PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Asa Cinta

Asa Cinta

Penulis:Njh_p_mimpi

Berlangsung

Pengantar
Nisa gadis yang harus di hadapkan oleh dua pilihan yang begitu berat. Antara memilih Ali yang jelas-jelas bisa membimbingnya menuju kebahagiaan dunia dan Akhiratnya, atau seorang Ardi yang selalu ada dan menemaninya di tiga tahun belakangan, yang selalu memberinya rasa nyaman juga bahagia. Kisah ini adalah bukti perjuangan antara 'asa' yang Ali punya untuk memenuhi amanah yang Abi nya titipkan atau 'cinta' yang dengan tulus Ardi berikan seluruhnya Kepada Nisa. Akankah kekuatan 'asa' atau 'cinta' yang akan lebih kuat.
Buka▼
Bab

Seorang gadis kini terpaku di ambang pintu, melihat keadaan rumah yang ramai tak seperti biasanya.

Perhatiannya tersorot habis pada satu orang di sana, seorang pria yang terduduk di depan Ayah nya.

Entah apa gadis itu salah lihat atau memang wajah sang pria yang memang familiar di matanya.

"Teh ... ko malah ngelamun di pintu, sini masuk." Bunda Syifa yang tak lain adalah Bundanya berujar.

Kini semua perhatian tertuju pada gadis itu, yang membuat gadis itu menunduk dengan malu.

Dengan perasaan bingung yang masih mendominasi, gadis itu ikut bergabung dan duduk di sebelah Bunda Syifa.

"Ohh, ini pasti Nisa yah?" Tanya seorang wanita yang sepertinya tidak jauh umurnya dengan Bunda Syifa.

"Iyah ... ini putri saya yang pertama, si sulung. Nama nya Nurhafizatunnisa," jawab Ayah Hasan.

Nisa hanya mengangguk sambil tersenyum kaku.

Wanita itu mengelus lembut pipi Nisa, "cantik ... " ucapnya.

Nisa tersenyum penuh canggung, "m-makasih tante."

"Ehhh jangan panggil tante dong ... panggil Ummi," tanggap wanita itu dengan senyum ramahnya.

Nisa menatap wanita itu sedikit ragu, "Ummi?"

"Iyah," jawab Ummi Hanna dengan anggukan penuh antusias.

"Ummi Hanna ini, istri dari sahabat Ayah dulu. Abi Zainal nama nya, tapi beliau sudah meninggal tiga tahun yang lalu."

Nisa mengangguk, meskipun ia masih belum mengerti apa maksud kedatangan Ummi Hanna ke rumah nya. Di tambah pria itu.

"Kalo yang ini Zainal junior nih ... " ujar Ayah seraya menepuk pelan paha pria yang duduk tepat di hadapan nya itu, "Ali Zainal Arifin nama nya."

Yah ... Ali Zainal Arifin, nama yang sungguh tak asing di telinga Nisa.

Satu nama yang mampu mengingatkan Nisa pada kejadian yang memalukan di beberapa bulan silam.

Nisa menunduk dalam, kini pikiran nya berkecamuk memikirkan apa saja kemungkinan yang bisa terjadi atas kedatangan keluarga Ali kemari.

"Kalo Ummi denger dari Ali, katanya kalian satu sekolah yah ... berarti udah saling kenal dong."

Degg!

Apa ini?

Apa yang di pikiran Nisa benar adanya?

Apa Ali memang meminta Ummi nya untuk datang ke sini dan memperkenalkan mereka?

Tidak!!!

Sepertinya ia memang terlalu jauh dalam memikirkan sesuatu, mana mungkin seorang Ali Zainal Arifin yang menjadi pujaan dan dambaan para kaum Hawa di sekolahnya itu bisa datang ke sini hanya untuk mengenalnya lebih jauh.

Tidak!!! Sekali lagi tidak. Rasanya itu benar-benar berlebihan.

Mungkin saja ini hanya kebetulan kan?

Ayah bilang Ummi Hanna adalah istri dari sahabatnya. Yah, mungkin mereka hanya ingin bersilaturahim.

Nisa masih berspekulasi dengan pikiran nya sendiri sampai suara dari Ali berhasil menarik penuh perhatianya.

"Iyah Ummi ... kebetulan kita juga ikut ekskul yang sama di sekolah, jadi Insyaa Allah sudah sedikit saling mengenal."

Yah ... mendengar kata ekskul membuat Nisa sedikit meringis. Nisa menggeleng dalam tundukan nya, menyembunyikan rasa malu yang masih membekas begitu lekat.

"Wah bagus kalo gitu," ujar Ummi Hanna begitu riang.

Tunggu ... Nisa membelalakan matanya, namun dengan kepala yang tetap tertunduk.

Bagus?

Apanya yang bagus?

Kini otak Nisa semakin berputar secara kencang.

Ia semakin di buat bingung. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Apa benar yang dia pikirkan?

Jangan bilang jika dia akan di jodohkan hari ini juga. Seperti yang di film-film.

Ahhhh ...

