PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Susah Payah Mengejar Dyah

Susah Payah Mengejar Dyah

Penulis:Nove

Berlangsung

Pengantar
Bramasta Adiguna, pria 37 tahun yang masih betah dengan status duda beranak dua. Selain sosok pria yang dipuja oleh wanita. Bram juga seorang CEO sukses yang memiliki perusahaan di bidang garmen. Setelah bercerai dengan istrinya, Elsa Senora, Bram benar-benar menutup hati untuk mencintai seorang wanita. Semua itu tak lepas dari rasa cintanya yang diam-diam masih tersimpan untuk Elsa. Tapi semua berubah, saat seorang gadis bernama Dyah datang menawarkan diri sebagai asisten pengganti. Berawal untuk menggantikan kontrak kerja yang belum selesai, justru Dyah mendapat petaka di sini. Tapi tanpa sadar Bram sudah berbuat kesalahan fatal hingga harus menikahi Dyah dengan terpaksa. Akankah Bram benar-benar mencintai Dyah seutuhnya? Atau tetap mengagungkan nama Elsa meski tak lagi menjadi istrinya?
Buka▼
Bab

Bramasta Adiguna, pria 37 tahun yang masih betah dengan status duda beranak dua. Sesekali tersenyum menatap kedua buah hatinya. Ia masih duduk pada sebuah sofa berwarna ungu. Tampak sibuk dengan menghadap sebuah laptop, dan tengah merampungkan beberapa pekerjaan kantor. Bram nama panggilannya, pria gagah dengan garis wajah yang tegas. Jambang rambut halus mengisi hampir seluruh dagu. Tubuh atletis, dada bidang, kulit yang bersih dan nyaris sempurna.Tak heran jika hampir semua wanita, selalu menyebutnya dengan duren. Atau duda keren. Bram juga seorang CEO sukses yang memiliki perusahaan dibidang garmen. Ya, memang begitulah kenyataanya.

Bukan Bram jika ia tak terlihat rapi dan bersih, perfect dan punya personal identity tersendiri. Meskipun sekarang ini ia tak muda. Bahkan banyak yang mengira jika lelaki ini masih single. Karena seringnya tampil sendiri, tanpa seorang wanita yang menemaninya. Hulya

3th

si anak perempuan dan Haikal

5th

si anak laki-laki masih tampak asik bermain di dekatnya. Mereka sama sekali tak peduli jika saat ini Bram belum juga mengalihkan perhatiannya.

Sudah tertulis di atas, jika Bram seorang single parent. Kedua anaknya ini, tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang ibu. Perceraian lah yang memaksanya berada pada keadaan seperti ini. Bram terpaksa mengiyakan permintaan istrinya, Elsa Senora. Namun keadaan itu tak lantas membuatnya ingin segera mencari pengganti. Apalagi menggantikan kedudukan Elsa sebagai ibu dari kedua anaknya.

“Yaya, Haikal ayo kita tidur. Papa sudah ngantuk!”

Seketika keduanya berhenti dan terdiam. “Apa Haikal boleh tidur dengan bik Siti pa?” Tanya Haikal memohon.

“Yaya juga pa!” Tambah si bungsu tak mau kalah.

“Kalau semua tidur dengan bik Siti, papa tidur dengan siapa?”

Bram menampakkan wajah sedihnya, dan berjalan mendekat pada kedua anaknya.

“Tapi besok bik Siti sudah pergi kan? Abang pasti kangen.” Haikal

kembali merajuk. Wajahnya tertunduk saat Bram seolah melarangnya untuk tidur

bersama bik Siti.

“Ya sudah, abang boleh tidur dengan bik Siti. Terus Yaya, juga ingin tidur dengan bik Siti juga?” Gadis cilik itu hanya menggelengkan kepala, dan tersenyum kemudian memeluk Bram.

“ Yaya tidur sama papa!” Ucapnya singkat.

