PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Rahasia Suamiku

Rahasia Suamiku

Penulis:Ismi Laila

Tamat

Pengantar
Setelah menikah dengan Arkana Kusuma karena sebuah perjodohan, Nara Arsella tak pernah mendapat haknya sebagai seorang istri. Bahkan sang suami tak pernah menunjukkan kepedulian padanya, sikapnya yang dingin dan tertutup yang ditujukan hanya kepada dirinya itu membuat Nara bingung dan tidak mengerti. Sebab, Arka bisa bersikap ramah kepada siapa pun tapi tidak untuk Nara, istrinya sendiri. Nara bingung, dia selalu bertanya apa yang salah dengan dirinya. Sering kali ia menduga, hal apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh Arkana. Nara mencoba mencari tahu, tapi semakin ia tahu, maka semakin sakit goresan luka yang ada di hatinya. Pada akhirnya, rahasia itu berhasil ia ungkap. Rahasia yang menjadi penyebab dinginnya sikap sang suami. Nara tahu semuanya, sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan Arka dari semua orang, rahasia yang kemudian membuat Nara merasa menyesal, sebab sudah berpikir buruk terhadap suaminya sendiri.
Buka▼
Bab

Peran istri seutuhnya, sayang aku belum bisa merasakan itu.

Sudah dua bulan status lajang kutanggalkan, menyetujui sebuah perjodohan dengan seorang pemuda bernama Arkana Kusuma. Cucu dari seorang pengusaha ternama, Bramasta Adijaya, yang tak lain adalah rekan bisnis papa.

Awalnya, kupikir pernikahan ini akan semanis kisah romansa yang sering muncul di banyak judul drama, walaupun kami berdua memang tak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Arka pria yang baik, Nara," ucap mama waktu itu, mencoba meyakinkanku.

Namun, seiring berjalannya waktu, yang kurasakan kini sungguh jauh dari apa yang ada di benak dulu. Pernikahan kami tak sama dengan yang dialami banyak pasangan lainnya.

Bahkan Mas Arka, suamiku itu tak pernah mau menyentuhku. Entah karena apa.

***

Bunyi jam weker mengusik mimpi panjangku. Aku mengerjap dengan tatapan menyipit, kemudian mengulurkan tangan untuk menghentikan dering alarm.

Setelahnya bergegas bangun, menjalani rutinitas yang setiap hari tak pernah terlewatkan.

Aku beringsut turun dari ranjang sambil mengikat asal rambut panjang sepinggangku. Sejenak, menoleh sekilas ke arah kanan, menatap seorang pria yang sedang terlelap memeluk guling di atas sebuah kasur spring bed mini yang terbentang di depan TV.

Aku menghela napas pendek, memilih mengabaikan Mas Arka yang masih menikmati alam mimpi. Sengaja tak membangunkan, karena aku tahu, sebentar lagi ia akan menyusul membuka mata.

Mas Arka terbiasa melaksanakan salat Subuh, pria itu akan bangun saat azan berkumandang. Biasanya seruan panggilan merdu itu akan terdengar beberapa saat lagi, maka aku pun segera bangkit dan melangkah menuju kamar mandi, bergegas mengambil wudu.

Di lantai kamar, duduk di atas sajadah yang terbentang. Aku menengadah memohon pada Sang Maha Kuasa. Mencurahkan segala resah dan gelisah yang ada di hati, tak lupa menyebut nama lelaki halalku. Meminta agar pria itu mau membukakan pintu hatinya sedikit saja untukku.

Tak terasa tetesan hangat meluncur begitu saja dari sudut netra, bibir ini sampai bergetar menahan sesaknya. Seolah menjadi saksi bagaimana sakit dan terlukanya aku selama ini, luka yang terjadi di dalam pernikahanku sendiri.

Untung saja Mas Arka selalu melaksanakan salat di musala, sehingga pria itu tak akan menyaksikan bagaimana wajah penuh lara ini menangisinya. Walaupun aku tahu, jika pria itu mengetahuinya sekali pun, ia tetap saja tak akan menunjukkan kepedulian.

Dua bulan pernikahan, ternyata Mas Arka belum bisa menerimaku sebagai istrinya. Bahkan, ia juga tak bersedia tidur satu ranjang denganku. Pria bertubuh tinggi itu lebih memilih tidur sendiri di bawah lantai, beralaskan kasur spring bed mini yang ia beli setelah kami menikah.

Malam pertama saja ia rela tidur di sofa, demi menghindari aku, istrinya.

"Aku belum terbiasa, kita butuh waktu untuk saling mengenal," ujarnya waktu itu, dan yang bisa kulakukan hanya membiarkannya tanpa memaksa.

Kadang-kadang, sering kali aku dibuat bingung tak mengerti oleh sikapnya yang susah ditebak. Membuatku beberapa kali bertanya, sebenarnya apa salah diri ini di matanya.

