PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Flower Road

Flower Road

Penulis:YellowWriting29

Berlangsung

Pengantar
“Tidak ada orang jahat yang sesungguhnya. Mereka memiliki alasan dalam setiap perbuatan yang dilakukan. Karena pada dasarnya manusia dilahirkan bak kertas kosong.” Mereka merupakan korban dari ketidakadilan dunia. Mereka marah kepada Tuhan yang bagai menertawakan kehidupannya yang dipenuhi oleh sandiawara dan kebohongan. Mereka lelah menjalani hidup yang mengharuskannya memakai topeng. Mereka pernah menjadi baik, tapi dengan mudahnya mereka menghancurkan kepolosan itu digantikan oleh kemarahan yang tiada henti. Ini hanyalah kisah tentang seorang para anak yang berusaha menemukan arti kebahagian di tengah lingkungan yang beracun. Kebohongan, pengkhianatan, dan keserakan, bisakah dikalahkan?
Buka▼
Bab

Apa yang dimaksud dengan sekolah? Tempat para remaja menghabiskan waktu agar diharapkan menjadi pintar dan bersedia menjadi harta nasional bagi negaranya. Namun, benarkah definisi itu telah tepat? Manusia pada umur segitu, berada pada puncak hormon yang membuat mereka lebih berambisi, agresif, dan meniru yang orang dewasa lakukan, termasuk menjadi nomor satu dalam segalanya dan tidak ingin dikalahkan.

Seperti hari ini, seorang guru berbicara di podium berhadapan langsung dengan para murid, mengumumkan pemenang yang selalu mendapatkan juara. Semua orang bertepuk tangan kagum dan palsu.

“Juara umum satu yaitu Chan dari IPS unggulan satu. Dia adalah anak teladan yang selalu mendengarkan setiap perkataan guru. Semoga para siswi yang ada di sini bisa mendapatkan lelaki sempurna seperti Chan, ya,” heboh guru yang selalu ada setiap upacara selesai. Semua murid bertepuk tangan. Murid yang berada di barisan paling belakang akan berjinjit untuk melihat paras sempurna seorang Chan.

“Cih, apa tidak ada orang selain lo? Sempurna, palak lo. Gue bosan melihat lo selalu ada di sana,” kesal pria berambut cepak, melayangkan pukulan keras di pergelangan tangannya. Chan mengacungkan jari tengah dan lidahnya.

“Kurang ajar.” Pria yang tidak pernah dimasukkan bajunya berniat menghajar temannya, tapi, langsung ditarik oleh lelaki yang tengah membaca di barisan belakangnya.

“Simpan energi lo untuk nanti. Apa lo tahu hadiah yang ingin gue berikan? Lo pasti tidak mau menolaknya,” ujar Azka, mengambil kunci dari sakunya dan diperlihatkan ke mata Dalvin.

Dalvin tersenyum lebar, “Lo memang teman gue yang paling baik. Gue tidak bisa membayangkan hidup tanpa seorang Azka. Pasti hampa dan gue bakal memilih mengakhiri hidup,” sahut Dalvin asal. Azka tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataannya.

“Itu tidak boleh terjadi. Lo harus mati, sebelum gue. Karena gue yang akan menjadi penyebabnya,” balas Azka. Tawanya kini lenyap begutu saja, bagai tidak ada yang terjadi.

Chan bersama para juara umum dari berbagai kelas dan kepala sekolah mengambil foto untuk kenangan yang menjadi tonggak dalam promosi sekolah tersebut. Mereka tersenyum seraya mengacungkan jempol.

“Jika dipikir-pikir, bukankah Chan cocok dengan perempuan berjerawat itu? Pria sempurna harus bersama wanita yang memiliki banyak celah,” celetuk Dalvin, menyaksikan foto bersama tersebut.

Azka menyugar rambut dan mengangguk, “Ya, dia tidak pantas bersama gue yang memiliki hati jelek seperti iblis. Dia pasti tersiksa.” Dalvin menoleh ke arahnya. Azka mengedipkan mata.

“Dia milik gue,” sahut Azka tersenyum miring.

Dalvin menegang. Pkamungannya kembali ke arah para manusia cerdas nan terpilih mendapatkan hadiah dari kepala sekolah.

“Gue memiliki teman yang gila,” batin Dalvin.

Chan turun dari podium tersebut, disusul oleh rekan yang lain. Gadis yang dibicarakan oleh Azka dan Dalvin terdorong oleh lelaki yang berada di belakangnya, membuat Chan terjatuh. Dia menatap tajam pada sosok yang membuat lututnya tergores.

“Heh, Aruna, apa lo tidak bisa sedikit saja berjalan yang benar? Sudah berjerawat, tapi selalu menyusahkan orang lain,” hina Chan, mencoba berdiri, tapi selalu jatuh oleh badan berisinya.

Aruna yang menganggap perkataan itu hanyalah sepersekian dari hinaan yang didapat selama ini, menganggap itu hanya bualan semata dan mencoba berdiri sendiri.

Kala dia ingin kembali ke barisan, langkah kaki berhenti mendengar permintaan dari teman sekelasnya, “Heh, lo telah membuat gue di sini. Manusia jelek memang terkadang mengesalkan, baik dari wajah dan juga perbuatan yang dilakukan oleh dia,” kesal Chan. Aruna menghela napas panjang, tapi dia tetap membantu Chan berdiri dan membantunya untuk menghilangkan pasir di celana.

