PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Forced Marriage

Forced Marriage

Penulis:_Monstera_

Berlangsung

Pengantar
"Jangan harap saya akan mencintaimu meskipun kamu sudah sah menjadi istriku," ucap pria itu dingin. "Dan saya juga tidak akan pernah mencintai om-om dingin seperti bapak." Gadis itu tak mau kalah. Jika pernikahan itu adalah menyatukan dua orang yang saling mencintai, maka lain lagi dengan pernikahan yang satu ini. Dimana mereka menikah karena terpaksa. Semua itu terjadi karena balas budi yang dilakukan oleh ayah si gadis. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Apakah nantinya mereka akan saling mencintai atau berpisah? Temukan jawabannya dalam cerita ini:)
Buka▼
Bab

Seorang gadis tengah sibuk mengamati layar laptop yang berada di depannya. Sebuah handset tergantung dikedua telinganya membuat gadis itu tak terganggu dengan aktivitas orang-orang yang berada di sekelilingnya. Sesekali gadis itu secara spontan menutup matanya, kemudian tersenyum girang, lalu menangis. Persis orang yang sedang stress.

Pria yang sudah sedari tadi berada di sampingnya, menggelengkan kepalanya pelan. Ia sudah beberapa kali memanggil nama gadis itu, namun sang gadis tak pernah memperdulikannya.

Pria itu tersenyum licik. Ia kemudian merogoh tasnya dan mengambil sebuah gunting, lalu...

"Zainal!" seru gadis itu lantang, membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menoleh kearahnya sejenak.

"Ya maaf. Lagian dari tadi aku manggil kamu, kamunya malah nggak denger." Pria yang diketahui bernama Zainal itu terkekeh pelan. Sementara gadis yang berada disampingnya menatapnya sangar.

"Ganti nggak!"

"Iya, aku ganti kok. Mau berapa memang? sepuluh?" Zainal masih saja menggoda gadis tersebut meskipun muka gadis itu sudah merah padam saking kesalnya.

"Kuping aku cuma dua, nggak usah beli banyak-banyak."

"Siapa tau kamu punya kuping cadangan, kamu kan aneh." Zainal menatap gadis itu dengan geli.

"Apa kamu bilang?!"

"Santai, mbak Anisa. Mas Zainal cuma berjanda."

Gadis yang dipanggil Anisa tersebut hanya memukul lengan Zainal lalu melanjutkan kegiatan menatap laptopnya yang tertunda akibat Zainal menggunting handset miliknya.

"Ngapain sih?" tanya Zainal penasaran.

"Lagi memantau perkembangan keuangan negara," ucap Anisa acuh tak acuh.

"Memantaunya lewat drakor?"

Anisa menatap sahabatnya itu jengah, "Kan kamu udah liat aku lagi apa, kenapa malah nanya lagi."

"Oh." Zainal membalas perkataan Anisa dengan sikap yang pura-pura acuh tak acuh seperti yang dilakukan Anisa beberapa menit lagi.

Anisa yang sudah lelah berdebat memilih diam saja. Lebih baik ia fokus ke drama korea yang tengah tayang di dalam laptopnya itu daripada mengurusi satu anak manusia menjengkelkan seperti Zainal.

"Ikut nonton boleh?" tanya Zainal saat melihat Anisa sudah terbawa dalam suasana drama korea itu. Anisa hanya mengangguk lalu sedikit menggeser laptopnya ke arah samping kanan yang merupakan tempat Zainal duduk.

Tiga puluh menit berlangsung, tak terjadi apa-apa kepada Anisa dan Zainal. Mereka tampak akur dengan suasana seperti itu, namun tiba-tiba secara reflek Anisa menutup mata Zainal.

Zainal sedikit terkejut, namun ia tak menyingkirkan tangan mungil Anisa dari kedua matanya. Lagi pula, ia tahu adegan apa yang terjadi dalam drama korea itu.

Beberapa menit kemudian, Anisa menurunkan tangannya dari wajah Zainal. Zainal mengangkat sudut bibirnya sehingga membentuk sebuah senyuman yang membuat Anisa agak sedikit merinding.

"Senyuman kamu kaya om-om psikopet tau nggak. Yang suka nyuri anak dengan iming-iming dikasih permen," ucap Anisa.

"Masa? senyuman aku manis tau." Zainal semakin melebarkan senyumnya sehingga membuat matanya menyipit.

Anisa memutar bola matanya malas. Zainal yang ngeselin sudah kembali lagi. Bahkan belum cukup satu jam Zainal diam, ia sudah berulah lagi. Tapi, bagaimanapun juga, Zainal adalah sahabat masa kecil Anisa, dan karena sikapnya yang ngeselin inilah Anisa sering kangen jika tak bertemu Zainal.

"Nis, kamu nggak mau nyoba?" tanya Zainal masih dengan senyuman anehnya.

"Nyoba apa?" Anisa mengerutkan dahinya, bingung.

"Itu." Zainal menunjuk laptop Anisa yang sedang menayangkan adegan kissing.

Anisa dengan cepat menutup laptopnya. Ia menatap Zainal kesal. Anak itu memang benar-benar ngeselin.

"Ogah!" jawab Anisa dengan sedikit penekanan.

