PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Youre Mine

Youre Mine

Penulis:Samudera Rasa

Berlangsung

Pengantar
Zania Savina Mahatma jatuh cinta pada Ravi Lazy Arsenio yang merupakan pemilik Myne Kafe sekaligus seorang penulis buku terkenal, sejak Ravi menyebut namanya. Saat itulah Zania memutuskan, dia akan melakukan apa saja untuk menjadikan Ravi miliknya seutuhnya. Pikiran, tubuh dan jiwa. Dia akan melakukan apapun selama dia bisa memiliki Ravi, dan Zania tidak akan peduli bagaimana itu terjadi. Dia akan memberikan semua kekayaannya, jika saja Ravi memintanya. Bahkan dia akan menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalannya, dengan cara apapun, termasuk jika Zania harus menghancurkan kehidupan anaknya sendiri. "Jika ada ada alasan untuk mencintai, maka itu berarti cinta berubah ketika alasan itu hilang. Aku mencintaimu tanpa alasan apapun," Ravi menggeleng. "Tidak, cintamu bukanlah cinta. Itu adalah obsesi."
Buka▼
Bab

"Zania, Ayah tidak akan berubah pikiran," tegas John yang telah berdiri di sisi pintu mobil hitam mengkilapnya, setelah dia melihat Zania yang melangkah dengan anggun ke arahnya walaupun ekspresi tidak suka tercetak dengan jelas.

Zania dengan enggan masuk ke mobil, meletakkan tas di pangkuannya dan mengabaikan John yang masih berdiri memegangi pintu mobil untuknya. Dia mengibas rambut ke belakang dengan jemari panjangnya dan mulai memasang sabuk pengaman.

John menghela napas berat, dia memijat pangkal hidung kemudian melangkah ke dalam mobil untuk duduk di belakang kemudi. Dia terkadang tidak tahu apa yang dipikirkan Zania saat ini, John seharusnya yang marah. Marah pada Zania yang telah melakukan perbuatan di luar batas. Bagaimana tidak? Kemarin, John sendiri memergoki Zania setengah telanjang di kamar bersama seorang pria. Dia tentu saja marah dan langsung memukuli pria itu dengan tangannya sendiri. Keluarga Mahatma, tidak bersikap murahan dengan tidur sebelum menikah. John selalu berbicara tentang hal itu pada putrinya.

"Jangan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa." John melirik Zania singkat dan kembali fokus mengemudi, melaju di jalan raya yang lengang.

"Memangnya Aku salah apa? Aku belum melakukan apapun," kata Zania menatap John tidak suka lalu dia mengalihkan pandangannya ke samping mengamati pesepeda melaju di jalurnya. Dia merasa kesal tatkala John kembali mengungkit kejadian yang telah berlalu, tangannya menyilang di depan dada dengan sikap ketidakpedulian.

John menghembuskan napas, dia mencengkram roda kemudi lebih kuat dari sebelumnya dan memutar kemudi dengan tenaga berlebihan hanya untuk berbelok ke sebuah tikungan. "Kamu dapat melakukan hal itu setelah menikah. Kamu bisa mencari seorang pria baik-baik dan Ayah akan mendukung Zania apapun pilihannya."

Zania tidak bisa menahan diri untuk memutar mata bosan ketika kalimat itu kembali digaungkan oleh John. Lalu dia menanggapi perkataan John. "Aku masih dua puluh satu tahun, Ayah."

"Benar, kamu masih dua puluh satu tahun. Tidak seharusnya kamu melakukan hal itu," tandas John cepat.

Zania mengabaikan perkataan John ketika ponsel yang berada di genggaman tangannya bergetar. Dengan cepat dia membuka hanya untuk membuatnya berdecak tak senang dengan menerima sebuah pesan. Amarahnya muncul dengan cepat, dia menurunkan kaca mobil dengan kemarahan menggebu kemudian melemparkan ponsel keluaran terbaru itu ke luar jendela dan menaikkan kembali kaca hingga tertutup sempurna. Tidak peduli dia akan di denda karena membuang sampah sembarangan, yang pasti sekarang Zania sangat kesal.

