PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Young Married

Young Married

Penulis:Resty Zully Nurmawati

Berlangsung

Pengantar
Pernikahan dini pada perempuan tidak terlepas dari pandangan subordinasi pada perempuan, yaitu perempuan hanya bekerja pada sektor domestik yang memiliki tanggung jawab untuk mengurusi rumah dan anak. Sehingga tidak ada tuntutan untuk perempuan memiliki pendidikan yang tinggi. Akibatnya jika terdapat perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan maka akan dinikahkan karena menganggap pendidikan tidak penting bagi perempuan. Bias gender tersebut dapat terjadi karena dominasi budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu dapat disebabkan salah dalam pemahaman agama.  Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang anak remaja yang menikah di usia muda. Namun, tak dapat dipungkiri. Ada beberapa faktor yang membuat mereka bisa berfikir lebih dewasa. Menurut mereka meniikah di usia muda adalah bentuk salah satu pendewasaan diri. Bukan hanya sekedar meluapkan nafsu dan hasrat dalam diri. Seperti kisah Nugie dan Dinda yang terpaksa harus menikah di usia muda. Semua itu demi menjaga nama baik keluarga mereka masing-masing. Bukan, karena Dinda hamil di luar nikah.
Buka▼
Bab

Siang itu suasana kota Jakarta saat ini begitu dingin hingga menusuk kulit. Awan kelabu menutupi sinar matahari dan menciptakan rintikan air hujan. Sepanjang trotoar terlihat seorang gadis melangkah pelan menyusuri jalan. Ia biarkan tubuhnya dibasahi rintikan gerimis. Begitu ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah yang berlawanan. Segera ia menghentikan laju metromini dan mengambil posisi duduk di barisan kedua tak jauh dari pintu bus.

Kedua netranya menikmati jalanan kota Metropolitan dari balik kaca bus. Dinda, gadis belia yang baru saja duduk di bangku sekolah menengah atas. Kini merasa terkekang, dengan sikap over protektif dari Ayahnya.

Rasanya gadis belia itu ingin pergi jauh dari kedua orangtuanya. Tapi, rasanya ia tak bisa melakukan hal itu. Dari lubuk hati yang terdalam ia begitu menyayangi kedua orang tuanya.

*****

"Mama lihat, kan? Apa papa bilang. Dinda itu tidak akan berani meninggalkan rumah ini," ucap papa begitu angkuh. Saat melihat gadis belia itu, memasuki rumahnya yang begitu mewah.

"Udah dong Pa, jangan bersikap seperti ini terhadap Dinda," jawab Mama dengan raut wajah yang cemas.

"Mama, tahu? Kenapa papa bersikap seperti ini? Papa tidak ingin, kisah Dinda sama seperti kisah Putri, kakaknya dulu. Seharusnya mama, bisa mengerti kenapa papa begitu protektif kepada dua anak gadis kita sekarang!" tukas papa dengan nada getir.

Kering sudah airmata beliau, jika harus menangis. Peristiwa enam tahun silam, telah menggoreskan luka yang amat dalam dihati seorang pria yang kini usianya genap 56 tahun. Semenjak putri pertamanya, meninggal karena sebuah peristiwa. Sikap lembut papa, berubah menjadi pria yang keras dan over protektif.

*****

Saat melangkah masuk rumah dengan perlahan dan sedikit kedinginan. Ia melewati Sang Ayah yang kala itu terlihat menahan emosi.

"Darimana saja kamu? Sampai basah kuyup seperti itu."

Dinda dengan angkuh menatap Haris, Papa kandungnya. Hatinya ingin melawan tapi tak mampu. Ia hanya diam dan pergi berlalu meninggalkan Papanya. Gadis belia itu segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia merebahkan tubuhnya dan membenamkan wajahnya ke bantal.

"Iiiihhh ... kenapa sih hidup gue kayak gini?" kesalnya seraya memukul bantal sebagai pelampiasan atas kekesalannya terhadap Sang Ayah.

Sejak Putri, Kakak pertama Dinda meninggal. Hidup Dinda, dan kakak keduanya Alya terasa seperti di kekang oleh orangtuanya. Padahal dulu, Papa tampak begitu lembut dan penuh kasih sayang pada ketiga putrinya. Entah kenapa beberapa tahun belakangan ini, ketika Alya dan Dinda memasuki masa remaja dan duduk dibangku SMA. berubah drastis, 180° derajat. Berbeda dari sebelumnya.

Dinda tak mengerti mengapa Papanya kini sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Gerimis ini pun membuat diri Dinda enggan beranjak dari spring bednya. Ia pun terlelap dalam tidurnya.

"Papa!" Teriakan itu mengagetkan Dinda yang mulai memejamkan matanya. Matanya kini membulat sempurna. Rasa kantuknya tiba-tiba hilang.

"Itu, kan suara kak Alya. Ada apa ya?" gumam Dinda penasaran. Ia pun segera beranjak dari kasur spring bednya, dan berlari keluar kamar.

Langkah Dinda terhenti, di tangga pertama. Saat Papa datang menghampiri Alya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Alya datang dengan mata yang merah, dan penuh amarah pada Papanya.

"Papa tidak pernah mengajarkan kamu, memanggil orang yang lebih tua dengan nada kasar seperti itu !" tegasnya.

"Mmmhhh ... Alya enggak peduli. Papa 'kan yang menyuruh orang-orang itu untuk menghajar Denis?

