PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Game Of Destiny

Game Of Destiny

Penulis:Queen_Rzy

Berlangsung

Pengantar
Terlahir dan dibesarka dari golongan kelas atas membuat Rexha Saqueena Hexcate tumbuh menjadi gadis egois, sombong, dan arogan. Ia pun menjadi paranoid terhadap golongan yang berbeda kasta dengannya, karena menganggap mereka opportunities. Disamping itu Rexha telah memutuskan untuk menjadi wanita bebas yang tidak terikat hubungan asmara dengan pria manapun. Namun roda kehidupan tidak berputar atas kendali Rexha. Biar bagaimanapun bukan hanya dia yang hidup di Bumi ini. Semua hidup berdampingan dan saling membutuhkan. Akankah Rexha bisa tetap memegang teguh prinsipnya? Bagaimana reaksi Rexha saat bertemu dengan golongan yang berbeda darinya? Lalu, adakah pria yang bisa menggoyahkan keputusan Rexha untuk melajang seumur hidup?
Buka▼
Bab

Jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk menerima apa yang telah digariskan.Semua bisa berubah dan merubah. So, lampaui batas untuk mencapai posisi teratas. ~Rexha Saqueena Hexcate.

Di tengah jalan, di persimpangan Jalan Praya dan Delima, keramaian terlihat semakin bertambah. Banyak warga desa yang ikut bergabung dan berkerumun. Mereka bersiap menyaksikan pertunjukan Reog khas Ponorogo yang akan dimulai beberapa saat lagi. Membuat beberapa jalan lain terkena macet terkena imbasnya.

Disekitarnya, berdiri kios-kios kecil yang menjual berbagai macam makanan, pernak-pernik, pakaian, hingga penjual senjata tajam seperti pisau dan celurit. Beberapa kios tampak ramai dan sesak. Dipenuhi para pengunjung yang hanya ingin melihat atau memang ingin membeli. Pedagang-pedagang yang lain juga tampak berkeliling. Menawarkan dagangannya ke semua orang dengan penuh semangat.

Semua terlihat senang dan antusias. Canda dan tawa hadir di tengah-tengah mereka. Walauun tak jarang masih terdengar suara isakan anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Pertunjukan itu sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Desa Mangunraya. Setelah sekian lama akhirnya pemerintah mengizinkan untuk menggelar pertunjukkan. Tidak ada lagi jarak. Tidak ada lagi ancaman. Semua bebas dan kembali bersama.

Namun seseorang yang berada di dalam mobil Ford Mustang GT mencibir halus saat menyaksikan pemandangan di tengah jalan itu. Diantara yang lain, mobilnya terlihat mencolok diantara kendaraan lain yang terjebak macet. Hal itupun menarik perhatian hampir semua pasang mata. Semua warga desa Mangunraya pasti mengira jika pemilik mobil itu pasti juragan kaya raya yang baru saja pindah dari kota.

"Kau tau apa yang terjadi disana?" Setelah beberapa saat hening, suara bariton khas pria dewasa terdengar sedang bertanya. Pria itu menatap kerumunan dengan penuh keinginan tahuan. Alisnya yang tipis dan bentuk wajahnya yang tegas membuat auranya terlihat memesona. Ialah Samuél Shánkara. Pria keturunan Indonesia Barcelona yang tinggal bersama dengan keluarganya di Jakarta.

Tidak ada sahutan dari lawan bicara Samuél. Ia pun menoleh. Menatap wanita seksi yang duduk di kursi penumpang. Wanita itu duduk menyilangkan kedua kakinya sambil memainkan ponsel. Terlihat angkuh dan tidak peduli dengan keadaan di luar.

Samuél hendak protes, namun terdahului oleh interupsi sang wanita. "Perhatikan saja jalanmu!" Ketusnya singkat tanpa menatap Samuél.

Samuél memutar bola matanya malas. Rexha Saqueena Hexcate. Wanita itu selalu bersikap dingin padanya. Samuél pun kembali menatap jalan. Kemudian menginjak gas saat mobil di depannya mulai bergerak maju. "Eh tapi, aku suka tempat ini," gumam Samuél.

"Cih. Rendah sekali seleramu," tanggap sang wanita. Kepalanya masih menunduk menatap layar ponsel. Entah apa yang sedang ia mainkan. Dari caranya menggerakkan jempol pasti bukan bola merah pantul atau ular warna-warni yang selalu lapar yang ia mainkan.

"Ya setidaknya wajah-wajah bahagia itu nyata. Tidak pura-pura dan tidak berdusta." Samuel memperhatikan puluhan atau bahkan atusan manusia yang berlalu lalang.

Terdengar helaan nafas kasar. "Turunlah!" Suruh sang wanita. Dia menurunkan ponselnya. Wajah cantiknya pun terlihat. Dia menatap Samuél datar. Samuél balik menatapnya melalui kaca spion.

Untuk sesaat ia diam. Terkesima dengan wajah oriental milik Rexha. Kakak tirinya itu selalu membuatnya terpesona. "Ah, yang benar saja. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendiri," kilah Samuél sembari mengalihkan pandangannya dari Rexha.

Rexha kembali mengambil ponsel kemudian memainkannya. Sejujurnya ia sudah mulai merasa gusar. Karena hanya bisa duduk tanpa melakukan apapun. Waktu dua jam setengahnya pun terbuang sia-sia.