"Ada apalagi sekarang?" tanya John setelah dia melihat aksi kecil dari Zania itu.

Zania tidak menjawab dia hanya mendengus dan mengibaskan rambut bergelombangnya ke belakang, bibir penuhnya membentuk garis lurus disertai rona kemerahan menyebar di pipinya.

John meringis melihat bagaimana tingkah Zania yang sangat persis dengan mendiang istrinya, John hanya takut kemarahan Zania yang seperti ini malah akan menghancurkan dirinya pada masa yang akan datang. Semoga saja dia menjadi lebih baik, doa John dalam hati.

"Pria berengsek itu memutuskan, Zania?" tebak John dengan yakin. Dia mungkin akan menyesali pemilihan kata yang dia ucapkan barusan jika itu sepuluh tahun yang lalu, di mana Zania masih naif dan berperilaku sangat baik. Namun nyatanya semua sudah berubah.

Zania kembali tidak menjawab dia hanya memandang lurus, sedikit kesal John dapat menebak dirinya dengan baik. Dia mengamati mobil-mobil bergerak cepat di jalan raya, dia sangat benci untuk tinggal di kota ini, jika itu harus bersama ayahnya.

Pacar-pacarnya selalu mundur teratur saat mereka tahu tentang John, bahkan sebelum Zania sempat tidur dengan mereka dan dia membenci bagaimana teman-temannya mengejek tentang dirinya yang belum tersentuh di sana. Jelas John sangat mengerti bagaimana kebiasaan orang-orang di sini bertentangan dengan di mana John dilahirkan. Tetapi Zania lahir dan dibesarkan di sini, bagaimana bisa ayahnya melupakan tentang itu.

Zania cemberut sepanjang jalan, tidak menyetujui ide di mana John membawa dirinya ke kafe membosankan yang selalu disebut-sebut olehnya. "Ayah tidakkah kita makan dan minum kopi di rumah saja di banding harus ke sana?"

John menoleh untuk menatap Zania, dia pada akhirnya tersenyum tipis dan kembali memfokuskan pada jalan raya. "Ayah sudah lama tidak ke sana."

Zania menahan diri untuk tidak memutar matanya. Tangannya mengibas debu imajiner pada celana jinsnya. "Tentu saja untuk bertemu barista-barista cantik?"

John terkekeh mobilnya melambat ketika sudah memasuki tempat tujuan. "Ayah sudah tidak muda lagi untuk hal-hal seperti itu."

"Ayah masih empat puluhan dan Ayah tidak ingin menikah lagi?" tanya Zania retoris, bukan berarti dia ingin John menikah lagi dan memiliki ibu baru. Mata Zania menjelajah bosan pada tempat di mana mobil John sekarang melambat dan berhenti dengan halus.

"Sebelum tempat itu menjadi kafe seperti sekarang, itu adalah sebuah teater di mana Ayah dan ibumu bertemu untuk pertama kalinya," kata John tampak merenung dengan bibir yang tersenyum samar. Dia membuka sabuk pengamannya dan menoleh pada Zania yang melamun menatap asal keluar jendela kaca.

John tidak pernah menceritakan hal-hal seperti ini pada Zania. Bukan karena John tidak mencintai mendiang istrinya hanya saja dia tidak ingin Zania tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan ibunya. Namun kali ini dia hanya ingin memberitahu. Hanya itu.

Tanpa diminta Zania turun dari mobil, menunggu John keluar sambil matanya berkeliling mencari kafe yang John maksud. Zania menyampirkan poni panjangnya ke belakang telinga dan cemberut melihat John telah berdiri di sisinya.

"Kita hanya perlu berjalan sedikit," katanya. John memimpin jalan, tangannya dia jejalkan di saku. John memperhatikan bangunan-bangunan yang mereka lewati dan sadar tidak ada yang berubah sejak beberapa bulan dia kemari. Aroma lembut roti dari toko yang baru saja mereka lewati membuat John tersenyum tipis dan merasakan nostalgia kembali menyelimutinya.

"Apakah kita akan berjalan sampai sore?" sindir Zania, untungnya dia tidak memakai sepatu tinggi yang malah akan merepotkan dirinya sendiri.

