PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Senandung Rindu

Senandung Rindu

Penulis:Hakimah205

Berlangsung

Pengantar
Rindu Nurfahmi adalah seorang Sarjana Kedokteran Hewan yang maju mundur untuk mengapai gelar dokter pasca kematian sang ayah. Ia terjebak situasi sulit dengan sang pengusaha bertangan dingin, pemilik Makmur Utama Group, si flamboyan, dan bapak dari dua anak. Rindu terlibat sampai berdarah-darah pada perseteruan Hendrawan Prasojo dengan mantan istrinya yang berebut pengaruh perusahaan keluarga yang terlanjur marger. Namun, seperti hukum alam, luka akan berjumpa obatnya. Setiap kesedihan itu akhirnya bermuara pada bahagia.
Buka▼
Bab

Dua tahun sebelum keadaan kocar-kacir ....

Sinar matahari membias ruangan melalu celah gorden yang tersingkap. Bayang temaram terpantul di ranjang dan selimut dengan corak serupa kulit harimau perpaduan coklat dan totol hitam. Sunyi, sepi, tidak ada suara apa pun di dalam kamar. Bahkan deru AC saja tidak terdengar.

Kedua pasang mata bening itu menatap perempuan yang tergolek di atas ranjang. Kedua makhluk mungil itu duduk sambil menyilangkan kaki dan menopang dagu. Persis cara duduk yang sering diperagakan ayah mereka ketika meminta sebuah penjelasan tentang kenakalan  dan keributan di sekolah. Satu tangan terentang di pinggiran sofa, satu lagi merangkul boneka panda seukuran tubuh balita. Ayah mereka telah terbangun dari sejam lalu, kemudian mandi dan berpakaian lengkap, dengan mendaratkan ciuman ala kadarnya bergegas pergi yang konon mengejar penerbangan pagi. Namun, perempuan muda itu belum juga terbangun.

Sempat terpikir oleh keduanya kalau perempuan itu pingsan, tetapi mendengar dengkur halus dari mulutnya, membuat kedua yakin jika tubuh yang tergolek di atas ranjang itu hanya tertidur.

“Menurutmu, dia benar-benar masih hidup?” tanya bocah yang menenteng boneka panda dengan satu tangan. Gadis yang terlihat lebih besar badannya, berwajah tirus dengan sorot mata sedikit redup.

“Ayah tidak mungkin salah. Lagi pula, Om Dokter sudah memeriksanya,” ujar bocah yang berbadan lebih kecil mencoba berargumen.

“Kata Ayah, Kakak itu mungkin juga seorang dokter. Ada stetoskop dari dalam tasnya.” Bocah yang punya postur lebih tinggi kembali menimpali.

Gadis yang lebih kecil dengan piyama bergambar kucing itu berjingkat mendekati gundukan selimut yang terlihat bergerak. Benar saja, selimut itu terjatuh akibat ditendang dengan sangat kasar. Kasar seperti sepakan kuda.

“Stttt ...!” Gadis kecil yang menenteng panda memberi tanda agar sang adik tidak meneruskan langkah menuju ranjang tempat perempuan itu tergeletak.

Mereka berdua masih tak habis pikir, saat terbangun dan mendapati sesosok tubuh perempuan tergolek di kamar sang ayah. Perempuan yang bukan ibu mereka.

Kedua gadis kecil itu mengerjap, saat perempuan di atas ranjang kembali bergerak, menguap sesaat dan membuka mata. Mereka menunggu dengan sabar, seperti pesan ayahnya sebelum pergi. “Jaga Kakak dengan baik, ya.”

"Aduh, tubuhku sakit semua. Di mana ini?"

Rindu merenggangkan tubuh dan duduk. Ia menatap sekeliling kamar yang dengan kebingungan. Keremangan, sunyi, damai dan harum yang membuatnya terbuai. Jelas ini bukan kamar kosnya. Kamar miliknya  lebih mirip penitipan hewan dari pada tempat rehat. Ia mengerjap saat terdengar tepukan, kemudian lampu mendadak terang benderang. Matanya yang masih berkabut otomatis kembali terpejam, ketika mencelik, irisnya bertubrukan  dengan pandangan dua sosok bocah perempuan berumur tidak lebih dari sembilan tahun yang duduk di atas sofa.

“Haii!” sapa Rindu sedikit gelagapan, sekaligus menahan ringisan. Seluruh badannya sakit, terutama kaki kanannya. Ngilu.

“Hai, Kakak.” Kedua gadis kecil itu memggoyang tangan, lalu berdiri, melangkah mendekati ranjang.

