PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Household Struggle

Household Struggle

Penulis:frnsscly

Berlangsung

Pengantar
Kata nyaman adalah kehidupan rumah tangga yang ada di benak Daisy Pine sebelum ia dinikahi oleh Gavin Escher, seorang pria dari keluarga kaya raya. Namun nyatanya rumah tangga bukan hanya sekedar menikahi satu sama lain, namun juga menerima kekurangan masing-masing. Harta yang dimiliki keluarga Escher pun tak dapat menjamin kebahagiaan bagi Daisy Pine. Akankah dia bertahan pada rumah tangganya? Disclaimer: cerita ini hanyalah fiktif belaka, mohon maaf bila ada kesamaan nama tokoh,tempat, dll
Buka▼
Bab

"Selamat ulang tahun ya, Daisy keponakan tergemash Aunty! Ngomong-ngomong kapan nih Aunty dikenalin sama calonnya? Masa udah ulang tahun ke 23 belum ada rencana nikah?"

"Hehe doain aja ya Aunty, secepatnya. Maaf aku ke toilet sebentar, makasih ya sekali lagi udah mau datang ke pesta ulang tahunku."

Mengatakan maaf dan pergi menghindari pertanyaan-pertanyaan konyol itu adalah jurus ninja Daisy Pine. Seorang wanita dengan tubuh semampai, rambut coklat gelombang dan manik berwarna kebiruan yang sudah tak lagi remaja yang saat ini tengah berulang tahun. Rasanya sepanjang wanita itu masih hidup, maka selamanya akan ada saja pertanyaan-pertanyaan serupa yang ditanyakan oleh orang-orang terdekatnya atau mungkin kalian juga merasakan hal yang sama?

Kapan lulus? Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan nambah anak? Kapan punya rumah? Kapan, kapan dan kapan?

Aah... Apakah hidup hanya sebatas memuaskan pertanyaan orang. Sebetulnya kita hidup untuk siapa?

***

Menjalin hubungan hampir 8 tahun dengan status berpacaran bukanlah hal yang mudah, terlebih stigma orang sekitar yang menganggap pacaran sehari lalu menikah lebih baik dari pada harus bertahun-tahun yang ujung-ujungnya jagain jodoh orang.

Padahal jika difikir lagi, orang normal mana yang mau berhubungan lama tapi tak menginginkan melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan? Apakah ada orang normal yang bertahan pada seorang pria atau wanita dalam waktu lama tapi tak menginginkan akhir yang bahagia? 

Harusnya mereka yang bertanya tau dan mengerti tentang bagaimana menghargai pilihan orang lain, tentang sampai dimana batasan mereka boleh berkomentar dengan pilihan orang lain.

***

Beberapa tahun kemudian...

Ahh...!

 

"Akhirnya saat ini pun tiba, tak ada lagi yang perlu aku khawatirkan mulai sekarang," gumam Daisy di atas ranjang putihnya yang dihias dengan taburan kelopak bunga mawar khas ranjang pengantin. Masih lengkap dengan gaun putih pernikahannya yang ia kenakan tadi bersanding dengan pria yang mengencaninya selama 8 tahun lebih.

"Kamu sudah duluan kesini rupanya," sapa pria bertubuh tinggi dengan dada bidang yang simetris semakin sempurna dengan manik bewarna kecoklatan sepaket dengan alis tebal yang hampir menyatu di dahinya, berjalan menghampiri Daisy di ranjangnya. Dia adalah Gavin Escher, seorang pengusaha muda terkaya nomor dua di negara ini. Seluruh keluarga Escher adalah pengusaha sukses yang berhasil menancapkan taringnya hampir disegala bidang di negri ini. Sedangkan wanita yang ia nikahi tadi hanyalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan swasta biasa dan berasal dari keluarga sederhana. Sungguh bisa dibayangkan bagaimana hebatnya gunjingan orang-orang membicarakan mereka.

 

"Ah kebiasaan, sudah berapa kali kubilang kalau masuk ketok dulu pintunya!" omel Daisy menatap tajam ke arah pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu. 

"Maafkan aku nyonya Escher, aku sampai lupa bahwa hanya kamu yang mampu dan kuperbolehkan untuk mengomeliku. Bahkan sampai aku mati haha!"

 

"Ah sudahlah Gavin, tolong bantu aku melepaskan pakaian ini. Lega rasanya kita sudah melewati hari yang melelahkan ini, dan mulai hidup dengan tenang tanpa ada pertanyaan-pertanyaan konyol yang terus menyuruh kita untuk segera menikah," keluh Daisy sembari mengisyaratkan pada Gavin agar membantunya membuka seleting belakang gaun pengantinnya.

Pria itu pun menuruti permintaan istrinya dan dengan sigap melepaskan seleting itu, "tak akan ada lagi yang mengganggu fikiranmu sayang. Kau hanya perlu fokus mengurusku dan anak-anak kita kelak."

