PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Duren Tetangga Sebelah

Duren Tetangga Sebelah

Penulis:Renti Sucia

Tamat

Pengantar
Ada waktunya di mana senyum manis itu pudar oleh sesuatu yang disebut luka. “Jangan cinta padaku. Aku hanyalah duda beranak satu, tak begitu berharga untuk kamu beri cinta. Perasaanku sudah habis tercurah untuk puteriku tercinta, Chaca.” Gian, lelaki berstatus duda ini berusaha meredam rasa, menipu diri sendiri dengan meyakini bahwa semua yang disebut cinta hanyalah semu semata. Namun, wanita bertsatus lajang itu begitu pantang menyerah, dia tetap mengejar cinta Gian dengan segala upaya. Akankah dia berhasil mendapatkan hati lelaki dengan julukan ‘Duren’ itu?
Buka▼
Bab

Pagi ini di depan rumah Pak RT agak ramai. Bahkan terdengar gelak tawa suara kaum hawa di sana, mengundang keingintahuan tetangga lain. Salah satunya wanita bernama Erika—perempuan berusia dua tiga berstatus jomlo, keponakan Bu RT—yang baru pulang kerja shift malam.

“Iya, iya, ganteng banget. Masih muda, lagi,” kata Bu Maimunah.

“Shut, ada apa, nih, bu-ibu. Kok, pada heboh begini?”

Sejenak keriuhan itu mereda melihat kedatangan Erika.

“Ituloh, udah tahu belum kalo kita punya tetangga baru. Tuh, tinggal di samping rumah paman kamu,” jawab Jeng Erni dengan nada centil. Telunjuknya mengarah tepat ke rumah dua lantai yang baru selesai renovasi.

Jeng Erni adalah wanita gaul dan modis beranak satu.

“Tetangga? Kok, saya enggak tahu, ya? Kapan pindahnya? Harusnya, kan, laporan dulu ke Paman.”

“Katanya datang tengah malam, mungkin kamu merem terlalu pulas, makanya enggak tahu,” sela Bu Maimunah. Erika hanya mengangguk.

“Dia laki-laki, loh,” bisik Bu Maimunah mulai memberi tahu.

“Oh, ya?” tanya Erika serius.

Jeng Erni dan kelima ibu-ibu lain mengangguk dengan wajah semu kemerah mudaan.

“Ganteeeng.” Jeng Erni menimpali.

Kali ini bibir Erika sedikit membulat, seolah berkata ‘Wow’ antara harus percaya atau tidak dengan perkataan tetangganya itu.

“Muda,” sambung Bu Maimunah.

“Duda.” Kembali Jeng Erni menimpali.

Kali ini mulut Erika menganga. Matanya bersinar bahagia mendengar kata duda. Dia bersemangat.

“Duda muda ganteng?” tanya Erika dengan sangat antusias.

“He-em ....” Semuanya menjawab dengan kompak diiringi senyum tertahan disertai gerakan anggota badan yang terkesan kecentilan.

“Waw! Pas sekali. Saya, kan jomlo, dia duda. Cocok mungkin, ya, hahaha” Erika terbahak tak tahan dengan ucapannya sendiri.

Ibu-ibu lain pun ikut terbahak.

“Bisa aja kamu, Erika.” Bu Maimunah berkata seraya memukul ringan lengannya.

“Usaha perlu, Bu. Saya juga mau punya pasangan seperti ibu-ibu.” Kembali Erika berkata dengan nada manja.

“Ya udah, samber, sana,” suruh Bu Erni menggoda.

“Kok enggak kelihatan,ya?”

“Datangi saja kalau memang minat. Buat luluh hatinya, jangan lupa hati anaknya juga diluluhkan,” ucap Bu Maimunah diiringi tawa.

Mendengar kata anak, Erika yang tadinya bersemangat, mendadak lesu. Ekspresinya berubah.

“Anak? Di-dia duda beranak?” tanyanya dengan ekspresi tak percaya.

“Iya, tapi masih muda dan ganteng, kok. Keliatannya baik juga, tuh.”

Wajah Erika berubah kecut, menandakan dia berubah pikiran.

“Enggak, ah, bu-ibu. Saya lebih baik cari jomlo tua bangka daripada duda muda tapi beranak,” tolaknya tanpa basa-basi, membuat ibu-ibu yang berkumpul merasa heran.

“Idih, kamu ini, Erika. Banyak nuntut, deh.”

“Biarin,” sahutnya sembari menggibaskan rambut hasil rebonding yang tergerai panjang.

Bersamaan dengan itu, duda muda yang mereka gibahkan barusan keluar dari rumah. Dia tengah berlari kecil mengejar buah hatinya yang baru berusia tiga setengah tahun.

“Chaca sayaang. Sini, jangan lari-lari. Nanti jatuh,” teriaknya. Pria berstatus duda itu bernama Gian Prayoga.

Akibat suaranya yang sangat ‘laki banget’ itu terdengar keras, para ibu-ibu kompleks mengalihkan pandangan ke arah mereka yang sedang berlarian di halaman.

“Tuh, tuh, itu dia. Ganteng kaaan,” bisik Jeng Erni gemas, dan disahuti antusias oleh yang lain, tapi tidak dengan Erika. Sebab dia belum jelas melihat wajah Gian.

Selagi Gian berlarian mengejar Chaca, anak itu sengaja mengambil selang kecil di halaman dan memutar kerannya, sehingga air menyembur dari dalam. Anak menggemaskan itu mengarahkannya pada sang papa.