Tak jarang dalam diam, aku menangis sendirian. Menangisi betapa bodohnya diri ini yang sangat dalam mencintai suami sendiri. Sedangkan dia? Menatap wajahku saja tak pernah dilakukannya, pria itu selalu mencoba menghindar. Entah karena apa.

***

Hening, hanya denting sendok dan piring yang sedang beradu nyaring.

Mas Arka menikmati sarapannya dalam diam, aku pun begitu. Kami sudah terbiasa seperti ini, jarang berbincang atau sekedar basa-basi, kecuali jika yang dibicarakan adalah hal yang benar-benar penting.

Seperti saat ini, aku mencoba membuka suara lebih dulu. Berdehem sejenak, sekadar menghalau gugup dalam dada sebelum memulai bicara.

"Mas," panggilku. Kemudian memberi jeda sejenak, hanya ingin melihat respon pria yang duduk di hadapanku itu.

Seperti dugaan, Mas Arka hanya menggumam. Kedua mata itu bahkan tak terlepas dari piring di depannya, ia tetap melanjutkan aktivitas sarapan.

"Hari ini aku pulang agak telat, banyak kerjaan karena sebentar lagi mau ujian. Nanti ada jadwal rapat juga bersama guru-guru dan kepala sekolah. Nggak papa 'kan, Mas?"

Walau aku tahu Mas Arka akan tetap bersikap tak acuh, tapi bagaimanapun juga aku harus memberitahu dirinya.

"Nggak masalah." Mas Arka hanya menjawab singkat.

Sungguh, dingin sekali sikap lelaki ini.

"Kalau baliknya sampe kemaleman gimana?" Aku sengaja memancing, ingin melihat bagaimana reaksinya.

Benar saja, wajah pria itu sontak mengarah padaku. Dengan sorot mata yang tengah menatap tajam.

"Emang ada kerjaan guru kaya gitu?" ketusnya sambil kembali mengalihkan pandangan ke sarapan, atau mungkin memang sengaja ingin memutus kontak mata.

"Ya, nggak ada sih. Cuma 'kan mana tau--"

"Balik sebelum jam lima, aku rasa itu juga udah kesorean." Lelaki berjas biru itu memotong ucapanku cepat. Juga memberi peringatan pada kalimat tegasnya.

Aku mengangguk samar, kemudian kembali menikmati sarapan. Setelahnya, hening lagi-lagi menyelimuti, sampai akhirnya pria itu sudah menyelesaikan sarapan dan kemudian berujar, "Ayo berangkat."

Sedangkan nasi di atas piringku belum bersih sepenuhnya. Ya, dia memang sering seperti itu, ingin berangkat kerja tepat waktu tanpa peduli apakah aku sudah selesai atau belum. Membuatku harus terburu-buru agar tak membuatnya lebih lama menunggu.

***

Mas Arka mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, jalanan di depan sana tampak ramai oleh berbagai kendaraan. Suasana pagi di jalan raya kota Jakarta selalu seperti ini.

Suasana juga selalu sama di dalam mobil, hanya ada hening menyelimuti.

Kami berdua terbiasa dalam hening, Mas Arka yang selalu berusaha menghindar dan aku yang tidak pandai berbasa-basi, membuat hubungan kami selalu jalan di tempat tanpa tujuan.

Aku tahu kami menikah karena dijodohkan, tak saling mengenal sebelum dipertemukan karena acara lamaran. Namun, bukan berarti kami tidak bisa saling mengakrabkan diri, hanya saja ini tentang Mas Arka yang seolah enggan didekati.

Tujuan perjalanan Mas Arka yang pertama adalah sekolah tempatku bekerja, salah satu SMA favorit yang sudah menjadi tempatku mengabdi sebagai guru Bahasa Indonesia selama tiga tahun.

Tak berselang lama, mobil yang kami kendarai tiba di depan gerbang SMA Pelita--tempatku bekerja. Aku bersiap turun, tak lupa pamit pada Mas Arka.

Setelah mengamati mobil pria itu yang sudah menghilang dari pandangan, aku pun berjalan memasuki area sekolah, sesekali tersenyum ramah pada para siswa yang juga baru tiba.

Sambil menenteng tas, dan merapikan jilbab segi empat yang aku kenakan, kaki terus melangkah lurus melewati paving. Sesekali mengedarkan pandangan, lalu kembali menatap ke depan menuju ruang guru.

Aku mengempaskan tubuh di atas kursi, lalu meletakkan tas di atas meja. Beberapa kali mengangguk dan tersenyum ramah kepada guru-guru yang lain. Namun, pandangan kemudian terkunci pada sosok pemuda dengan kemeja birunya, lelaki yang saat ini sedang menunjukkan senyum ramah seperti guru lainnya.

Kepadanya aku tak bisa sekedar membalas dengan senyum singkat. Karena rasanya akan berbeda dan sedikit aneh di dalam sini.

Sebab padanya, rasaku dulu pernah bermuara.

To Be Continued.