PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Dia Memburu Jiwa Kalian

Dia Memburu Jiwa Kalian

Penulis:Eswit Esvido

Tamat

Pengantar
Kisah cinta Ratih Kumalasari dengan Prasetya Ajiluhung terganggu dengan hadirnya makhluk tak kasat mata dalam kehidupan mereka. Semula hanya Ratih yang dibayang-bayangi adanya makhluk halus dalam berbagai kejadian tak terduga. Namun belakangan Prasetya juga merasakan hal yang sama. Semula, baik Ratih maupun Prasetya, tidak menganggap kehadiran makhluk gaib itu sebagai gangguan, atau pun sesuatu yang mengancam. Namun lama-kelamaan Ratih dan Prasetya sadar bahwa ada makhluk jahat mengincar nyawa mereka! Ratih dan Prasetya mencari-cari penyebab adanya makhluk gaib yang ingin membunuh mereka. Ratih merasa dirinya tidak memiliki musuh yang berpotensi balas dendam terhadap dirinya. Prasetya menduga adanya roh gentayangan seorang gadis yang ingin balas dendam pada dirinya. Dugaan Prasetya ini dibantah seorang paranormal. Paranormal muda itu mengatakan bahwa ada kekuatan gaib yang sangat jahat ingin memusnahkan Ratih dan Prasetya!
Buka▼
Bab

Kalau saja Andika Mukti mengikuti kata ibunya, mungkin peristiwa itu tak akan terjadi. Cakrawati, sang ibu memperingatkan agar tidak berangkat ke rumah nenek selewat jam empat sore. Jarak Semarang menuju rumah nenek ratusan kilometer. Kalau lalu lintas lancar, mungkin hanya ditempuh sekitar dua jam. Tapi kalau ada sesuatu di jalan yang tidak terduga, bisa lebih dari tiga jam. Cakrawati khawatir mereka saat senja hari masih dalam perjalanan. Waktu senja atau biasa disebut surup adalah waktu peralihan dari sore ke malam. Sebaiknya menghindari menempuh perjalanan di senja hari.

“Maksud ibu baik, Mas,” kata Ratih Kumalasari saat mobil yang dikemudikan Andika meninggalkan rumah mereka di kawasan Ngaliyan. “Tapi kita ngejar waktu. Sabtu ke rumah nenek, malam Minggu menginap di sana. Minggu kalian mau ke Waduk Gajah Mungkur. Senin kembali ke Semarang. Selasa kita sudah berada di tempat kerja masing-masing.”

“Makanya,” Andika menanggapi, “kita tidak bisa menunda rencana hari ini. Kita sudah berkali-kali membatalkan rencana mau ke rumah nenek. Padahal nenek benar-benar sudah kangen mau ketemu cucu-cucunya yang ganteng dan cantik-cantik ini.”

“Hehehe..., tumben Mas Andika memuji kita, Mbak,” sahut Ira Kusuma yang duduk di kursi belakang. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu asyik main hape.

“Iya ya, tumben, padahal biasanya kita ini disebutnya duo cerewet, hehehe...,” Ratih menimpali.

“Kata-kataku tadi belum lengkap. Lengkapnya..., cucu-cucunya yang ganteng dan cantik-cantik, tapi cerewet,” kata Andika sambil tertawa.

“Nggak lucu ah!” Ira berkata sambil mencubit punggung kakaknya.

“Eit, jangan sewot, cantik! Lagian, aku lagi nyetir nih!”

“Iya, tahu! Yang bilang Mas Andika nyangkul, siapa?”

Dalam perjalanan Semarang-Gaseng, ketiga bersaudara itu asyik bercanda ria. Usia mereka yang tidak terpaut jauh satu dengan yang lain membuat pembicaraan bertema apa pun, selalu asyik dan menggembirakan.

Gaseng merupakan kampung halaman Cakrawati. Cakrawati tinggal di Semarang bersama suaminya yang bekerja sebagai pengusaha di bidang otomotif. Letak Gaseng sekitar tiga puluh kilo meter arah selatan dari Kota Solo. Rumah Jumiyem, ibu dari Cakrawati terletak di areal perbukitan.

