PopNovel

Baca Buku di PopNovel

I Can't See You Smile

I Can't See You Smile

Penulis:Starweather

Berlangsung

Pengantar
Sebuah kecelakaan membuat Arkha Bimala mengalami kebutaan. Dia berhenti sekolah. Baginya, dunia telah menjadi hitam seutuhnya. Tidak ada belas kasih. Hidupnya dihabisi dengan memikirkan hal-hal buruk yang membuatnya dua kali lipat lebih menderita. Tetapi, benaknya yang hanya dihuni bayang-bayang kelam mulai dihuni suara-suara riang ketika dia bertemu Estaka Ekavira. Tawa gadis itu bagai sebuah lonceng. Mereka tidak saling kenal, tapi tragedi menyatukan keduanya melalui fakta kehidupan yang berat untuk diterima. Pertemuan mereka bukan sebuah kebetulan. Seperti benang yang kusut. Waktu perlahan-lahan akan mengurainya untuk membuka jalan.
Buka▼
Bab

Sebelum aku terbangun dengan segala-galanya berubah gelap, yang kuingat terakhir kali hanyalah kutukan ibuku yang kudengar dari jauh karena aku telah berlari menjauhi rumah yang buatku pengang.

Pagi-pagi aku menemukan ibuku dan kekasih barunya di kamar. Memang itu kamar ibuku, tetapi aku dapat melihat mereka karena sial pintunya tidak tertutup.

Seharusnya aku langsung ke meja makan dan makan roti tawar yang dibeli kakakku dengan harga murah karena sedang diskon setengah harga.

Tapi bodohnya, aku malah menoleh dan melihat ibuku dan kekasihnya yang paling kubenci dan mengesalkan itu tidur bersama!

Jangan khawatir, mereka berpakaian lengkap, saking lengkapnya sampai tidur pun memakai sepatu.

Jika terbangun nanti, pria berjanggut tipis dan kumis tipis itu dapat langsung berangkat kerja tanpa perlu repot-repot ganti baju, karena aku tahu dia telah terlambat kerja. Sebentar lagi dia akan terbangun dengan kelabakan! Itu buatku terhibur.

Bukan karena aku perhatian dan mengetahui jam kerja pria yang sedang molor itu. Kurang kerjaan sekali?

Aku tahu karena kebetulan yang menyebalkan, dia itu guru olahraga di sekolahku. Dia dikenal dengan nama si lambat. Tidak, itu bohong. Aku yang memberi julukan itu sendiri. Nama yang benar adalah Pak Evan. Tidak sesuai namanya, dia tidak tampan. Tetapi, kata anak perempuan di kelasku, dia guru paling ganteng.

Persetan, itu hanya karena mereka sepertinya tidak pernah melihat orang tampan, jadi tidak tahu standar orang ganteng itu kayak apa.

Evan tidak ada keren-kerennya. Meskipun dia datang ke sekolah naik motor besar ninja, tapi aku tidak merasakan kesan keren yang biasa kurasakan ketika melihat pengendara moge di jalan.

Naik motor besar keinginanku. Seharusnya ini jadi kesempatan buatku memanfaatkan kekasih ibuku. Kapan lagi, ya kan?

Tetapi, sesuka apapun aku dengan motor besar itu, tidak sudi jika aku harus pinjam dari orang yang paling kubenci. Enak saja.

Kebencianku bukan tanpa alasan. Tepat ketika aku tahu kalau ibuku berpacaran dengan Evan, aku tatap mereka bagai orang bodoh. Aku ingat membuka mulut lebar-lebar saat melihat guru olahragaku berdiri di depan pintu.

Kukira guruku itu datang malam-malam karena ingin menyeretku menuntaskan hukuman siang tadi.

Aku memang lupa bawa baju olahraga dan dia menyuruhku menulis ulang kata-kata di buku sejarah hingga lima lembar.

Menurutku, mencatat sesuatu yang sudah ada di buku ialah konyol. Sekonyol superman yang pakai celana dalam di luar.

