saat di rumah.

“Diantara keluarga ini, dia yang paling bawel. Apa-apa harus disediakan, bahkan kalau nggak punya malu, mungkin makanpun maunya disuapin,” jelas Mbok Iyem.

Setelah itu, Mbok Iyem kembali ke dapur sedangkan aku masih mempelajari letak pakaian Angga--lelaki bawel anak majikan.

“Woi, mana jasku, bawa sini!” pekik Angga yang baru saja keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk.

Aku yang saat itu masih mempelajari letak pakaian Angga, kaget mendengar panggilannya. Ya Allah galak amat.

“Eh, itu, Mas,” jawabku sembari menunjuk jas yang tadi diambilkan Simbok. “Saya pamit keluar dulu ya, Mas, sebab ada porno aksi.”

Aku langsung keluar dari kamar Angga dan menuju ke dapur menemui Mbok Iyem. Aku duduk di lantai sambil merenung.

Mami, Papi, aku ingin pulang. Aku nggak betah. Aku tak kuasa menahan air mata. Di rumah, aku dilayani, di sini aku harus melayani.

“Mir, kenapa nangis?” tanya Mbok Iyem. Kuseka air mataku menggunakan baju yang kupakai.

“Capek, Mbok,” jawabku.

“Lha kamu kenapa daftar jadi babu, sih. Kamu itu masih muda, energik, mending kerja di pabrik apa jadi pelayan toko. Kerjaan kayak gini nggak cocok,” ujar Mbok Iyem.

Aku masih terisak.

“Sudah, jalani saja dulu, nanti lama-lama juga terbiasa. Sekarang siapin sarapan, bentar lagi Pak Fredy, Bu Sarah, Mas Angga dan Mas Ari keluar untuk sarapan.”

Duh, aku belum pernah nyiapin sarapan seperti ini, gimana ini.

“Mbok, aku nggak bisa nyiapin sarapan,” ucapku panik. “Aku belum pernah memasak apalagi menyajikan menu di meja makan.”

Aku semakin panik.

“Tadi nyiapin baju nggak bisa, ini menyajikan menu sarapan di meja nggak bisa, masak juga nggak bisa, lalu apa yang kamu bisa?” cecar Mbok Iyem padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena memang kenyataannya seperti itu.

“Lha memang Mamakmu tidak ngajarin?”

Aku menggeleng kepala kemudian tertunduk. Sebenarnya ngajarin, tetapi aku yang tidak mau.

Terdengar suara derap langkah kaki. Astaga! Mereka menuju meja makan untuk saatnya sarapan. Aduh, gimana ini, apa yang harus aku siapkan?

Aku bingung dan berjalan kesana-kemari.

“Mbok, nasi di mana? Apa yang harus aku siapkan? Mbok, sini, dong!” pintaku pada Simbok. Simbok tersenyum.

“Mir, Mir, kali ini Simbok bantu, besok-besok kamu harus kerjain sendiri.”

Aku mengangguk, “Makasih, Mbok.”

“Tuan Fredy tidak pernah makan nasi begitu juga Nyonya Sarah. Mereka sarapan roti sama selai. Kalau Mas Angga sukanya nasi goreng dan Mas Ari sukanya makan buah. Oleh karena itu pagi-pagi kamu harus bikin nasi goreng buat Mas Angga dan ngupasin buah buat Mas Ari. Buahnya ada di kulkas, roti sudah tersedia di meja makan. Minumnya air putih kecuali Mas Angga, dia suka kopi coklat panas.”

Aduh, pusing denger penjelasan Mbok Iyem.

Akhirnya Mbok Iyem yang menyiapkan menu sarapan di meja. Aku memperhatikan dengan seksama.

Mereka berkumpul di meja makan.

“Mir, mana nasi gorengku?” tanya Angga, “Harusnya sudah siap di hadapanku.”

“Kenapa buahku belum di kupas?” tanya Ari bingung.

“Roti selaiku mana? Lho, kok semuanya belum ready? Cecar Bu Sarah, majikanku. Ibunya Angga dan Ari.

“Ini, Mas Angga,” jawabku sambil membawakan sepiring nasi goreng yang kuambil dari wajan.

“Maaf, Mas Ari, a—aku belum sempat mengupasnya,” balasku khawatir. Khawatir dia marah.

“Ya udah, nanti aku kupas sendiri,” balas Pria yang terlihat kalem itu.