“Stop! Sebentar, girls!” cegah Rindu mengangkat tangannya ke atas. Ia melirik penampilan dirinya yang berbalut daster. Daster bukan baju favoritnya, meskipun menjadi baju ternyaman sejuta umat terutama bagi kaum hawa di atas dua puluh satu tahun.  Ini, jelas bukan baju yang ia kenakan kemarin. Ke mana kaos, kemeja dan celana jeans belelnya, juga onderdil dalamannya? “Siapa yang melepas bajuku? Kamu?”

Kedua gadis kecil itu kompak menggeleng. “Mbok Nahhh ....!” Suara keduanya nyaring seperti bunyi ketel air penanda air masak.

Seorang perempuan paruh baya dengan kerudung miring tergopoh-gopoh masuk kamar. “Ada apa, Non?”

“Tuh!” tunjuk si gadis yang menenteng boneka panda. “Kakak cantik sudah bangun.”

Perempuan paruh baya yang dipanggil sebagai, Mbok Nah itu langsung memutar kepalanya, menoleh pada sosok yang berusaha bangun dari tempat tidur.

“Mbak, sudah baikan?” tanya perempuan paruh baya itu dengan posisi sedikit membungkuk. “Saya, Mbok Nah asisten rumah tangga Pak Prasojo.”

“Siapa Pak Prasojo?” Rindu mengernyit heran. Masih belum terkumpul segenap ingatannya, kenapa sampai terdampar di kamar yang sangat maskulin ini. Yah, selimut dan ranjang bermotif harimau. Ia meraba rambutnya yang megar seperti singa. "Mr.Panthera tigris."

“Motornya Mbak, sepertinya mati lampu belakangnya. Jadi, Bapak tidak sengaja menabrak, Mbak.”

“Tidak sengaja?” Rindu berusaha mengingat-ingat. Kenapa ia lupa? Jangan-jangan dirinya amnesia? Gawat! “Dari mana si Bapak, siapa itu namanya, tahu kalau itu nggak sengaja?”

“Kata Papa, jangan diajak ngobrol, Mbok Nah. Tapi, dikasih makan.” Kedua gadis kecil itu menyela. “Mungkin ia lapar jadi nggak ingat apapun.”

“Sebentar! Saya akan berpikir sebentar.” Rindu menggeleng lemah.

Sunyi.

Seorang pelayan lain masuk. Dia membawa nampan yang berisi satu teko teh panas. “Teh hangat, sesuai pesanan Bapak kalau, si Mbak sudah bangun.” Pelayan itu undur diri setelah meletakkan nampan di nakas.

Rindu mencium wangi teh melati bercampur daun teh. Ada teko, cangkir dan dua lagi porselin kecil dengan penutup.

“Mbak mau minum teh dengan madu atau gula batu?” tanya Mbok Nah merapat ke nakas.

"Sebentar, Mbok. Saya sepertinya sudah ingat."

Rindu ingat. Ia disenggol motor yang menyelinap di antara motornya dan sebuah mobil ford ranger. Ia jatuh kemudian ditolong Mr.Panthera tigris. Mata pria itu setajsm harimau Jawa yang hampir punah.

Pras langsung menghentikan mobilnya ketika melihat motor yang baru saja ia salip oleng dan jatuh di jalanan yang mulai sepi tersebut. Meskipun terkadang ia dihantui was-was, dengan begitu banyak kejahatan  yang berawal dari sebuah jebakan. Pura-pura jatuh, lalu kawanan yang mengintip maju merampas apa saja yang dimiliki penguna jalan. Namun, Pras yakin pada apa yang diindra matanya tadi. Sosok itu benar jatuh.

"Kamu nggak, papa?"

"Sakit. Argh ...."

Suara seorang perempuan, batin Pras. "Saya singkirkan dulu motor kamu, ya."

Mencoba memahami tentang apa yang perempuan itu lakukan di jalanan yang sepi selepas Magrib. Meski menyandang sabuk  hitam karate, bukan bermakna ia harus jumawa.  Rasa tak percaya dan was-was kembali terbersit di hati Pras.

"Terima kasih, ya, Pak."

"Sttt! Jangan berdiri dulu. Saya cek. Takut ada fracture." Pras menggigit ponsel dengan posisi lampu menyala sehingga dapat mengesan luka perempuan yang jatuh itu. Kesan pertama; korban jatuh ini cantik. Seorang gadis muda. "Sorry, ya, saya harus raba kaki kamu. Nggak papa ya?"

"Nggak pa pa." Rindu menjawab sambul menggigit ujung krah jaketnya. "Ya Allah!" jeritnya tertahan.

"Sepertinya nggak ada yang patah. Paling keseleo. Luka terbuka ada di lutut dan punggung kaki. Syukurlah ...."

Diam. Tak ada sahutan sama sekali.