Papa tahu, Gara-gara Papa. Denis sekarang meregang nyawa!" tukas Alya lebih tegas dan diselingi bulir-bulir airmata. Sebuah ucapan yang begitu menghujam hati pria yang kini usianya berkepala lima. Bahkan itu lebih perih dari kejadian beberapa tahun yang lalu.

Antara marah dan ingin menangis. Tangan Papa, gemetar dan rasanya ingin menampar wajah Alya karena pemikiran anak keduanya begitu dangkal terhadap Papanya sendiri.

Plaakk!!

Sebuah tamparan mendarat di wajah Alya.

Nafas papa seakan tersenggal-senggal, menahan amarahnya. Ucapan Alya saat ini sudah keterlaluan, padahal Papa tidak sepicik itu melakukannya.

"Kamu kali ini, sudah keterlaluan Alya!" bentak Papa, kini menarik lengan Alya.

Namun, Dinda dengan segera berlari dan menahannya.

"Jangan Papa. Dinda, mohon Papa jangan tampar Kak Alya," pinta Dinda dengan memohon.

Mama yang dari tadi bergeming, kini melangkah maju mendekati Alya yang belum juga menghentikan tangisnya.

"Kenapa? Kenapa kamu mencegah

Papa untuk menampar kakakmu ini, Dinda?" tegas Papa.

"Bukan begini Pa, cara menyelesaikan masalah. Kak Alya, itu enggak salah Pa." Tandas Dinda kini matanya mulai berlinang.

"Dinda! Dengarkan Papa, Kakakmu Alya. Sudah keterlaluan, hati orangtua mana yang tidak sakit. Saat anak yang selama ini Papa rawat, Papa didik, dan Papa sayangi. Menuduh Papa yang tidak-tidak!

Kamu, tidak mengerti nak. Papa bersikap seperti ini, kepada kalian. Itu ada alasannya."

Semua diam dan menatap Papa, menunggu ucapan selanjutnya. Namun, Haris Sanjaya, orang tua Dinda dan Alya hanya terdiam. Beliau meninggalkan mereka berdua yang masih diliputi rasa penasaran akan perubahan Papanya.

****

inda merengut ketika sedang menunggu kedua sahabatnya. Persahabatan mereka bermula dari semenjak sekolah dasar. Maka tak heran, kedua sahabatnya itu sangat peduli dengan Dinda. Walaupun Dinda gadis yang terbilang manja dan masih polos, tapi kesolidaritasan terhadap sahabatnya, patut di acungi jempol.

"Hai Din, sori ya lama. Tadi gue lagi ada remedial ..." Tandas Yuna, gadis cantik, yang sangat hobi mengenakan bross bunga flanel di baju seragamnya.

"Enggak apa-apa, Yun," sahutnya dengan wajah memelas. Yuna yang memperhatikan wajah sahabatnya itu, kini buru-buru menyentuh tangan Dinda.

"Lo, kenapa din? Pasti bokap lo protect lagi ya? Cerita dong, siapa tahu gue bisa bantu." Yuna dengan wajah iba menatap Dinda.

"Jadi gini ceri---" Baru ingin memulai pembicaraan, tiba-tiba ada segerombolan empat laki-laki datang menghampiri meja yang Dinda dan Yuna tempati.

"Heh minggir enggak lo ! Ini tempat gue !" Lantang salah satu laki-laki berperawakan tinggi dan memiliki tubuh yang sportif.

Dinda langsung menoleh ke belakang, dan suara itu sangat memekak telinganya. Gadis itu menatap penuh kebencian dan murka terhadap laki-laki bertubuh tinggi dan berpenampilan urakan.

"Kenapa lo liatin gue segitunya! Gue ganteng ya?" angkuh laki-laki yang mengenakan handbad di tangan kanannya.

Tanpa pikir panjang Dinda mengambil segelas es coklatnya dan menyiram ke arah baju seragam laki-laki itu dengan penuh kekesalan.

"Rasain, tuh! Dasar cowok jaelangkung!" umpatnya penuh kebencian.

"Oh No ...!" Kaget salah satu teman laki-laki itu.

Laki-laki pemilik nama Nugie itu menatap tajam ke arah Dinda, ia tidak ingin marah terhadap gadis yang ada dihadapannya.

"Denger ya, gue enggak suka kalo lo sebut gue dengan kata-kata seperti yang lo ucap barusan," bisik laki-laki itu dengan nada tegas, tepat ditelinga Dinda. Hingga Dinda bisa merasakan nafasnya menggelitik telinga.

Gadis itu kini saling beradu tatap dengan laki-laki tersebut, jarak mereka hanya beberapa jengkal.

"Dan gue enggak peduli, terserah gue. Mau manggil lo siapa? Karena lo cowok yang pertama, paling gue benci," balas Dinda berani tanpa takut dengannya.

Nugie membuang nafasnya dengan kasar. Sebenarnya ia ingin marah, namun ia tak kuasa. Gemeretak rahangnya terlihat, jika Nugie sedang menahan amarah. Dinda masih pada posisinya.

Ketika ingin pergi meninggalkan gerombolan laki-laki itu. Nugie memanggilnya tapi gadis itu menghiraukan panggilan tersebut. Pemuda bernama Nugie itupun melangkah cepat dan menarik lengan mungil Dinda.

"Lo mau apa lagi, Haahh!" sentak Dinda.

Tanpa banyak bicara Nugie memberi pelajaran pada gadis manis itu.

"Gue bakal buat janji di depan semua anak sekolah, juga kedua sahabat lo. Janji kalo gue, enggak akan ganggu lo lagi," ucapnya dengan senyum penuh kemenangan.

****