Andika, Ratih, dan Ira mengunjungi nenek mereka dengan menggunakan mobil. Mobil milik keluarga ada tiga buah. Satu di antaranya mobil mungil jenis hatchback, transmisi otomatis 1500 cc. Andika menggunakan mobil kecil ini menempuh perjalanan keluar kota menuju pedesaan yang ada di areal pegunungan.

Mereka berangkat dari Semarang jam empat lebih sepuluh menit diiringi pesan Cakrawati agar berhati-hati dalam perjalanan. Beberapa kali Cakrawati mengingatkan agar Andika berhati-hati. Mungkin Cakrawati mempunyai firasat buruk, sehingga dia mengulang-ulang nasihatnya pada Andika supaya waspada dalam menelusuri jalan raya.

"Sebenarnya ada apa sih, kok ibu tadi berkali-kali mengingatkan Mas Andika supaya hati-hati?" tanya Ira yang masih penasaran.

"Kurasa itu wajar, Ira," Ratih menanggapi. "Orang tua mana pun tak ingin anaknya mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Maka wajar saja kalau ibu mengingatkan Mas Andika supaya selalu hati-hati dalam mengemudi."

"O, begitu. Kukira ada sesuatu yang aneh atau misterius.”

Mobil yang dikemudikan Andika memasuki Kota Solo jam lima lebih seperempat. Dia terus melajukan mobil dengan kecepatan tinggi ketika meninggalkan kota itu menuju ke arah selatan. Laki-laki muda yang masih lajang itu sudah biasa mengemudikan mobil dengan kencang, di atas seratus kilometer perjam.

Selama mengemudi dari Solo menuju rumah Jumiyem, Andika jarang menyahut obrolan kedua adiknya. Dia ingin secepatnya sampai rumah neneknya. Sebagai cucu pertama, Andika menjadi cucu kesayangan Jumiyem.

“Enggak ada yang aneh dengan pesan ibu,” Ratih menegaskan. “Seorang ibu berpesan kepada anak-anaknya untuk berhati-hati di setiap waktu, itu bukan keanehan. Itu wajar. Itu logis. Masuk akal. Kita masih lajang, tentu belum punya perasaan sebagai seorang ibu. Seorang ibu tentu saja selalu memikirkan keadaan anak-anaknya. Kelak, kalau kita sudah berkeluarga dan punya anak, akan berperilaku seperti ibu.”

“Iya, sih, nggak ada yang aneh dengan pesan ibu. Intinya, kita harus hati-hati. Cuma..., pesannya itu diulang-ulang. Disampaikan berkali-kali,” Ira terlihat heran. “Ada apa ya, Mbak? Sebenarnya ini ada apa ya?”

Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi di jalan lebar yang dipenuhi lalu lalang mobil dari dua arah. Andika berkonsentrasi penuh dengan mobil yang dikendarainya. Dia selalu ingat pesan ibunya agar selalu berhati-hati. Walaupun melajukan mobil dalam kecepatan tinggi, tetap berhati-hati.

“Menurutku, nggak ada apa-apa,” kata Ratih. “Semoga tidak terjadi apa-apa.”

“Aku pun berharap begitu, Mbak. Aku yakin driver kita ini sudah menguasai jalur yang dilalui. Kita sudah sering ke rumah nenek dengan melalui jalan ini.”

“Betul. Mas Andika sudah hapal betul dengan jalan-jalan yang akan dilalui menuju rumah nenek. Kalau yang nyetir aku, mungkin bisa tersesat ke tempat lain. Bukannya sampai di rumah nenek, tapi malah bisa sampai di rumah orang lain.”

“Lebih parah lagi kalau aku yang nyetir, Mbak. Bukannya sampai rumah nenek, tapi malah bisa tersesat ke kota lain.”

“Ah, ya nggak mungkin, Ir. Kamu sendiri pernah beberapa kali ikut ke rumah nenek. Tentu masih ingat sebagian jalan yang mesti dilalui agar bisa cepat sampai ke rumah nenek.”

