PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Youngblood

Youngblood

Penulis:CupKyle

Berlangsung

Pengantar
Berniat membantu meringankan beban tanggung jawab sang kakak yang kelimpungan mencari pengasuh anak tunggal si bos besar, Casey terjerat dalam labirin hati dan perasaan asing yang memabukkan, semua ulah si Tuan Muda Xaviero Jovan yang memiliki begitu banyak karisma. Tak lama, Casey pun mendapat konflik romansa pula dengan kekasihnya sejak SMA, bernama Samuel Withreyn.
Buka▼
Bab

Kak Viona: Kakak tidak punya pilihan lain. Pesta pernikahan sudah di depan mata, dan kakak tidak punya waktu memikirkan solusi untuk Pak Bos yang membutuhkan pengganti pengasuh putra tunggalnya itu. Tolong, bersedialah jadi pengasuh anak itu untuk beberapa waktu ke depan, oke? Ini tidak sulit. Hanya sebatas memastikan dia pulang sekolah dan makan tepat waktu. Kakak akan berikan hadiah usai pesta pernikahan kalau kau lakukan tugas ini dengan baik. Deal?

Casey menghela napas. Sepertinya, terhitung sejak pagi buta, kakak perempuannya yang mengirim pesan spam tersebut—mendesak, meminta untuk segera dibalas. Tapi, di sini, Casey masih berkutat dengan laptop. Tugasnya sudah menggunung bak piramida dan menuntut untuk segera diselesaikan. Gadis itu melirik ke jam beker di atas nakas; sudah pukul 3 sore, dan seharusnya dia bersiap-siap untuk pergi dalam perayaan anniversary ke-4 dirinya dengan sang kekasih.

“Kau tidak membalasnya?” tanya Anne Keithrin yang sering disapa Ann—sobat plus teman seperjuangan Casey sejak SMA

mereka baru saja memasuki semester kelima di kampus yang sama pula

—tangannya aktif sekali mencomot camilan Casey dari dalam toples. “Sebaiknya kau beri kakakmu kepastian, kalau memang kau keberatan diminta jadi pengasuh anak bosnya itu.”

“Oh, ini membingungkan. Kakakku memang sedang dibuat stres untuk persiapan pesta, aku jadi tidak enak kalau langsung menolak begitu.”

“Well, kalau begitu terima saja.” Ann angkat bahu. “Daripada terus kau biarkan begitu, dia pasti makin pusing.”

“Tapi, aku tidak yakin juga. Tugas kita ‘kan makin banyak.”

“Anak pak bosnya masih balita? Atau ... duduk di bangku SD?”

“18 tahun,” potong Casey memasang muka pasrah, sementara Ann sudah membuka mata lebar-lebar. “Tepatnya, duduk di bangku tingkat akhir SMA. Bisa bayangkan itu?”

Ann lantas berdecak dengan ekspresi datar. “Ck, kalau begitu mah kabar bagus,” dengusnya. “Kan jadi mudah mengaturnya kalau dia sudah sebesar itu.”

“Bukannya itu lebih mengkhawatirkan?” Casey memandang horor. Laptop yang sejak tadi menjadi objek fokus selama berjam-jam lantas terabaikan secara mutlak karena konversasi serius ini. Lihat betapa serius Ann sahabatnya itu menatap lekat—seolah tak membiarkan sesekon pun terbuang percuma tanpa mereka menemukan solusi dari permasalahan ini—Casey mau tak mau jadi ikut ambil serius, tak mau salah-salah membuat keputusan.

“Lebih mengkhawatirkan bagaimana?”

“Yah, mengkhawatirkan. Kau tidak lihat bagaimana maraknya kenakalan remaja sekarang-sekarang ini? Mereka makin gemar bertengkar, berpacaran, ada pergaulan bebas, menggunakan minuman keras, dan banyak lagi! Kalau suatu hari hal buruk terjadi pada anak bos kakakku, aku bisa apa? Bagaimana kalau aku dipenjara? Atau mungkin ... langsung dipenggal hidup-hidup?!” Casey memegangi lehernya dengan raut horor. Kebiasaan overthinking si gadis memang kerap melampaui batas, untungnya Ann sudah terbiasa dengannya.

Maka memajukan diri, meletakkan toples jajanan, Ann menepuk-nepuk bahu temannya menenangkan. Terkadang overthinking terasa lebih banyak mendatangkan dampak buruk ketimbang yang baiknya. “Casey temanku, please stop memikirkan kemungkinan terburuk, okay? Ingat. Ini hanya remaja usia 18 tahun, yang hanya harus diingatkan minum susu di pagi hari dan makan steak sewaktu dinner. Simple, right?”

“Tidak sesimple itu juga, Ann.”

