"Ah ... aku mencintaimu, sangat sangat mencintaimu, Bulan ...," desah pria yang sudah berhasil menumpahkan cairan kenikmatannya sampai masuk ke ruang terdalam perut wanita yang bernama Bulan. Pria itu tampak begitu bahagia dan merasa puas, setelah melakukan tiga kali ronde menggempur wanita yang berada di bawahnya.
Candra Prawira, pria berusia 26 tahun, seorang CEO muda penerus dari keluarga Prawira. Ia memiliki wajah tampan, bermata indah dan berhidung mancung. Tubuhnya yang tinggi dan putih, juga atletis, membuat sosoknya benar-benar sempurna.
Ia adalah anak pertama dari Andre Prawira dan Dinda Larasati, dua orang yang begitu sempurna dan jika digabungkan akan menciptakan hal lebih sempurna.
Rembulan Aprilia atau biasa dipanggil Bulan, ia adalah wanita cantik, berkulit putih yang berusia 24 tahun yang sudah dipersunting oleh Candra pada tiga bulan yang lalu. Mereka menikah atas dasar perjodohan namun keduanya saling mencintai, jadi tidak terasa berat untuk menerima permintaan sang ayah.
Ayah Bulan dan ayah Candra adalah sahabat dekat sekaligus rekan kerja antara bos dan sekretaris, itu sebabnya mereka memutuskan untuk mengikat keduanya dengan janji suci supaya makin mempererat tali persahabatan.
"Aku juga mencintai Kakak," jawab Bulan seraya menciumi rambut Candra yang berada dalam pelukannya. Mereka saling mengatur nafas yang tersengal-sengal dengan keringat yang tercampur menjadi satu.
Satu jam tertidur setelah bercinta, akhirnya keduanya terbangun dari tidurnya lantaran jam weker berdering hingga mengusik indra pendengaran mereka, seolah mengingatkan sudah jam 6 pagi.
Gegas keduanya bangun dan sama-sama melakukan mandi bersama seperti biasanya.
Bahagia dan harmonis, itu adalah dua kata yang terlihat pada sepasang suami-isteri yang masih tercium bau pengantin baru. Kebahagiaan mereka makin lengkap saat keduanya tau jika sekarang Bulan tengah hamil berusia dua bulan setengah.
Namun, kebahagiaan itu terasa singkat saat Candra yang sudah berada di kantornya mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal.
"Halo," ucap seorang pria tampan pada sambungan telepon genggamnya, ia tengah duduk di kursi putar di dalam ruangan kerjanya.
"Apa Anda kenal dengan wanita yang bernama Rembulan Aprilia?" tanya seseorang dari seberang sana, suaranya begitu berat dan seperti pria berusia 50 tahunan.
"Kenal, dia istri saya. Ada apa ya, Pak?"
"Siapa nama Anda?"
"Saya Candra, Candra Prawira." Entah mengapa tiba-tiba jantung pria yang bernama Candra itu seolah berhenti berdetak, perasaannya juga tak tenang, untuk sekali lagi ia pun bertanya, "Istri saya kenapa, Pak?"
"Saya dari pihak polisi, ingin memberitahu jika istri Bapak mengalami kecelakaan, dia tertabrak mobil dan mati ditempat."
Deg!
"A-apa?" Candra terbata sambil membelalakkan mata, ia menutupi mulutnya dan geleng-geleng kepala. Rasanya itu tak mungkin, ia tak percaya dengan apa yang pria diseberang sana ucapkan. "Bapak jangan bercanda, istriku ada di rumah. Bagaimana bisa dia kecelakaan?"
"Bapak bisa ke rumah sakit Harapan? Saya tunggu kehadiran Anda."
Belum sempat Candra menutup telepon, mendadak ada yang membuka pintu ruangannya begitu keras sambil membantingnya ke arah samping. Ternyata orang yang membuka pintu adalah Andre, ayah kandung dari Candra dan dia datang bersama Dinda, bundanya Candra.
Dengan langkah tergopoh dan wajah khawatir, keduanya menghampiri Candra yang masih duduk. Mereka memeluk anak pertamanya secara bersama.
"Candra, kamu harus kuat! Mungkin ini sangat sulit, tapi kamu harus menerimanya," ucap Andre seraya mengelus pelan pucuk rambut Candra.
Candra mendongak ke arahnya, bola matanya sudah berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ia merasa heran, kenapa ucapan Andre seolah berkaitan dengan apa yang polisi bicarakan tadi.
"A-pa maksud Ayah? A-ku harus kuat untuk apa?" tanyanya terbata.
"Bulan, dia sudah meninggal."
"Apa??" Candra memekik, dan seketika itu pun dia memegangi dadanya yang terasa nyeri. Air matanya langsung berderai, mengalir membasahi wajah tampannya. Dia kembali memeluk tubuh orang tuanya, menahan semua rasa pedih dan sakitnya menerima kenyataan.
Tadi Candra bisa tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh orang lain, namun jika yang bicara adalah orang tuanya—iaa amat percaya.
Candra menangis terisak-isak, tubuhnya terasa lemas seperti tak bertulang, kedua tangan dan kakinya saja sudah bergetar.
"Ayah, aku mau ke rumah sakit. Aku mau lihat Bulan," pinta Candra lirih.
"Apa kamu yakin akan kuat untuk melihat keadaan istrimu?" tanya Andre tak yakin. Ia pun melihat tubuh sang anak sudah bergetar, takut jika Candra pingsan nanti.
"Aku kuat kok, Yah." Candra meraup kasar wajahnya, mengulas semua air mata pada pipinya.
"Ya sudah kita ke rumah sakit sekarang, mertuamu juga sudah ada di sana." Andre menarik kedua lengan Candra, membantunya untuk berdiri.
Dengan dibantu orang tua Candra, akhirnya tubuh yang terasa lemas itu bisa ia gerakkan, berjalan sampai masuk ke mobil.
Hampir di dalam perjalanan, Dinda yang duduk di belakang bersama anaknya terus memeluk dan menenangkan Candra, apalagi mengingat jika Bulan juga tengah mengandung. Kalau Bulan meninggal, pasti bayi yang berusia dua bulan setengah itu ikut meninggal.
"Kamu yang tenang Can, ada Bunda dan Ayah yang selalu ada di sampingmu," ucap Dinda.
***
Di rumah sakit.
Disebuah ruangan yang begitu sunyi sepi, banyak sekali beberapa brankar yang berisi jenazah yang sudah tertutup kain putih dari ujung kaki ke ujung kepala.
Seorang perawat pria mengantarkan Candra dan Heri, ayah mertuanya untuk melihat Bulan sebelum wanita itu dibawa pulang untuk di makamkan.
Dengan air mata yang terus saja mengalir dan tubuh yang bergetar, perlahan tangan Candra menyentuh kain putih yang berada diujung rambut wanita yang tengah berbaring itu.