Jadi, tidak kulaksanakan hukuman itu. Mending bolos ke kantin, tapi kuingat lagi, bakalan repot kalau keciduk guru.

Lebih baik kabur sekalian dari sekolah. Jadilah aku kembali ke kelas yang sepi untuk ambil tas, kuusahakan untuk tidak ketahuan.

Aku memasukan tasku yang tak banyak isi ke balik baju. Itu hal mudah, mengingat aku tidak pernah bawa buku banyak-banyak, cuma satu buku tulis kadang.

Agar tasku tidak kempes-kempes amat, kulipat hoodieku menjadi buntelan.

Apakah aku murid nakal? Ya, hingga para guru selalu menggeleng-geleng saat melihatku. Aku telah menjadi biang masalah. Tetapi mereka tak pernah mengeluarkanku, karena meskipun aku seperti murid yang kurang ajar. Aku masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik, memperoleh nilai yang tidak jelek-jelek amat.

Bahkan bisa dibilang setara dengan anak-anak teladan di kelas. Mungkin itu yang membuatku masih memiliki muka di antara para guru. Tapi aku tidak peduli jika tak punya muka pada guru olahragaku.

Awalnya aku biasa-biasa saja padanya. Bahkan ketika para gadis-gadis memujanya karena dia lumayan tampan, aku oke-oke saja. Masalahnya ada ketika dia pertama kali muncul di depanku, di depan pintu rumahku.

Dia bukan menagih hukuman konyol itu, atau menanyai-nanyaiku mengapa membolos dari pelajarannya tadi siang, tetapi pria itu datang karena sesuatu yang lain.

Evan datang karena ibuku. Dia mengantarkan ibuku yang hampir tidak sadarkan diri karena efek minuman, wanita itu meracau-racau tidak jelas. Bau alkohol tercium jelas kali, sementara aku mendengarkan Evan berbicara. Aku tidak curiga apapun.

Kupikir Evan mengantar ibuku pulang karena kasihan saja melihat wanita yang sudah punya anak dua itu menabrak-nabrak tiang listrik dan tidak ingat jalan pulang.

Ternyata Evan suka minum-minum juga. Dia bertemu ibuku di bar murahan di lingkungan yang jelek itu.

Sebelum pergi, pria itu sempat meminta maaf padaku karena telah membuat ibuku mabuk, tidak bisa menghentikannya yang tidak mau berhenti minum.

Aku tidak berkata apa-apa ketika itu. Kubanting pintu karena ibuku yang tidak bisa diam, tetapi Evan merasa bantingan pintu itu untuknya. Aku tidak bermaksud begitu, tapi puas juga.

Berikutnya, interaksiku dengannya di sekolah jadi aneh dan canggung. Dia bertingkah seolah-olah aku anaknya, itu membuatku enek. Meski tidak kenal siapa ayahku, aku tidak mau punya ayah seperti dirinya.

Murid-murid yang lain mulai meledek-ledekku kalau aku akan punya ayah baru. Menyebalkan sekali ketika kabar itu menyebar, dan menjadi gosip lorong. Entah darimana mereka tahu itu semua.

Asal mereka tahu saja, hubungan ibuku dengan pria yang usianya berbeda sepuluh tahun dari ibuku itu akan bubar juga seperti yang sudah-sudah.

Tapi, sudah satu bulan hingga aku menemukan mereka kini tidur di ranjang yang sama. Mabuk hingga tak ingat yang lain-lain.

Aku menghabiskan roti tawarku yang tidak ada isi apa-apa. Lalu melirik jam dinding di tembok dapur.

Ketika aku bersiap bangun, kudengar gerakan tergesa-gesa dari kamar ibuku, lalu kudengar langkah berat mendatangiku.

"Kau sudah bangun?" kata Evan serak. Dia cari-cari sesuatu entah apa di kantong celana, lalu di tumpukan bantal di sofa butut, dan kolong meja.

Aku anggap dia masih mabuk hingga tidak bisa mengeluarkan pertanyaan masuk akal. Ibuku menyusul dengan rambut berantakan sehabis bangun tidur, menatap Evan yang sepertinya kebingungan.