John terkekeh dan merangkul punggung putrinya untuk berbelok ke sebuah pintu kaca transparan dari kafe bertuliskan open yang tergantung di depan pintu. "Nah, ini bahkan belum siang. Kita sudah sampai."

Mereka masuk di sambut dengan suara bel kecil berdenting di atas pintu saat John membukanya. Aroma di dalam kafe yang khas membuat dia merindukan tempat ini, dan beberapa makanan yang dibuat persis seperti rasa masakan istrinya hingga John tidak ragu untuk datang kemari terus-menerus.

Zania dan John mengambil tempat duduk tepat di sebelah kaca besar memberikan pemandangan ke jalan, dia mengamati seperti apa penampakan kafe yang sering John datangi ini. Tempat ini sebenarnya tidak seluas yang Zania bayangkan, tetapi dengan nuansa alam yang segar di tengah kota, Zania setidaknya merasa sedikit nyaman. Beberapa meja telah terisi oleh orang-orang yang sibuk dengan laptopnya.

"Mr. Mahatma? Apa kabar?" Sebuah suara bariton asing masuk ke pendengaran Zania. Zania biasa tidak pernah suka dengan orang berbicara dengan aksen seperti itu. Namun kali ini berbeda, suaranya membawa getar pada tubuh Zania.

Dia menoleh untuk mendapati seorang pria tinggi memakai apron berwarna cokelat, pandangan Zania naik dan seketika dia menarik napas bagaimana bisa orang seperti pria ini bekerja sebagai pelayan di kafe. Maksud Zania, dia bisa saja menjadi seorang model. Dia terlihat lebih tua beberapa tahun dari dirinya. Tatapan Zania beralih ke John yang menyenggol pelan kakinya.

"Panggil John saja sudah kubilang, Ravi. Sudah lama Aku tidak kemari, kabarku baik." John melihat ke arah Ravi yang tersenyum tampak tidak banyak berubah, dia melirik Zania yang tadi membuat John harus menegurnya karena memandang Ravi dengan pandangan hampir tidak sopan. Dia mau tidak mau sedikit merasa cemas.

"Apa kabar juga Zania, kan?" Ravi sedikit membungkuk dan melirik pada Zania dengan bingung, kemudian memberikan kode tanya pada John.

"Benar, dia Zania, putriku." John menoleh pada Zania. "Zania ini Ravi, pemilik kafe ini."

"Ah iya, Nona Zania Ayah Anda sering membicarakan tentangmu. Setiap kali datang kemari. Salam kenal kalau begitu," terang Ravi tersenyum ramah padanya hingga Zania merasakan pipinya menjadi panas.

"Salam kenal, juga." Zania berharap nadanya tidak terdengar salah. "Kamu dari-."

"Maaf dengan aksenku, Aku sering kelepasan. Aku sebelumnya bukan orang sini tetapi sekarang menetap di sini," potong Ravi mengusap lehernya tampak bersalah, tetapi Zania tetap merasa penasaran.

"Ibunya berasal dari tempat yang sama seperti ayah," sela John berharap Zania tidak berkata buruk pada Ravi.

Ravi tersenyum lesung pipi di sebelah kanannya terlihat. "Jadi, ingin memesan apa?"

"Hanya kopi hitam dan sandwich," pesan Zania, dia tahu John pasti akan sangat heran. Dia sebenarnya tidak suka kopi hitam, tetapi karena ini Ravi maka dia harus melakukannya dan Zania berpikir dia tidak terlalu membutuhkan gula yang terbungkus kertas di atas meja itu.

"Aku tidak mengira kamu suka kopi hitam." Persis seperti tanggapan yang Zania inginkan.

"Ayah juga tidak," Zania melirik John yang sedang menyipit mengawasinya.

John menyebutkan apa yang dia pesan, sementara Zania mengamati bagaimana jemari Ravi menari-nari menulis pesanan di bukunya.

Zania merasa mual dengan matanya yang melebar, ketika dia melihat cincin yang melingkar di jari Ravi.

Sial.