"Hai!" Pras mengoyang bahu gadis itu lembut, tak ada respon berarti. Pria itu menunduk memeriksa nadi yang ternyata cukup stabil. Ia sedikit gugup, meski menemukan detak jantung yang berirama nyata. Yang ia lakukan adalah menelpon Ilham. Si dokter tulang.

Dengan sekali ayun, tubuh Rindu melayang di gendong sang penolongnya.  Kini, Pras fokus pada panggilan pada anak buahnya. "Kamu aman. Kata sahabatku yang dokter, hanya shock. Saya hubungi orang dahulu buat ambil motor kamu." Meski tak mendapat jawaban, Pras tetap bergumam memecah suasana yang benar-benar sepi.

Tak sampai lima belas menit dua orang pria dengan seragam seperti petugas pom bensin mendekati mobil Pras, memaklumkan kedatangannya. Mereka adalah pekerja proyek jalan tol yang sedang melakukan lembur.

"Kamu periksa motornya, masih layak jalan nggak. Kalau oke, bawa ke tempat saya."

"Siyap!" Satu orang menjulurkan leher mengamati sosok yang berada di jok depan mobil Pras. "Cakep, Bos. Pastikan bukan Nyi Kunti, ya!"

"Nyi Kunti, gundulmu!"

Ketiganya menghamburkan tawa, lantas menyalakan mesin kendaraan masing-masing dan meninggalkan kawasan sepi tersebut.

"Di mana ini?"

"Mobil saya."

Rindu refleks menoleh. "Motor saya.

"Aman! Orang saya yang bawa."

"Ehm, terima kasih."

Keduanya sama-sama terdiam. Pria itu sibuk dengan ponsel dan kemudi.  Pembicaraannya pun berganti-ganti, kebanyakannya membicarakan soal bisnis yang tidak sepenuhnya Rindu pahami. Gadis itu  lebih dahulu berdeham meminta air pada penolongnya.

Pria dewasa yang, tampan. Ck! Rindu mengumpat, rasa lemas membuatnya dihantui halusinasi. Sekali lagi ia melirik pria di sampingnya. Rahang tegas, dagu kebiruan seperti bekas bercukur, hidung bangir, dan matanya, ah, Rindu enggan menatap sorot tajam itu.

"Kamu ngapain di jalanan sepi gini? Bahaya, lho, cewek nglayap sendiri. Minimal ajak kawan. Berjamaah lebih baik," tanya Pras.

"Iya, Pak. Anu, tugas kampus. Saya lagi KKN ini."

Pras menoleh cepat, dengan ponsel masih di tangannya. "Muka kamu kok kayak nggak asing, ya?"

Rindu langsung meraba dahi, pipi, lalu bibirnya. "Muka saya pasaran, ya, Pak."

"Nggak lah. Kalau jumpa oramg cantik, saya suka confuse," seloroh Pras mencoba melucu. "Nama kamu, siapa?"

"Rindu."

Rindu. Rindu. Rindu yang itu. Pras tersentak. Pantas saja ia begitu familier dengan raut wajah cantik di sampingnya. 

"Papa kalian ke mana?" Dengan masih menahan ringisan, Rindu turun dari tempat tidur. "Baju saya?"

"Papa kerja." Kedua bocah itu menjawab kompak.

"Bajunya, Mbak masih dijemuran. Begitu kami lepas, lsngsung masuk londry."

"Maaf, Mbok. Saya lagi dapat. Gimana ini. Makanya tadi malam saya pingsan. Anemia.  Terus selepas di pijat, Pak ...?"

"Pak Prasojo."

Rindu berjalan tertatih menghampiri ranselnya. Semua masih utuh. Jelas saja, rumah yang menampungnya saat ini layaknya istana. Ia mengoyak selembar kertas lalu menulis sebuah pesan singkat juga nomor teleponnya.

"Mbok, saya perlu baju kemarin. Saya ada janji dengan pak dosen kalau nggak, habis saya bisa ngulang tahun depan. Jadi, terima kasih buat, Pak .... itu." Rindu memutar badan, "Dek, sampain ke Papa kalian, makasih!"

Rindu menangkupkan tangannya memohon maaf. Ia pasti membalas kebaikan Pak Prasojo itu. Bapak tampan dengan dua bocah lucu dan cantik. Rindu memukul kepalanya. Gila, dalam situasi darurat bisa-bisanya dia memikirkan sang penolong gantengnya.

Ingat, Rindu, kalau kamu tidak menampakkan batang hidungmu di hadapan Mr. Aligatore dengan segera, bermakna, out!

Habis dielus-elus Mr.Panthera tigris, kini harus menghadap Aligatore. Apa alasan yang akan Rindu kemukakan.