PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Always Me

Always Me

Penulis:GeovannyS

Tamat

Pengantar
Fiani Aira tidak ingin menikah. Ia takut pada lelaki, juga membenci lelaki karena menjadi korban pelecehan di usianya yang masih belia. Namun semua itu hancur kala ia dipaksa menikah dengan pasangan dari adiknya sendiri. Menjadi pengantin pengganti untuk menebus rasa malu yang dirasakan kedua belah pihak. Bukannya tentram, hidup Fiani menjadi semakin kacau. Pengantin pria itu munafik. Segala keburukkan yang tidak ditunjukkan pada mereka, ditunjukkan pada Fiani. Ia harus rela menjadi sasaran empuk atas balas dendam pria itu. Cr : pinterest
Buka▼
Bab

Hiks ... Hiks ...

Tangisan seorang anak memenuhi ruangan sunyi itu. "Mama ... aku takut."

Derap langkah kaki asing memenuhi rongga telinganya. Sontak respons tubuhnya bergerak memeluk dirinya. Melindungi tubuhnya sendiri.

“Fiani … kemari, Sayang.”

Fiani menggeleng kuat. Takut-takut ia menjawab, “Tidak mau ….”

“Jadilah anak yang penurut, Sayang.”

Suara sepatu pantofel yang bertubrukan dengan lantai kayu berhenti. Tidak ada pergerakan dari depan pintu lagi.

BRAK …

Fiani berjengit kaget. Sosok pria di dalam gelap ruangannya tidak bisa ia lihat seutuhnya.

“Kalau kamu mau menurut, aku akan membebaskanmu dari kamarmu yang gelap ini, Sayang.”

Gadis kecil berusia tujuh tahun itu menggeleng kuat. Kalau ia bisa melihat pria dewasa itu, Fiani yakin ia tengah menyeringai. “Tidak mau ….”

“Kamu yakin?” tanyanya.

“Aku tidak mau,” tolaknya lirih. “Kumohon. Om pergi dari sini.”

Tangisan menderai semakin deras. Diiringi dengan tubuhnya yang bergetar semakin kuat. Suaranya pun putus-putus karena tidak jelas.

“Tidak bisa, Sayang. Kamu tidak boleh menolak. Om adalah satu-satunya orang dewasa yang berada di ruangan ini. Kamu harus menuruti Om atau hal buruk akan terjadi padamu segera. Mengerti?” tanya Om itu penuh kelembutan.

Fiani tidak akan pernah percaya. Ia sudah pernah diperlakukan begini. Ia tidak mau lagi. Ia tidak suka. Apa yang dikatakan Om itu tidaklah benar. Menurut tidak menurut, hasilnya sama saja.

“Tidak mau, Om,” sahutnya menangis keras. “Jangan begini padaku. Aku takut.”

“Ah!” Fiani menjerit kuat.

Surai hitam mengkilaunya dijambak kuat ke belakang. Kepalanya dipaksa mendongak ke atas. Spontan matanya terpejam erat.

“Kamu takut?” Pria dewasa itu menimbulkan suara kekehan berat. “Kamu membuat semua ini makin menyenangkan, Sayang.”

Kemudian tubuhnya ditarik oleh tangan pria besar nan kokoh itu.

“TIDAK!”

Keringat bercucuran di sekitar dahinya. Peluh membasahi piyama yang ia kenakan.

“Mimpi lagi,” gumamnya pilu.

Ingatan itu tidak pernah lepas dari memorinya. Kejadian kelam di masa lalunya, yang bahkan tidak ia ceritakan kepada mamanya.

Memendamnya sedalam mungkin, sampai hal itu berlalu-lalang dalam otaknya.

Ia kalut, tapi ia tidak bisa menceritakan hal ini kepada siapa pun. Fiani takut, tapi ia adalah sosok Kakak.

“Seorang Kakak tidak boleh menjadi lemah ya, Fiani. Kamu adalah panutan adikmu. Jadilah yang terbaik agar adikmu mencontoh dirimu.”

“Segala hal baik harus ada pada dirimu. Jangan pernah memperlihatkan hal burukmu, Fiani. Nanti adikmu ikut berbuat yang tidak benar.”