"Fokus? Apa maksudmu? Apa aku sudah tak boleh bekerja lagi?"

"Untuk apa kau masih bekerja? Apakah uang yang ku hasilkan tak cukup untukmu?" tanya Gavin yang tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi serius.

"Bukan itu maksudku, tapi kamu juga tau sejak remaja aku sudah terbiasa bekerja. Akan sangat membosankan rasanya kalau aku hanya di rumah saja," bantah Daisy seolah membenarkan keinginannya dengan wajah kecewa.

"Sudahlah Daisy, aku lelah seharian berdiri menyambut tamu. Besok kita akan bahas lagi, lebih baik sekarang kau mandi dan istirahat."

Pria itu bergegas keluar kamar meninggalkan Daisy dengan segudang penolakan di kepalanya. Ia sebenarnya tau betul Gavin orang yang seperti apa, pria itu tak bisa dibantah. 8 tahun bersama rasanya sudah lebih dari cukup untuk menebak sifat asli Gavin yang seperti mata pisau memiliki dua sisi.

Pria itu bisa menjadi lembut dan bahkan sangat lembut diantara pria mana pun, atau pun menjadi sangat kejam seakan mampu untuk menyakiti siapa pun sekali pun orang yang ia sayangi. Dia juga sebetulnya bukan tipe pria pengekang atau pun posesif, namun jika titahnya sudah dilontarkan maka tak ada kata 'tidak' sebagai jawabannya. Untuk waktu yang lama, rasanya Daisy mulai kembali frustasi akan keputusan yang dibuat suaminya tersebut. Ia sangat yakin esok hari tak akan ada pembahasan ini lagi, yang pria itu inginkan hanyalah jawaban 'iya' dan menuruti sesuai perintahnya.

"Ah Gavin! Kenapa kamu mulai lagi? Kenapa sifat menyebalkanmu harus muncul di malam pertama pernikahan kita? Ah...!" Daisy terus menggerutu mengutuk suaminya tersebut di bawah shower kamar mandi yang menyala deras membasahi rambutnya. 

Sejurus dengan itu Gavin memilih untuk ke ruang kerjanya, pria itu tau betul cara menghilangkan kekesalannya yaitu hanya dengan bekerja. Alih-alih menghabiskan waktu bersama Daisy, mantan pacar yang kini menjadi istrinya. Pria itu memilih mengambil laptopnya dan mulai berkutat dengan segudang pekerjaan yang menunggunya.

Sekilas teringat lagi acara pesta pernikahannya beberapa jam lalu yang diadakan di hotel mewah milik pamannya tersebut, Daisy tampak begitu cantik dengan gaun putih yang menjuntai. Wajah polos yang biasa dia tunjukkan sehari-hari semakin indah dengan polesan make up tadi malam. Rasanya meskipun bertahun-tahun lamanya berpacaran dengan wanita itu, Gavin tak pernah bosan untuk memandangnya.

"Ah Daisy! Andai saja kamu langsung menurut dan mengiyakan keinginanku, mungkin saat ini kita sudah melewatkan malam pertama kita seperti pasangan normal lainnya. Padahal kau tau kalau aku tak suka dibantah, kenapa masih saja kau mencoba melawanku!" celoteh Gavin yang tak habisnya menggerutu menyayangkan sikap istrinya tersebut.

Pria itu masih bertahan dengan laptop di depannya sembari sesekali menyeruput kopi yang ia buat dari mesin kopi di ruangan kerjanya. Tak ada sama sekali keinginannya untuk kembali menemui Daisy di kamar, pria keras kepala itu memilih menghabiskan waktunya bergadang hingga pagi menjelang.

***

Tok... Tok... Tok...

Daisy mencoba mengetuk dan membuka pintu ruangan kerja Gavin yang ada di seberang kamarnya, berjalan perlahan menghampiri Gavin yang sudah ditebaknya berada disini. Daisy berjalan menghampiri Gavin dan kali ini wanita itu sudah tak lagi mengenakan gaun putihnya, melainkan dress midi selutut warna merah jambunya.

"Gavin istrihatlah, kamu sudah sangat kelelahan. Biar nanti kubuatkan sarapan untukmu," pinta Daisy sembari mengambil laptop yang dipegang oleh Gavin yang memasang wajah datarnya.

"Ayolah Gavin! Kita bukan lagi sepasang kekasih yang baru satu bulan pacaran! Kau tak perlu khawatir, aku akan menurutimu apapun itu!"

Mendengar jawaban itu seketika wajah pria itu pun mendadak berubah sumringah menatap dalam ke manik biru Daisy, "Aku yakin kamu memang yang terbaik sayang," sahut Gavin menarik lembut tangan istrinya tersebut sambil sesekali mengusapnya.