“Lasain, Papa bacah,” kata Chaca dengan lucunya. Dia tertawa saat melihat Gian mulai kebasahan bagian dada.

“Nakal kamu, ya. Sini, papa tangkap, hiaaaaat!” Gian malah bersemangat kala Chaca tanpa wajah dosa membasahinya dengan sengaja.

Dia segera menangkap anaknya dengan gemas, menciuminya, serta tertawa. Dia tak peduli baju yang dipakai basah. Gian dan anaknya asyik bermain bersama tanpa menyadari dari tadi telah diperhatikan ibu-ibu kompleks yang kelaparan mata.

Chaca menyerah saat Gian mulai menggelitikki tubuhnya. Gian pun berhenti dan membiarkan Chaca masuk ke dalam rumah.

“Dasar, kamu, ya. Papa jadi basah, ini.” Gian mengeluh, tak lama perlahan dia mulai menarik bajunya ke atas, dan ... terpampanglah penampakan roti sobek yang membuat ibu-ibu kompleks berteriak histeris.

“Jiaaaaah, rejeki pagiii!” teriak Jeng Erni penuh energi.

Ibu-ibu lain tak kalah kencangnya berteriak. Bukan teriakan malu, tapi teriakan senang telah melihat hal yang jarang mereka lihat.

Gian yang mendengar kehisterisan ibu-ibu itu akhirnya menoleh. Agak kaget sebenarnya mungkin. Sebab, spontan Gian langsung menutup dadanya dengan kedua tangan.

“Astaga!”

Bersamaan dengan itu, Bu Sita—Bu RT— keluar.

“Astagfirullah!” ucapnya langsung menunduk dan menutup muka dengan sebelah tangan. Malu mungkin dengan pemandangan mulus di depan mata.

“E-eh, Bu.” Gian berusaha mengontrol diri dan menyapa.

“Iya, Pak Gian. Em, anu ... saya dengar teriakan di luar, jadi saya ....”

“Ohh, itu. Iya, tuh, Bu Maimunah dan yang lain pada teriak. Mereka kenapa, ya?” pangkas Gian tampak heran.

“Ahh, i-itu ....” Entah bagaimana cara Bu Sita mengatakannya. Dia terlalu malu, “Saya juga enggak paham. Sepertinya bukan teriakan bahaya, kalau begitu saya permisi.” Bu Sita pun kembali masuk dengan tergesa.

“Oh, i-iya silakan.”

Sementara ibu-ibu heboh memandang roti sobek gratis di seberang dan saling senggol, Gian merasa risih sebab semua pasang mata menyorot padanya.

Merasa diperhatikan, Gian pun berbalik dan tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya yang berjejer rapi. Dia sedikit menganggukkan kepalanya tanda menyapa.

“Papaaa!” tak lama teriakan Chaca terdengar nyaring.

Sontak Gian berpaling muka, melihat anaknya tengah berkacak pinggang di ambang pintu. Wajahnya menampakkan kekesalan khas anak seusianya. Mungkin marah karena papanya tak kunjung menyusul.

Gian pun menoleh ke arah ibu-ibu yang memandangnya, lalu berkata, “Marii.” Dan dibalas dengan anggukan.

Dia segera berlari menuju Chaca yang masih berkacak pinggang, lalu lenyap dari pandangan para ibu-ibu centil itu, masuk ke dalam sembari menggendong Chaca.

Sementara di seberang sana, Erika and the genk kembali histeris, sehingga memicu kemarahan tetangga lain sebab merasa terganggu. Mereka pun memilih diam.

Lalu Erika sendiri yang tadi sempat mengucap penolakan terhadap duda beranak satu itu pun terdiam dengan mulut menganga. Melihat itu, Bu Maimunah dan yang lain menepuk-nepuk menyadarkan.

“Kalau itu, sih, bukan duda muda lagi ... tapi, duren, duda kereeen.”

Setelah mengatakannya, Erika malah ambruk. Dalam keadaan yang setengah sadar dan setengah mau pingsan itu dia terus berkata, “Duren ....”

“Eh, Erika! Kamu kenapa?!”

Semua ibu-ibu rumpi itu akhirnya panik melihat Erika tiba-tiba ambruk begitu saja.

“Air! Air!”

“Air apa?!”

“Apa saja! Air selang itu saja yang ada! Cepat!”

“Buat apa?!”

“Jangan banyak bertanya!”

Ya, kelima ibu-ibu itu sangat kalut dan serba salah. Bukannya langsung dibawa masuk, malah dibiarkan tergeletak begitu saja di halaman rumah Bu Maimunah. Dasar.

“Erika! Erika, sadar!”

Semuanya tambah panik melihat Erika yang tiba-tiba menutup mata, alias benar-benar pingsan.

***

Beberapa menit setelah jatuh pingsan, Erika mulai tersadar. Dia melenguh, tak bisa mengeluarkan banyak kata-kata. Bahkan, pandangannya tak begitu jelas.

“Mas Duren ....” Hanya itu yang dia katakan.

Lambat-laun pandangannya mulai jelas. Pertama, yang dilihatnya Bu Sita, kedua, pemilik rumah, yaitu Bu Maimunah, kemudian Jeng Erni, dan seterusnya. Dia kaget, dan terperanjat.

“Mas Duren! Mas Duren! Eling, Erika! Sadaaar!” ujar Bu Maimunah gemas.

Semua ibu-ibu rumpi tergelak menertawakan Erika, tanpa terkecuali Bu Sita, istri ketua RT di kompleks itu yang tak lain adalah bibinya sendiri.

Bersambung.