“Siap princess!”

“ Yei, yei, tidur sama Papah!” Teriaknya kegirangan.

Gadis kecil itu pun bersorak, dan segera menghamburkan tubuhnya di punggung sang Ayah. Sementara Haikal, ia sudah nyelonong pergi menuju kamar bik Siti. Mencari sang pengasuh untuk tidur bersamanya. Sudah menjadi kebiasaan Bram untuk mengajak Hulya dan Haikal tidur satu ranjang bersamanya. Ia tak ingin kehilangan momen bersama mereka. Contohnya, seperti ini. Setidaknya bercanda dengan kedua anaknya sudah bisa membunuh ribuan lelah yang tercipta seharian. Lima belas menit telah berlalu, Bram meninggalkan Hulya yang sudah terlelap di dekatnya. Dan segera berjalan menuju ke kamar bik Siti untuk memastikan Haikal yang sudah tertidur di kamar bik Siti.

“Haikal sudah tidur bik?”

“Sudah tuan, barusan,” jawab wanita itu.

“Besok bik Siti berangkat jam berapa? Biar saya yang mengantar bik Siti ke stasiun ya.” Tanya pria gagah ini.

Bram masih duduk ditepi ranjang, mengusap lembut pipi sang putra yang baru saja terlelap.

“Tidak perlu tuan, ada si Dadang. Saya bisa minta tolong Dadang untuk mengantar saya,” sela bik Siti sambil merapikan beberapa pakaiannya. Memasukkan semua benda yang dimiliki itu ke dalam sebuah koper besar.

“Tidak apa-apa bik, justru saya yang repot kalau Hulya dan Haikal tidak tahu jika bik Siti sudah pulang ke kampung.”

Mereka tampak tersenyum. Keduanya sudah sangat hafal dengan tabiat anak kecil itu. Apalagi Haikal yang lebih mudah sedih daripada Hulya. Lagipula keduanya terlampau dekat dengan wanita ini. Jadi Bram tidak mungkin akan menciptakan sebuah drama tentang kepulangan bik Siti atau sengaja membohongi keduanya.

“Hmm… sebenarnya saya tidak tega tuan meninggalkan mereka. Apalagi saya sudah momong mereka sejak bayi, dan sudah saya anggap seperti cucu

saya sendiri.” Cerita wanita 60 tahun itu. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat bagaiman bik Siti dengan tulus merawat keduanya.

“Wes lah bik, memang sudah waktunya bik Siti istirahat. Bukan bekerja dan merantau terus sejauh ini. Sudah saatnya bik Siti mengurus cucu di kampung. Bukan hanya Haikal dan Yaya saja kan!”

“Iya tuan saya mengerti. Saya juga sudah meminta keponakan saya untuk menggantikan bibi di sini. Semoga bisa membantu tuan mengurus anak-anak. Sampai tuan Bram dapat asisten rumah tangga lagi nanti”. Bik Siti tampak mengusap butiran air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.

“Iya bik, siapa nama keponakan bik Siti?”

“Dyah tuan, panggil saja Dyah,” jelas bik Siti lagi. Obrolan kedua nya pun berakhir. Bram dengan segera beranjak dari kamar bik Siti dan menggendong tubuh gemuk Haikal yang terlelap. Sebenarnya Bram sangat kehilangan sosok bik Siti ini. Tapi Apa boleh buat, Bram juga tak tega jika melihat kesehatan bik Siti yang semakin menurun. Seiring dengan bertambahnya usia. Biar bagaiman pun bik Siti sudah sangat berjasa padanya. Karena kedua tangannya lah Bram bisa melihat kedua anaknya tumbuh sehat. Sadar atau tidak, bik Siti juga sudah ikut menyembuhkan luka psikologis mereka. Yang sudah ditelantarkan oleh ibunya sendiri.

