Pagi itu, suasana kerja di perusahaan Adhi Rajasa Group sedang sangat sibuk. Pasalnya, beberapa calon client perusahaan akan datang untuk menandatangi perjanjian kerja sama baru dengan direktur Adhi Rajasa Group, Kenny Hendrawan. Pria tampan berusia tigapuluh tahun itu memang jenius luar biasa dalam hal pekerjaannya. Berdedikasi tinggi terhadap performa dan visi misi perusahaan Adhi Rajasa Group, perusahaan yang diwariskan kepadanya sejak tujuh tahun lalu.
Direktur Adhi Rajasa Group sebelumnya, Kendra Hendrawan memutuskan untuk pensiun lebih dini dan pulang ke kampung halamannya di kota Denpasar. Bersama dengan istrinya, Meisa Hendrawan, Kendra harus menggantikan ayahnya yang sudah meninggal untuk melaksanakan kewajibannya bermasyarakat di kota yang masih kental akan budaya itu. Sekaligus menjaga nenek Kenny yang tinggal sendirian di kampung halaman mereka.
Kenny menoleh saat pintu ruangannya di ketuk seseorang.
“Masuk!” titahnya sebelum kembali fokus menatap layar laptop di hadapannya. Pintu kayu berukuran lebih besar dari standar pintu biasa itu, perlahan terbuka. Seorang wanita cantik memasuki ruang kerja Kenny. Sebuah map berwarna merah tampak terselip di lengannya.
“Kinna, ada apa?” tanya Kenny setelah melihat siapa yang masuk.
Kinna Larasati, wanita cantik berusia dua puluh enam tahun itu berdiri di hadapan Kenny. Senyum manis terukir di wajah cantiknya. Bukan senyum menggoda yang biasa di sematkan untuk menggoda lawan jenisnya, tetapi senyum profesional seorang karyawan yang memiliki etika dan sopan santun terhadap bosnya.
“Pak, calon clientnya sudah datang. Mereka menunggu di ruang meeting. Sebelum kesana, saya mau minta tanda tangan bapak untuk proposal ini,” ucap Kinna masih belum melepaskan senyuman manis dari bibirnya.
Kenny mengulurkan tangannya, meminta proposal yang disodorkan Kinna. Di bukanya satu persatu lembar proposal itu sebelum menemukan kesalahan kecil pada salah satu lembarannya. Kening Kenny mengerut lalu melemparkan proposal itu ke atas meja di depannya.
“Perbaiki halaman lima belas baris kedua. Aku sudah bilang kita tidak memberikan fee untuk setiap pengantaran. Gimana kerjamu?!” ucapnya dingin.
Kinna mengambil proposal itu lalu membuka halaman yang dimaksud Kenny. Senyuman manisnya sempat menghilang tetapi kembali lagi dengan cepat.
“Pak Kenny, yang bapak katakan tadi itu untuk proposal perusahaannya Pak Dirga yang pertama. Ini untuk perusahaan Pak Dirga yang kedua. Pak Dirga minta untuk perusahaannya yang ini ada fee di setiap pengantarannya karena beliau tidak meminta diskon lagi. Lagipula perusahaannya lebih kecil omsetnya dan juga jangka waktu kerja samanya lebih pendek, pak. Saya juga sudah melakukan nego untuk prosentase fee-nya. Turun dua persen dari standar kita,” sahut Kinna menjabarkan lebih detail isi proposal yang sedang di pegangnya itu.
Kenny mengambil kembali proposal yang disodorkan Kinna. Kali ini membaca ulang sampai selesai. Dia lalu mengambil pulpen mahalnya dan menandatangani proposal itu.
“Lain kali tulis memo di bagian depan. Ini, sudah selesai,” ucap Kenny dingin tanpa senyuman menghiasi wajah tampannya.
“Terima kasih, pak,” ucap Kinna ketika Kenny menyodorkan proposal itu kembali ke tangannya.
Kenny berdiri dari duduknya, menutup kembali pulpen mahalnya lalu menaruhnya di dalam saku jasnya. Pria itu melirik laptopnya yang masih menyala, lalu menekan tombol power dengan cepat. Kewaspadaan sebagai seorang direktur perusahaan besar. Kenny memang selalu mengecek barang-barangnya sebelum meninggalkannya. Dia tahu kalau ada yang bergeser bahkan untuk satu centimeter saja.
“Kinna, pesankan makan siang untukku nanti. Dimana, Boy?” Kenny mengalihkan pandangannya kepada Kinna.
Pria itu berjalan memutari mejanya untuk sampai di depan Kinna. Dia selalu melakukan itu untuk meminta Kinna mengecek penampilannya. Ketika melihat dasi Kenny sedikit miring, Kinna meletakkan map yang dipegangnya ke atas meja lalu membetulkan dasi Kenny. Mata Kenny ikut melirik ke bawah, memastikan dasinya sudah rapi kembali.
“Pak Boy sudah duluan ke ruang meeting, pak. File kerja samanya sudah di bawa juga,” ucap Kinna sambil mengecek penampilan Kenny dari atas sampai ke bawah. Dia menaikkan jemarinya membentuk tanda ok di hadapan Kenny.
Melihat tanda ok dari Kinna, Kenny berlalu dari hadapan wanita itu tanpa mengatakan apa-apa. Begitulah sikap Kenny yang sangat kaku dan juga jutek kepada siapa pun.
Sepeninggal Kenny, Kinna melirik ke atas meja kerja Kenny yang sedikit berantakan. Dia segera mendekati meja itu lalu mulai merapikan satu persatu tumpukan kertas yang berserakan di atas meja. Bosnya yang satu itu selain sangat dingin dan galak, Kenny juga tidak bisa rapi kalau sudah bekerja. Semua dokumen yang datang dalam keadaan rapi, akan keluar dalam keadaan berantakan. Tetapi herannya, Kenny bisa tahu kalau ada barang atau dokumen yang hilang dari mejanya meskipun sangat berantakan.
Setelah merapikan kembali meja kerja Kenny, Kinna melihat sekali lagi keseluruhan ruang kerja Kenny untuk memastikan tidak ada yang berantakan ataupun terjatuh ke bawah meja. Kenny akan mengomel kalau dia kembali dari meeting dan mendapati meja kerjanya dalam keadaan berantakan. Padahal Kenny sendiri yang bekerjanya tidak rapi.
“Nah, beres juga. Habis ini kalo berantakan lagi, ampun dah,” ucap Kinna sambil menggelengkan kepalanya.
Wanita cantik itu segera beranjak keluar dari ruang kerja Kenny setelah mengambil berkas yang diletakkannya tadi di atas meja Kenny. Kinna berjalan keluar untuk kembali ke meja kerjanya. Meja kerja Kenny terletak di sebelah kiri dari pintu ruang kerja Kenny. Dia meletakkan berkas itu di tumpukan dokumen yang akan dikirim ke departemen terkait di lantai bawah.
“Ingat untuk memesan makan siang nanti. Hari ini menunya apa ya.” Kinna bermonolog sambil meraih ponselnya. Dia mengecek menu yang diposting restoran di lantai bawah.
“Ach, ada soto ayam. Sebaiknya pesan itu saja,” gumamnya lalu mengirimkan chat ke nomor ponsel yang tertera di postingan itu. Sebuah balasan singkat membuat Kinna tersenyum puas lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.