Tidak, jika itu benar terjadi maka mungkin keluarga nya sudah gila. Nisa kan masih SMA. Lagi pula di zaman yang serba modern ini masihkah ada budaya seperti Siti Nurbayan?

Dan Ali?

Kenapa ia terlihat begitu santay?

Sungguh Nisa butuh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang masih memenuhi otaknya.

"Berarti udah sering ngobrol dong ... " goda Ayah.

Semua nya ter kikik geli, kecuali Ali yang tersenyum sedikit malu-malu yang malah membuat Nisa semakin kebingungan dan heran.

"Kalo untuk ngobrol pasti rame-rame Yah ... sama anak-anak yang lain, itupun kalo ada forum dan perkumpulan. Di luar itu, belum pernah sih Yah, terlebih ... " Ali menatap Nisa yang juga ikut menatapnya, "anak Ayah ini bukan tipikal orang yang gampang ngobrol sama orang lain kayaknya."

Nisa memutus pandanganya, tepat setelah Ali selesai berujar.

Menatap mata Ali memanglah sebuah kesalahan, dan harus nya Nisa tak mengulanginya lagi jika dia tidak ingin terkena masalah seperti dulu.

"Si teteh emang kaya gitu, dia mah emang paling susah kalo buat ngobrol sama orang. Apalagi yang baru kenal."  Bunda Syifa berujar.

Sungguh Nisa resah sendiri, menjadi pusat perhatian dan pusat obrolan semua orang di sini membuatnya merasa tidak nyaman sama sekali.

Semuanya kembali terkekeh kecuali Nisa.

"Atuh kalo gitu harus kenalan dulu ... " Ummi Hanna melempar candaan nya pada Nisa.

Yang bisa Nisa lakukan, lagi-lagi hanya tersenyum dengan kecanggungan yang menguasai.

"Kan besok-besok mah jadi menantu Ummi."

"Ha?" Nisa membelalakan mata nya sampai membulat sempurna.

*****

Mengurung diri di kamar adalah langkah yang Nisa ambil. Setelah pertemuan itu ia tak lagi mau bicara pada Ayah bahkan Bundanya.

Terkejut, heran, tidak terima, kesal, ahhhh semua nya jadi satu.

Nisa menenggelamkan diri nya di dalam selimut pink bergambarkan hello kitti itu, apa yang Ayahnya pikirkan sebenarnya.

"Teh ... ko ngambek gitu sih, udah atuh sini keluar. Kita ngobrol baik-baik." Bunda Syifa mencoba membujuk.

"Pokoknya teteh gak mau Bunda!!"

"Biar ajah Bun ... nanti juga kalo laper si teteh keluar," ledek seorang pria sambil terkekeh.

"Gak usah ikut-ikut yah kamu Do!!" Sentak Nisa pada Ridho.

Yah pria itu adalah Ahmad Ridho Maulana, yang tak lain dan tak bukan adalah adik Nisa, atau mungkin lebih tepatnya adalah teman berdebat, bertengkar, berebut, dan ber-ber yang lainya.

Tapi tak jarang juga jika mereka sedang tidak kumat maka mereka akan menjadi seorang kakak-beradik yang akur, saling menjaga, menyayangi, dan juga menjadi sebuah tempat untuk saling mencurahkan isi hati satu sama lain.

Ridho terkekeh mendengar ancaman dari kakaknya yang sama sekali tidak ia takuti itu.

Bunda Syifa menghela nafas nya lelah, Nisa memang sudah dewasa namun sifat nya masih seperti anak-anak.

"Yasudah biarkan Bun, biar besok Ayah yang bicara sama teteh."

Nisa menyibak selimutnya, terduduk sambil menyender di kepala ranjang. Ia masih belum percaya jika ini terjadi padanya.

Ia beranjak menuju meja rias di kamarnya, menatap dirinya lekat-lekat di depan cermin.

"Ini bukan mimpi?"

Ia memegang dadanya yang bergemuruh dengan detakan yang tak menentu.

"Ka Ali?"

Ia masih belum percaya dengan ini semua.

"Tapi apa coba yang menarik dari aku? Padahal kalo di depan dia aku malah sering malu-maluin." Nisa bermonolog.

Mengingat-ingat setiap pertemuan nya dengan Ali. Ia rasa tak ada yang berkesan sedikitpun. Bahkan di setiap kali bertemu pasti saja ada hal yang memalukan yang ia lakukan.

Entah, Nisa sendiri tidak tahu kenapa setiap kali bertemu Ali rasa nya ada saja hal tak terduga. Dan tentunya akan berimbas pada dia yang mempermalukan dirinya sendiri di depan kaka seniornya itu.

Ia memijat keningnya yang terasa sedikit pusing, tatapan nya kini jatuh pada bingkai foto yang terpasang rapih di depan nya, terlihat gambar dua orang gadis bersama tiga pria yang begitu bahagia.

Perhatian nya kini bergeser pada satu pose pria yang begitu manis. Dengan senyum sempurna yang menampakan gingsulnya, alis tebal dan mata teduh yang selalu Nisa suka.

"Apa kabar kamu 'A ... " lirihnya.