“Bik, hati-hati ya!” Bram menyaksikan wanita paruh baya ini perlahan meneteskan air matanya. Itu lumrah, karena bik Siti bukan lagi orang asing bagi Bram dan keluarganya. Apalagi bagi Haikal dan Hulya.

“Iya tuan,” jawabnya sambil terisak.

“Haikal, ayo salim sama bik Siti,” titah Bram.

Bram menoleh pada Haikal yang sejak tadi bergelendot di kakinya. Sejak tadi Haikal menyembunyikan wajah sedih dibalik kaki ayahnya. Jelas saja karena apa. Anak kecil ini harus merelakan salah satu orang yang disayanginya pergi. Haikal menghamburkan tubuhnya ke pelukan bik Siti. Sesekali ia ikut meneteskan airmata, sambil memeluk erat tubuh wanita tua ini. Sementara Bram hanya tersenyum menyaksikan keharuan yang tampak di hadapannya.

“Jangan nakal ya le, nurut sama papa. Besok ada yang menggantikan bibi kok. Namanya mbak Dyah.” Bik Siti mengusap lembut kepala bocah lelaki ini. Keduanya sama-sama begitu berat untuk berpisah.

“Bik Siti jangan pergi, Haikal… hiks, hiks.” Haikal masih terisak. Perlahan bik Siti melepaskan pelukan Haikal. Anak kecil ini pun semakin tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia kembali memeluk kaki sang ayah, yang masih berdiri dengan menggendong adiknya. Sejak tadi Hulya tertidur dalam gendongan Bram.

Selesai berpamitan, Bram mengajak putranya meninggalkan stasiun. Sesekali ia berhenti menoleh ke belakang, menyaksikan orang yang selama ini mengasuh kedua anaknya. Haikal pun demikian hiruk pikuk stasiun yang dipenuhi oleh ramainya penumpang. Membuatnya jarak pandangnya semakin jauh dari sosok yang ingin disaksikan. Bram cukup mengerti dengan kesedihan Haikal. Dan berusaha mengalihkan kesedihan Haikal.

Tapi tak mudah membuat Haikal kembali tersenyum, butuh usaha yang luar biasa hingga Bram harus mengorbankan jam kerjanya. Sambil menunggu pengganti bik Siti yang akan segera datang. Untuk sementara ia kembali sibuk merawat mereka sendiri. Hulya dan Haikal sudah dimandikan, kini Bram tengah membuatkan makan malam untuk kedua bocah kecilnya itu. Semangkuk besar spageti, makanan favorit Haikal dan Hulya sudah siap di meja. Lagi pula Bram tak handal dalam urusan memasak, hanya menu ini saja yang bisa dibuatnya malam ini.

“Tuan!”. Pak Mamat muncul tiba-tiba. Lelaki sparuh baya yang bertugas menjaga rumah Bram. Dan sudah bertahun-tahun mengabdikan dirinya pada keluarga Adiguna.

“Ya, ada pak Mamat.”

“Ada tamu tuan, Dyah keponakan bik Siti!”

“ Iya, saya segera ke depan!” Bram seketika beralih, pergi meninggalkan Haikal dan Hulya yang masih sibuk dengan makan malam mereka. Sementara Pak Mamat berjalan terus mengikutinya. Bram yang hendak menemui pengganti bik Siti.

Seorang gadis muda berusia dua puluh tahun, tampak duduk dan tertunduk di sebuah sofa

yang luas dengan warna coklat. Rambut panjangnya terikat tinggi di kepala. Wajahnya sangat polos tanpa riasan make up apapun. Gadis desa bernama Dyah itu sengaja datang kerumah keluarga Adiguna atas permintaan bik Siti untuk menggantikannya.

“He’em!” Bram berdehem, mencoba mengisyaratkan kehadiranya.

“Eh tuan Bram!” Dyah pun beranjak dari sofa dengan cepat, kini ia berdiri dan sedikit menunduk memberikan hormat pada majikan barunya.