“Aku tahu kau bisa, Sey.” Ann menarik senyum terbaiknya, berusaha menyakinkan. “Ayo cepat, balas pesan kakakmu dan katakan kau bersedia membantu.”

“S-sekarang?”

“Jadi maksudmu, tahun depan?”

“Ck, iya, iya,” kata Casey separuh mengeluh—atau barangkali, sangat mengeluh—dia meraih kembali ponsel yang tergeletak tepat di samping laptopnya dan membuka roomchat berisi spam dari Viona kakaknya.

“Kau sudah membalasnya?” tanya Ann memastikan, saat melihat Casey kelamaan memandangi layar ponselnya.

Casey menggeleng polos. Matanya seolah menyiratkan permintaan tolong dengan keadaan sekarat. “Aku masih ragu, Ann.”

“Astaga, Sey!”

***

Yang dikeluarkan Ann dari lemari pakaian milik Casey bagaikan rangkaian warna di pelangi—mejikuhibiniu—lengkap dengan gaya yang bervariasi; mulai dari dress polos selutut, ada yang terbuka dengan warna pekat, atau gaya backless yang meninggalkan kesan sexy. Casey sampai terkagum sendiri, jarang-jarang dia mengeluarkan markas penyimpanan yang menjaga sederet pakaian rupawan yang dia dapat dari shopping santai bersama Ann atau dengan sang kakak. Situasi ini lantas membuatnya agak kebingungan.

“Mari kita lihat, apa yang cocok untuk kau pakai malam ini.” Ann berkacak pinggang. Sesekali menyentuh dagunya, berpikir keras soal sentuhan apa yang bisa jadi yang terbaik untuk tampilan sahabatnya berkencan malam ini. “Anniversary yang ke-4, ya? Sejak festival sekolah saat kita masih duduk di kelas 2?”

Casey tersenyum malu-malu, tersipu. “Yah, begitulah. Ayo putuskan satu pakaian untukku kenakan. Sam biasanya tidak mengharapkan banyak dari penampilanku juga.”

Samuel Withreyn namanya; kekasih Casey Freiyance yang usia hubungan mereka telah memasuki tahun keempat hari ini.

“Hum, kau salah besar soal pendapat itu!” Ann menolak mentah-mentah statement Casey. Memutar badan temannya itu menghadap ke cermin full body yang siap sedia membantu pesta dandan mereka sore ini. “Para lelaki itu, biasanya mengucapkan berbeda dengan apa yang mereka pikirkan.”

“M-maksudnya?”

“Ya, kau pikir saja. Mereka bersikap begitu, tapi di dalam hatinya mengharapkan lain.” Ann membuang napas jengah saat mendapat balasan tatapan kebingungan dari Casey. “Singkatnya begini, dia bisa saja bilang suka kau yang biasa saja, padahal dia pasti terancam mimisan saat melihat kau tampil luar biasa.”

Casey makin mengernyit dalam. “Bagaimana kalau dia malah malu dan kabur setelahnya?”

“Aku bisa atasi itu. Kau bisa serahkan sisa urusan itu padaku—si calon desainer profesional yang terkenal ke penjuru negeri!” sombong Ann, yang memang kuliah jurusan desain itu.

“Ya, ya, lakukan sesukamu, Ibu Desainer,” ledek Casey menahan senyum, membuat Ann senyum malu-malu kucing.

Ann mulai serius bekerja ekstra. Gadis yang satu ini memang selalu percaya diri dalam hal fashion. Meminta Casey memakai sederet pakaian yang direkomendasikan dan meraih make up yang sekiranya senada menjadi sentuhan akhir tampilan wajah si tokoh utama malam ini. Mereka akhirnya boleh merasa puas dengan hasil yang didapat ketika di akhir.

“Bagaimana?” Casey menghadap kepada Ann, tepat setelah dia usai memandangi pantulan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Ann turut melakukan hal serupa—memerhatikan penampilan temannya menyeluruh. Sebelum gadis itu mengacungkan jempol dan menyunggingkan senyum puas. “Perfect!”

Casey ikut senang. Buru-buru meraih shoulder bag yang melengkapi fashion style yang mereka pilih dan sekilas menyalakan layar ponsel—membuatnya tanpa sengaja memaku netra pada notifikasi pesan masuk di sana. “Astaga! Sam sudah menuju ke sini!”

Tin! Tin!

Terlambat untuk mengetik pesan balasan atau semacamnya, mobil hitam Ferrari rupanya sudah terparkir di pinggir jalan depan rumahnya, disusul lelaki jangkung yang keluar—nampak tidak sabaran.

“Aku pergi sekarang, ya!” pamit Casey kepada Ann yang masih tercengo memandangi aksinya yang kontan memacu langkah pergi.