Bagi Rexha, sesuatu yang sangat berharga di dunia ini adalah waktu dan kesempatan. Dia selalu memanfaatkan waktu dan kesempatan yang diperolehnya semaksimal mungkin. Rexha akan mengutuk dirinya sendiri jika dua hal itu hilang darinya.

"Kenapa lama sekali sih?" Geram Rexha. Tubuhnya mulai panas. Dia bergerak gelisah sambil membenarkan posisi duduknya. Padahal suhu di dalam mobil itu sudah maksimal.

Tok Tok...

Rexha terkejut saat tiba-tiba seorang anak kecil mengetuk kaca mobilnya yang tertutup rapat. Rexha mengamati anak kecil itu. Bajunya lusuh dan basah karena keringat. Tubuh Rexha pun bergidik merinding. "Hus, pergilah!" Usir Rexha sambil menggerakkan tangannya. Sebagai isyarat untuk menyuruh anak itu pergi.

Namun anak itu tetap berada di tempatnya. Dia mengangkat tangannya yang membawa setumpuk tisu. "Samu, cepat jalankan mobilnya! Aku tidak mau mobilku kotor karena anak ini," ujar Rexha. Dia masih mengisyaratkan untuk anak itu pergi.

Samuél terkekeh. "Beli saja dagangannya! nanti dia juga pergi sendiri," saran Samuél. Rexha membulatkan matanya sempurna. Tidak setuju dengan saran yang diberikan oleh Samuél.

"Apa kau gila?" Teriak Rexha. Sang anak semakin berani. Dia menempelkan keningnya yang berkeringat pada kaca mobil Rexha. Seketika Rexha merasa semakin jijik.

"Iuh, mobilku." Mulai saat itupun Rexha berjanji tidak akan menggunakan mobil itu lagi.

Diluar dugaannya, Samuél membuka kaca depan kemudian mengulurkan lembaran uang seratus ribu pada anak itu. Dengan cepat anak itupun mengambil uang dari tangan Samuél. Senyumnya mengembang sempurna. Samuél menutup kacanya kembali. Kemudian menginjak gasnya dan meninggalkannya. "Terima kasih Tuan," teriak anak itu.

Samuél menatap Rexha yang masih terkejut di belakang. Wanita itu terlihat marah dan tidak terima. "Kau sadar apa dampak dari perbuatan yang baru saja kau lakukan itu?" Sungut Rexha. Matanya membulat penuh amarah.

Samuél mengedikkan bahunya acuh. Rexha semakin tidak terima. Namun dia tidak bisa berbuat banyak. Ia pun memejamkan mata. Mengusir kekesalan dalam hatinya. Diam-diam Samuél tertawa kecil. Dia berhasil membuat Rexha geram siang itu.

Setelah melewati hampir 3 jam perjalanan, akhirnya Rexha dan Samuél tiba di tempat tujuan. Samuél memarkirkan mobil di halaman rumah terbesar yang ada di desa Mangunraya. Walaupun terlihat sedikit kuno dengan gaya bangunan khas Belanda tidak membuat rumah itu dihindari oleh warga desa Mangunraya. Karena persepsi orang terhadap bangunan tua pasti tidak jauh dari kisah mistis yang kerap menghantui. Justru bangunan itu menjadi icon kebanggaan desa Mangunraya karena pemilik rumah yang sangat baik dan rendah hati.

Rexha dan Samuél disambut dua orang, pria dan wanita yang usianya mungkin sudah 3x lebih tua dari Rexha saat ini. "Eyang," sapa Rexha. Dia memeluk kedua Eyang nya dengan penuh kasih sayang.

"Sayang, akhirnya kamu tiba. Gimana perjalanannya?" Tanya Eyang Putri sambil mengamati tubuh cucunya. Memastikan tidak kurang apapun.

Rexha tersenyum. "Sedikit buruk Eyang, Samu membuatku kesal sepanjang perjalanan," adu Rexha sambil menunjuk Samuél. Pria itu berdiri tak jauh di belakang Rexha.

Kedua Eyang Rexha menatap Samuél. "Samu, apa kau tidak ingin memeluk Eyang? Kami juga Eyangmu bukan?" Eyang Kakung membuka tangannya. Mengajak Samuél berpelukan.

Samuél tersenyum. Kemudian berjalan menghampiri Eyangnya. Setelah memeluk Eyang Kakung, Samuél beralih pada Eyang putri. "Maaf, aku telah membuat cucu Eyang kesal," ujar Samuél. Eyang putri tersenyum kemudian mencium dahi Samuél.

"Sudahlah, bukan Rexha jika dia tidak kesal," balas Eyang Putri sambil melirik ke arah Rexha. Yang dilirik pun hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Kemudian mereka pun masuk ke dalam rumah.

"Terakhir kesini dua tahun yang lalu ya?" Tanya Eyang Kakung.

Rexha mengangguk. Dia menatap bangunan tempat menghabiskan masa kecilnya itu. Mata Rexha menyapu dengan detail. Semua masih sama. Dari warna cat tembok hingga penempatan perabotan rumah.

Bahkan boneka beruang kecil milik Rexha masih terpajang di rak kayu yang berada di ruang keluarga. Boneka itu adalah salah satu boneka kesayangan Rexha. Kemanapun Rexha pergi boneka itu akan selalu menemani dan menjaganya. Hingga Rexha beranjak remaja dan meninggalkan teman kecilnya itu.