“Cukup?” kesal Aruna, lekas meninggalkan lelaki itu sendirian yang masih saja marah pada wanita itu.

“Woy, pergi saja. Manusia jelek memang tidak mengetahui cara berterima kasih kepada orang lain,” teriak Chan, yang mengundang semua orang menatap ke arahnya.

“Benar, bukan?” tanya Chan, pada adik kelasnya yang tidak mengerti apa-apa.

Usai upacara berakhir, para murid menuju kelas masing-masing. Aruna masuk ke kelasnya. Dia langsung dihadiahkan tamparan keras oleh perempuan berbaju ketat bersama rok yang pendek.

Aruna memegang pipinya yang memanas dan menatap pelaku yang telah melakukannya tanpa sebab.

“Gue tahu lo pasti membeli kunci jawaban dari semua ulangan, bukan? Siapa lagi yang bisa melakukan itu kecuali lo? Sampai kapan pun lo tidak bisa menonjol. Kenapa? Karena wajah ini tidak bakal diingat sebagai orang yang istimewa. Selamanya hanya menjadi sosok yang menjijikkan, tidak lebih dari binatang yang dihancurkan oleh manusia untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkan,” bisik Rani, mendorong gadis itu sampai tersungkur.

Azka dan Dalvin yang baru saja kembali dari kantin, terperanjat melihat manusia yang jatuh di hadapan mereka.

Azka menatap tajam pada gadis yang selalu menyiksa gadis tersebut.

“Apa lo ingin menderita?” ancam Azka dengan wajah datar. Rani menelan saliva susah payah. Dia menggeleng ketakutan. Sosok yang biasanya tersenyum menjadi lebih menyeramkan ketika marah.

“Maaf, Azka,” mohon Rani berlutut di hadapan Azka.

Azka menghampiri Aruna yang berdiri dan berniat ingin ke tempat duduknya, jika saja Azka tidak menggenggamnya.

“Kenapa lo langsung pergi begitu saja, sayang? Lo memaafkan dia? Gue hanya mendengarkan peri gue berbicara. Karena setiap yang lo katakan adalah hukum bagi kue. Lo ratu di hati gue, sayang,” bisik Azka, menekan jarak antara mereka berdua. Aruna mendorongnya pelan, membuat alis mata Azka naik sebelah.

“Jangan lakukan apa pun! Gue tidak mau menyebabkan kekacauan,” sahut Aruna, melepaskan genggaman Azka dan kembali ke tempat duduknya.

Dia mengeluarkan semua buku yang dibawanya dan dibaca, sebelum pelajaran itu datang. Azka menghampiri dan duduk di hadapannya. Dia menutup buku tersebut.

“Bukankah lo sudah keteraluan, sayang? Lo telah mengambil peringkat dua barusan, sekarang sudah belajar lagi. Pacar gue ambisinya sangat besar,” kekeh Azka.

“Gue harus melakukan ini, karena tidak ada lagi yang bisa gue lakukan. Jadi, pergilah! Gue tidak bisa fokus selama ada pacar tersayang,” usir Aruna dengan perkataan lembut dan senyuman yang dibuat-buat.

“Tenanglah! Jangan membuat gue marah, sayang. Di sini banyak orang. Kalau lo tidak ada kerjaan, tolong buatkan esai untuk lomba dua minggu lagi. Lo jago melakukannya. Gue harus melakukan segalanya agar bisa lulus unervesitas,” titah Azka. Aruna menatap buku yang diberikan oleh kekasihnya. Dia menatap tidak percaya, tapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.

“Baiklah. Pergi!” usir Aruna. Dia langsung mengeluarkan laptop dan mengerjakan suruhan kekasihnya. Azka tersenyum miring. Dia beralih ke samping kursi Aruna.

“Bukankah akhir-akhir ini lo terlalu banyak bekerja, sayang?” bisik Azka, menyentuh pahanya. Aruna mengeram, dia mengepalkan tangan, menatap ke sekeliling yang tampak tidak peduli terhadap dirinya.

Aruna bangkit dari tempatnya dan menatap tajam pada pacar sekaligus tetangganya, “Tolong, pergilah!” usir Aruna dengan penuh penekanan.

Dalvin dan teman-temannya yang menyaksikan pengusiran Aruna tertawa.

“Wah, siapa yang berteriak sekarang?” tanya Dalvin. Dia mulai berdiri dan menghampiri gadis yang berniat meninggalkan kelas.

Aruna menatap Azka yang tampak acuh tak acuh dengan menghidupkan lagu dan meletakkan earphone di telinganya.

“Jangan macam-macam dengan gue!” ancam Aruna, menggenggam pena. Dia menyodorkannya ke pria berambut panjang itu. Dalvin bersama teman-teman tertawa terbahak-bahak melihat perempuan yang tampak putus asa.

“Tusuk gue!” Dalvin menarik Aruna agar mendekat ke arahnya.

“Lo terlalu berharga untuk menjadi perawan, Aruna. Kenapa lo tidak berhenti sekolah saja dan menjadi pelacur?”