Fiani mengusap pipinya kasar. “Kamu harus kuat untuk adikmu, Fiani! Semangat!”

Meski begitu, getaran di tubuhnya tidak dapat dihilangkan.

***

Tok … Tok …

Ketukan itu tidak dapat membangunkan seseorang yang berada di dalam kamar.

“Gis! Bangun, Gis! Sudah hampir jam tujuh.”

Sunyi senyap.

Tok … Tok …

“Gista!” teriak Fiani. “Bangun, Gis! Nanti Kamu terlambat untuk fitting baju pengantin!”

Tetap saja. Adiknya tidak bangun juga. Ini cukup aneh.

Namun pada akhirnya, Fiani memutuskan turun ke bawah.

“Agista mana?” Mamanya yang membawa empat piring makan bertanya.

“Tidak tahu, Ma. Panggilan Fiani tidak dibalas. Mungkin dia kelelahan,” sahut Fiani.

“Loh? Cuman segitu usahamu?” Alis tipis mamanya menekuk ke dalam. “Panggil dia lagi, sana. Mama tidak mau kalau dia sampai terlambat. Bikin malu besan nanti.”

“Ma, biarin aja.” Papanya bersuara. “Mungkin benar yang dibilang Fiani. Agista ‘kan semalam ngurusin dekor pestanya. Mungkin aja kecapean. Jangan salahin Fiani terus, donk.”

Mamanya mulai tidak senang. “Kan semestinya memang-”

“Udah,” lerai Fiani. “Aku minta kunci cadangannya, Ma.”

Sebuah benda besi dilayangkan ke udara. Ditangkap cepat oleh Fiani sendiri.

“Terima kasih,” ujar Fiani.

Mamanya menyahuti dengan sebuah dehaman singkat.

Pintu berwarna putih dengan papan nama ‘Agista Aira’ terpampang di depannya untuk kedua kalinya.

“Gista, aku masuk, ya.” Fiani meminta izin terlebih dahulu.

Klak …

Ruangan bernuansa putih dengan aroma strawberry menggelitik udara yang dihirup Fiani. Menyenangkan, tapi sedikit menyengat untuknya.

“Gista? Kamu di mana?” tanya Fiani.

Tidak ada jawaban.

“Di toilet, ya?”

Kosong.

“Di kamar ganti?”

Kosong juga.

Sampai Fiani menemukan sebuah surat di atas nakasnya.

‘Maafin Agista.’

Itu judul yang ditulis adiknya di depan kertas tersebut. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Napasnya turut tersendat menduga-duga apa isi dari kertas yang diberikan judul janggal begitu. Semoga dugaan buruknya tidak benar.

Fiani harap, tidak ada sesuatu yang mengejutkan lebih dari ini.

‘Gista menolak untuk menikah. Maafin keputusan Gista yang tiba-tiba ini. Gista gak mau malu, juga gak sanggup buat ketemu Gakhan buat membatalkan pernikahan ini. Gista memutuskan untuk keluar sementara dari rumah ini sampai keadaan Gista membaik.’

Belum selesai sampai di sana, sebuah kertas kecil terjatuh dari kertas utama yang dibuka lebar oleh Fiani. Sebuah kertas yang dilipat kecil. Kalau tidak terjatuh, dipastikan Fiani tidak akan tahu.

‘Ps: maaf untuk Kakak yang sudah mengurusi Gista dengan baik. Maaf kalau Gista sering bawa Kakak kena masalah sampai dimarahin Mama. Maafin Gista kalau Kakak terseret lagi ke dalam masalah ini. Gista belum punya penjelasan atas tindakan Gista yang ekstrem. Belum sanggup. Tapi saat Gista kembali, Kakak akan paham.'

'Gista terpaksa, Kak. Ini satu-satunya jalan yang Gista pikirkan. Mama dan Papa bakal marah kalau tahu Gista main kabur dari masalah. Masalah ini bukan masalah simple. Tapi maaf kalau Kakak ikut menjadi korbannya. I always love you, Kak.'