***

“Aku tidak bisa menghubungimu siang ini. Ada masalah?” tanya Sam basa-basi, usai mereka mendapatkan dua popcorn big size serta sepasang minuman bersoda dari stand penjualan yang tersedia. Tiket bioskop untuk menonton film romansa-aksi berjudul “I Know I Love You” sudah terpegang di tangan Sam. Menuntun gadisnya tetap berjalan aman di sisinya.

Casey menggeleng lugas, tersenyum. “Bukan masalah. Cuma banyak tugas yang sudah dekat deadline. Maaf aku jadi tidak mengangkat telepon.”

Sam balas tersenyum. “Tidak apa. Lagipula kamu sudah berjanji saat pagi kalau bersedia diajak jalan malam ini.”

“Yang benar saja. Ini ‘kan anniversary kita!” Casey terkikik, memukul dada si lelaki gemas.

“Iya, iya. Aku hanya penasaran saja, mana tahu tugas kuliah sudah membuatmu berpaling dariku,” cibir Sam setengah meledek, membuat Casey makin geram sembari meredam malu.

“Mana mungkin. Berhenti menggoda!”

Tak lama hingga waktu film mereka dimulai, keduanya lantas bergandengan lembut untuk bersisian melangkah memasuki ruangan. Mengambil duduk ternyaman tepat di tengah dan bersiap-siap untuk mencari posisi paling rileks yang pernah ada.

Ahh, sudah lama sejak terakhir kali bisa sesantai ini. Casey tersenyum puas, bersandar ke kursi empuk itu sampai menatap Samuel yang turut bersiap membuat posisi ternyaman. Menggamit lagi tangan kekar lelaki itu dan memejam nyaman. Byebye dulu tugas. Aku kencan dulu!

***

Tidak cukup dari menonton film yang sangat berkesan di bioskop, mereka lanjut menuju restoran bergengsi untuk memesan set dinner terbaik. Ahh, bukan, bukan. Tepatnya hanya Sam yang memesan. Lelaki itu selalu yang paling cekatan dalam hal rute perjalanan kencan, atau kalau secara mendadak pun, otak dan isi kepalanya sudah bisa dua kali lebih cepat merancang rencana agar waktu kebersamaan mereka bisa terisi dengan makna, tanpa harus terbuang percuma.

Sudah lama berjalan sejak saat masih duduk kelas 2. Agaknya kenangan itu masih akan terus membekas dengan jelas. Dengan berbalutkan kemeja dan celana dasar panjang seragam sekolah, Samuel yang menyusuri red carpet bekas festival tahunan sekolah—tak lupa, dengan menggenggam sebuket bunga dan sekotak hadiah di balik tubuhnya—menyunggingkan senyum, menatap dalam dengan netra yang berpendar kelam. Menggunakan alibi yang faktanya pada saat itu, mereka sama-sama panitia penanggung jawab festival, sebagai sesama anggota organisasi kesiswaan.

“Samuel, kamu sudah angkat kardus pita dari pentas? Itu harus disimpan ke gudang, ‘kan?” Begitu celoteh Casey kala itu, saat masih terfokus pada festival sekolah yang masih menyisakan kesan heboh kendati itu sudah usai sekitar sepuluh menit yang lalu. Gadis itu tidak menoleh pada Samuel yang sudah berdiri memandanginya dari belakang. Masih sibuk terus mengamati aset perayaan yang perlu untuk segera dibereskan. “Oh, perlukah kita panggil anak tingkat satu untuk bantu mengurus ini?”

“Casey.”

“Hm?” Casey spontan memutar badan dan menoleh pada Samuel. Panggilan serius dengan suara rendah dan dalam, membuat si gadis sempat merasa bulu romanya meremang hebat. Dirinya dan Samuel memang menjadi dekat sejak berkenalan dan melakukan banyak aktivitas di organisasi. Mereka sering terlihat berduaan di banyak tempat dan kerap pergi ke kantin bersama pula. “Ada apa, Sam?”

Lelaki itu memajukan dirinya, masih menatap dalam. Sementara Casey bisa merasakan lidahnya yang perlahan kelu dengan kedua tungkai seolah sulit digerakkan. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba seserius ini? Apa aku melakukan kesalahan?

“Will you be mine?” ujar Samuel saat sudah tepat di depannya. Mengulas senyum miring seraya menyodorkan bunga dan kotak kado. “Just take this if you—“

“Yes, I do!” Casey cepat-cepat menerima buket bunga dan kado, gemetaran. Dirinya hanya tidak sanggup untuk mendengar lanjutan kalimat Samuel yang keluar serius dan sesendu itu. Gelora dalam jantungnya sudah meronta sinting. Yeah, kedekatan mereka selama satu tahun sebelum tak menutup kemungkinan bagi keduanya untuk menyimpan perasaan satu sama lain. Lihatlah bagaimana kedua pipi Casey yang sudah bersemu bagai tomat. Lihat juga sepasang daun telinga Samuel yang memerah bak terbakar. Kisah cinta anak remaja rasanya selalu jadi momentum termanis yang pernah ada semasa manusia hidup di muka bumi ini.