"Apa yang kau cari?"

"Kunci motor."

"Semalam kau taruh di mana?"

"Di sini." Evan menepuk-nepuk meja kecil yang satu kakinya hampir patah, dan bergoyang saat disentuh.

"Arkha, kau melihatnya?" tanya Ibuku dengan datar.

Aku berjalan menuju pintu, menggeleng. Ketika aku tidak bersuara, ibuku memaki, jadilah aku terpaksa membuka mulutku yang sudah malas untuk bicara. "Tidak tahu, tuh."

"Kau pasti mengumpeti kunci itu!" teriak ibuku, dan kulihat Evan menenangkannya. "Aku tahu, kau yang mengumpeti kunci itu untuk kerjain Evan agar dia tidak bisa berangkat kerja!"

Aku menatap ibuku yang marah-marah. "Buat apa aku lakukan itu?"

"Karena kau benci Evan!"

Aku memang membenci guru olahragaku yang sok gagah itu. Jika ingin mengerjainya, ngapain kuhilangi kuncinya, sekalian saja langsung aku singkirkan motor besarnya itu. Lebih gampang, lebih enak.

"Cepat mengaku!" seru ibuku dengan galak ke arahku. "Dia sudah terlambat bekerja! Kenapa kau kenak-kanakkan sekali?"

"Kenapa malah menyalahkanku? Cari saja, dia yang punya, kok aku yang disalahkan?" kataku tidak terima.

Aku dan ibuku sama-sama meninggikan suara. Kakak perempuanku sampai keluar kamar. Dia padahal baru pulang kerja karena shift malam.

"Sudah, Mar. Sudah. Mungkin aku yang lupa di taruh di mana." Evan memegang bahu ibuku, berusaha menenangkannya.

Aku yang mulai kesal memilih menyambar tas dan pergi dari rumah yang selalu membuatku sesak. Bukan karena tempatnya saja yang kecil, tetapi juga karena suasananya yang tidak enak.

Pintunya agak terbanting karena angin. Ibuku berteriak-teriak dari dalam rumah karena aku yang main pergi begitu saja.

"Dasar anak sialan!" caci ibuku. Aku tak terlalu mendengarnya dengan jelas. Tapi kata-kata itu sudah terlalu sering kudengar, hingga kuhapal dengan sendirinya. Melekat di dalam kepalaku.

"Kau buat aku susah saja! Kau cuma pembuat sial! Bukan hanya bagiku, tapi orang-orang di sekitarmu juga! Lebih baik mati saja!"

Tetanggaku bilang ibuku depresi, sehingga aku sering menjadi sasaran pemukulannya. Bahkan sejak aku bayi. Kini, aku sudah mati rasa. Kata-kata tajam ibuku tidak menyakitiku. Dan luka-luka yang dia torehkan padaku tidak membuat aku terluka lagi.

Bahkan ketika sebuah mobil bak terbuka tiba-tiba menabrakku yang hendak menyeberang, aku tidak merasakan apa-apa.

Rasanya seperti melayang-layang di udara saat tubuhku terlempar jauh, lalu mendarat dengan kasar di aspal.

Aku terbatuk-batuk. Napasku berubah pendek, telingaku berdenging. Mulutku mengeluarkan darah.

Samar-samar aku mendengar orang-orang di dekat sana menghampiriku, berteriak-teriak minta telepon ambulans. Hal kecil seperti itu membuatku merasa dipedulikan.

Orang asing saja masih berusaha menolongku, tetapi wanita di rumah sumpek itu hanya ingin melihat kematianku.

Namaku Arkhan Bimala. Aku tidak merasakan apa-apa ketika mobil bak terbuka menabrakku, inilah akhir hidupku, kurasa.

Mataku memburam, yang kulihat terakhir kali hanyalah wajah-wajah asing yang tak kukenal, dengan langit biru tanpa awan.

Penyesalanku adalah tidak merekam semua itu benar-benar, karena ketika segala-galanya berubah gelap, aku hampir melupakannya.