"Kenapa? padahal aku dengan suka rela mengorbankan bibir seksiku loh." Zainal menaik turunkan alisnya, membuat Anisa menghujaninya pukulan di lengan dan kepalanya.

"Selain seperti om-om psikopet anak-anak, ternyata kamu juga berbakat menjadi om-om hidung belang," ujar Anisa setelah menghajar sahabatnya itu.

Zainal tak membalas perkataan Anisa. Zainal hanya sibuk mengelus bagian tubuh yang Anisa pukul tadi. Pukulan Anisa memang tidak ada tandingannya. Disaat sedang kesal, Anisa bahkan bisa memukul seseorang sampai lebam.

"Ada apa ini? maaf ya aku telat."

Anisa dan Zainal menoleh kesumber suara secara bersamaan. Seorang gadis cantik tengah tersenyum kearah mereka.

"Santai. Kita juga belum ngerjain apa-apa kok," ucap Zainal sambil memperlihatkan deretan gigi rapinya. Gadis tersebut hanya tersenyum lalu ikut duduk disamping Zainal.

"Tumben telat, Des. Biasanya kan seorang Desitha tidak pernah telat," ucap Anisa heran.

"Tadi ada sedikit urusan dengan dosen," jelas Desitha.

Desitha merupakan sahabat Anisa selain Zainal. Hanya Desitha dan Zainal lah teman dekat Anisa. Anisa pertama kali bertemu dengan Desitha saat pertama kali kuliah. Kebetulan Desitha satu angkatan dan satu jurusan dengan Anisa dan Zainal. Sementara Zainal, dia adalah sahabat dari kecil Anisa. Keduanya bahkan dulunya memiliki rumah yang saling berdekatan, namun tak lama ini, Zainal dan orang tuanya pindah rumah sehingga Anisa dan Zainal hanya bisa bertemu saat dikampus atau saat janjian saja.

Seperti bayangan kalian, mereka adalah mahasiswa semester tiga di Universitas Andalanesia yang merupakan salah satu Universitas terbaik. Saat ini mereka bertiga sedang berada di perpustakaan kampus untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh salah satu dosen. Sebenarnya ini tugas individu, tapi dosennya juga tak akan tahu bahwa mereka mengerjakannya secara berkelompok. Lagian, kalau dikerjakan secara berkelompok, akan terasa lebih mudah. Terutama jika di dalam kelompok itu terdapat orang yang pintar.

Dan seperti itulah yang Desitha serta Zainal rasakan. Tugasnya jauh lebih mudah akibat ada Anisa yang mengajarinya. Anisa memang termasuk siswa berprestasi. IPK yang ia dapatkan juga terbilang hampir sempurna dan bahkan Anisa mendapatkan predikat lima besar mahasiswa terpintar dalam angkatannya.

"Yuk, kerjain sekarang." Anisa mulai mengeluarkan buku dan pulpennya dari dalam tas, tak lupa pula ia menyalakan kembali laptopnya.

Desitha dan Zainal hanya mengangguk dan mengikuti apa yang Anisa lakukan. Suasana yang tadinya heboh, berubah menjadi hening. Mereka semua fokus ke buku dan laptopnya masing-masing. Hanya suara ketukan pulpen diatas meja yang sesekali terdengar. Atau suara Desitha yang sesekali bertanya ke Anisa jika ada yang ia tak pahami.

"Eh, aku mau ke toilet sebentar ya," ujar Anisa tiba-tiba.

Desitha dan Zainal yang masih fokus dengan laptopnya hanya bergumam pelan. Sepertinya tugas dari dosen agak terlihat sulit bagi kedua orang itu.

"Aaa... akhirnya selesai juga." Zainal menutup bukunya dan mengambil pulpen miliknya untuk dimasukkan ke dalam tas, namun tanpa sengaja ia menjatuhkan pulpen Desitha yang tepat berada di samping pulpen miliknya.

Dengan cepat Desitha memungutnya, namun dengan spontan Zainal juga memungut pulpen itu. Desitha menatap Zainal lalu menatap tangannya yang sudah digenggam oleh Zainal.

Satu menit berlalu dan mereka berdua masih saling menatap satu sama lain. Hingga akhirnya...

"Kalian ngapain?"

Suara itu menyadarkan mereka. Desitha dengan cepat melepaskan tangannya dari genggaman tangan Zainal. Sedangkan Zainal menyempatkan diri untuk mengambil pulpen Desitha yang terjatuh.

"Pulpen kamu." Zainal menyodorkan pulpen itu ke Desitha.

"Eh, ma-makasih," ucap Desitha gugup.

Anisa yang melihat mereka bersikap aneh, hanya bisa mengangkat bahunya sedikit. Ia tak perlu memusingkan hal-hal yang seharusnya ia tak pusingkan.

"Oh iya, tugasnya udah selesai kan? aku diminta pulang cepat sama orang tuaku katanya ada hal penting. Aku pamit dulu ya." Anisa membereskan peralatannya lalu memasukkannya kedalam tas. Melambaikan tangan kearah Zainal dan Desitha kemudian berjalan meninggalkan perpustakaan menuju parkiran motor.

Sedangkan Zainal dan Desitha tak merespon apa-apa. Mereka masih mematung di tempat duduk mereka. Kejadian tadi membuat suasananya menjadi awkward dan tak ada yang berani memulai percakapan terlebih dahulu.