“Okay, once you be mine. I’ll never let you go, Casey.”

Begitulah bagaimana masa lalu pasangan ini bisa dipaparkan dengan ringkas. Begitu jugalah awalan bagaimana hubungan mereka dapat bisa dipertahankan sejauh ini, hanya dengan hiasan sandungan masalah yang seperti debu-debu pasir; cemburu, kecewa keterlambatan, kecewa tidak diberi kabar, dan sebagainya. Tetapi kini, seiring bertambahnya usia, mereka menjadikan satu sama lain lebih dewasa, lebih bijak memahami situasi masing-masing dan lebih pengertian pula. Tak ayal rasanya sekeliling mereka pun turut mengharapkan hubungan ini dapat langgeng sampai akhir.

“Kamu yang menyiapkan ini semua?” tanya Casey, masih menatap takjub sekelilingnya yang menyuguhkan panorama dan suasana paling romantis yang pernah ada.

Sam mengangguk. “Hum. Kenapa? Kamu tidak suka?”

“Tentu saja suka!” sahut Casey lebih bersemangat.

Sam menggeleng lambat, diam-diam menahan tawa gemas melihat gadisnya yang sering bertingkah seimut itu, apalagi saat sedang gugup.

Kalau membuka kisah lalu lagi, sejak SMA, dulu mereka hanya bisa keluar ke bioskop akhir pekan, game arcade, membeli minuman atau jajanan eceran pinggir jalan. Barangkali jika tak ada lagi opsi lain, hanya beli ice cream di minimarket terdekat sehingga bisa jalan kaki dan menghemat ongkos bus. Kini, dengan Samuel yang mulai bekerja sebagai co-CEO di kantor milik kakak laki-lakinya—Wreyn Corp.—Samuel tentu sudah bisa melakukan jauh lebih baik. Apa pun untuk menyempurnakan hari kencan mereka yang makin sulit didapat karena kesibukan masing-masing saat ini.

“Terima kasih, ya.”

“Untuk?”

“Semua ini. Perayaan 4th Anniversary yang sempurna,” ujar Casey, tersenyum manis. Membuat Samuel bisa merasakan suara kemenangan utuh dari dalam hatinya.

“Sama-sama, Sayang. Nikmati malam ini, ya.”

“Tentu!”

Mereka mulai makan dengan tenang, diselingi dengan konversasi ringan yang melengkapi dinner hangat mereka. Hanya sekitar satu sampai dua minggu saja tidak bertemu sudah membuat mereka menekan rasa rindu yang teramat dalam pada satu sama lain. Itulah yang menjadi alasan lain mengapa momentum seperti sekarang lebih terasa berarti, ketimbang di waktu-waktu sebelumnya.

“Aku ada persentase gim product terbaru besok lusa, maaf kalau mulai saat itu aku jadi agak lebih sibuk.”

“Oh? Begitu. Sepertinya akan bagus. Semangat, ya, persentasenya.”

“Hum, pasti. Kamu bagaimana?”

“Apanya?” Casey menyudahi makannya di suapan terakhir. Mengunyah pelan seraya mulai mendekatkan gelas jusnya untuk menyeruput melalui sedotan minumnya.

“Kuliahmu. Semua aman, selain tugas?”

Casey mengangguk ringan. “Yeah, aku hanya perlu menyelesaikan tugas sesuai deadline, jadi bisa ikut midtest dengan aman pekan depan.”

“Itu bagus. Selesaikan semua dengan teratur, asal jangan kurang istirahat, oke?”

“Siap, Pak Bos!” Casey berpose hormat, membuat keduanya tergelak spontan menertawai tingkah lucu tersebut. Tak lama sampai ponsel si gadis berdering nyaring, itu adalah satu panggilan masuk.

Kak Viona.

Casey memandang lama layar ponsel—setengah syok. Dia baru sadar kalau kelupaan mengirim pesan balasan seperti yang sudah disarankan oleh Ann.

“Kamu tidak mengangkatnya?” tegur Sam, saat melihat Casey hanya melamun. “Siapa?”

“Eh? I-ini ... Kak Viona,” sahut Casey agak tersentak, buru-buru melipat bibir dan menekan icon jawab di sana. “Halo, Kak?”

“Casey, bagaimana? Kau bisa, ‘kan? Pasti harus bisa, kakak mohon! Barusan bos kakak menelpon untuk minta kepastian, katanya kau harus sudah ada di apartement anaknya besok pukul 6, bantu dia menyiapkan sarapan dan bersiap ke sekolah pukul 7. Kau mau, ya? Kakak sudah terlanjur bilang iya. Kakak tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi!”