Mas Ari dan Mas Angga sangat berbeda.

“Nyonya, maaf, saya belum tahu selera Nyonya.”

“Amira, kamu harus banyak belajar sama simbok. Di sini ada tiga orang ART, kalian harus bagi-bagi tugas. Kali ini aku beri kelonggaran, aku beri kesempatan seminggu untuk adaptasi.”

Mendengar penjelasan Nyonya Sarah aku jadi rindu Mami. Mamiku tidak pernah memarahiku.

“Dengerin, tuh,” ledek Angga.

“Mah, dia nggak tahu yang namanya jas, dasi, hem. Aku heran, selama hidup, apa yang dia lakukan? Jangan-jangan masak airpun nggak bisa. Kalau nggak bisa apa-apa, nggak usah kerja. Noh jadi bos aja yang kerjanya Cuma nongkrong duit datang!” ejek Angga.

Asem bener. Dia cowok apa cewek, kalau cowok kok mulutnya lemez banget. Pingin kutimpuk dia, belum tahu aku siapa. Sabaar … sabar ….

Aku hanya nyengir kuda sambil tertunduk. Aku harus menjalani ini demi cita-citaku. Setelah setahun menjadi babu, Papi sama Mami menjanjikanku untuk kuliah di Jepang ambil S2 tehnik.

“Hoi, ngalamun,” panggil Angga.

“Eh, iya.”

“Aku sudah selesai, tolong bereskan! Oya, ambilkan air putih,” perintah pria bawel itu.

Kenapa hanya dia doang yang bawel, sih. Beda dengan Ari, kalem. Kuambilkan air putih yang sebenarnya ada di hadapannya. Hanya dia saja malas mengambilnya.

“Ini, Mas.”

Tanpa sengaja air yang ada di gelas mengenai jas yang di pakai Angga.

“Astaga, ma—maaf, mas, aduh.”

Angga langsung berdiri dan memandangku sambil melotot.

Kacau, kacau, aduh, pasti marah.

Langsung ku lap jas-nya dengan lap makan, malah tambah kotor.

“Amiraaa!”

Aku bingung.

“Apa apaan, ini!”

“Ma-maaf, Mas. A-aku ambilkan jas baru, ya.” Aku bergegas ke kamar Angga diikuti olehnya. Aduh, tadi letaknya di mana.

Kubolak-balik lipatan baju untuk mencari jas yang bersih.

Tadi sudah diberitahu Simbok tetapi aku lupa, letak jas ada di mana, ya.

Apa ini, kuambil satu. Aduh, salah, inikan hem. Lalu kubuka lemari yang satunya. Alhamdulillah, ini dia, lalu ku ambil satu dan kuberikan kepada Angga.

Angga memegang dahinya.

“Hoi, tahu, nggak, aku sudah telat! Heran aku sama kamu, kok bisa Mama nerima babu macan kamu, gak bisa kerja!”

Mendengar ucapan Angga, mendidih darahku.

“Mas! Jaga ucapanmu, kamu nggak tahu siapa aku, kan?” ucapku kesal. Keterlaluan sekali dia, belum tahu siapa aku.

“Aku tahu kamu. Kamu adalah ART!” ejeknya sambil mengganti jas kotor dengan jas yang kuberikan tadi.

“Diam!” bentakku.

“Hoi, kamu berani membentakku?” balasnya.

Terang saja aku berani, ga ada yang aku takuti.

Kriiing … telpon Angga berdering.

“Iya sayang, bentar lagi aku jemput,” ucapnya menjawab telpon dari seberang sana, mungkin kekasihnya.

Aku kerjain saja, kudekatkan wajahku ke arah telpon yang dia genggam.

“Jangan ganggu cowokku,” ucapku agar cewek yang menelponnya mendengar ucapanku, ha ha ha, puas!

“Amira, apa yang kamu lakukan!” Angga memarahiku matanya melotot, setelah itu bicara kembali di poncelnya, “ Sayang, itu pembantuku, nanti aku jelaskan di kantor, ya. Udah, ya, Mas siap-siap, bye.”

Aku tersenyum sendiri.

“Amira, awas, akan aku buat perhitungan nanti.” Setelah itu dia pergi ke kantor. Huft.

“Astaga! Aduh, pusing,” pekikku. Baju yang ada di lemari berantakan semua gara- gara tadi nyari jas-nya Angga.