“Betul, Mbak. Tapi aku ini pelupa berat kalau mengingat-ingat jalan suatu tempat yang pernah dilalui. Apalagi sekarang jalanan sudah banyak yang beraspal. Banyak jalanan yang mirip, sehingga sulit untuk diingat.”

“Kalau jalan sulit diingat, tapi Barlan mudah diingat,” goda Ratih.

“Iya sih. Entah kenapa ya, kok mudah mengingat-ingat segala hal yang berkaitan dengan pacar dibandingkan jalanan yang pernah kita lalui. Eh, Mbak Ratih juga begitu kan?”

“Juga begitu bagaimana?”

“Itu tuh..., si tampan dari Jagalan.”

“O..., maksudmu Prasetya Ajiluhung?”

“Siapa lagi kalau bukan dia? Memangnya Mbak Ratih punya yang lainnya?”

“Ya enggaklah! Satu saja sudah cukup kok. Untuk apa punya pacar banyak-banyak? Malah bisa tambah pusing, nantinya.”

“Ssst..., Mbak, kalau bicara tentang pacar banyak, jangan keras-keras. Nanti ada yang tersinggung.”

“Enggak tersinggung kok,” sahut Andika sambil tetap konsentrasi pada jalan. “Itu dulu. Sudah jadi masa lalu. Sekarang cuma punya satu.”

“Iya deeeh..., aku percaya...,” sahut Ratih dan Ira hampir bersamaan.

Ratih teringat betapa pusingnya Andika saat masih punya dua pacar yang sama-sama dicintainya. Dia waktu itu masih kuliah semester akhir. Karena pikirannya terpecah antara ujian akhir dengan dua pacar yang mendesak Andika untuk menentukan pilihan, ada satu mata kuliah yang nilainya hanya pas-pasan. Hampir saja tidak memenuhi standar kelulusan. Andika bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu, meskipun ada nilai yang berkadar cukup.

Dalam keadaan kalut, Andika mengungkapkan segala beban hati kepada ibunya. Cakrawati menyarankan agar Andika memutus keduanya. Andika mengikuti saran ibunya. Hati Andika tenang tanpa beban suatu apa. Sejak saat itu Andika bertekad untuk mencari satu pacar saja supaya tidak pusing pada akhirnya.

Kini Andika menjalin hubungan asmara dengan teman sekantor. Hubungan berjalan lancar. Tak ada kendala atau konflik yang berarti. Kalau ada pertengkaran-pertengkaran kecil, itu biasa. Manusia tidak mungkin lepas dari perbedaan sekecil apa pun. Perbedaan, entah itu selera makan, prinsip hidup, atau apa pun, tentu berpotensi memicu konflik berujung pertengkaran.

“Mas, nama lengkap Mbak Yuyun itu siapa sih?” tanya Ira.

“Ayunita Wahyuningsih,” jawab Andika.

“Hm..., cantik banget dia. Lebih cantik dari yang dulu-dulu.”

“Ya iyalah,” sahut Ratih. “Makanya tidak perlu mendua lagi.”

“Daripada mendua jadi pusing, memang lebih baik satu saja. Satu tapi cantik dan baik hatinya. Sudah kerja, mandiri, mapan, ya..., pokoknya toplah. Sepertinya Mbak Yuyun itu nggak pernah marah deh. Dia itu kelihatannya pendiam, sabar, dan murah senyum. Segera saja dilamar, Mas! Biar Mbak Ratih cepat-cepat menyusul.”

“Siapa yang menyusul? Ratih atau Ira?” ledek Andika.

“Setelah Mas Andika, terus Mbak Ratih. Biar urut.”

“Oh..., kirain setelah aku, lalu Ira, hehehe....”

“Kamu ini ada-ada saja, Mas.”

Laju mobil menembus jalanan berkabut tipis. Jalan provinsi, tetapi melewati wilayah kecamatan dan pedesaan. Waktu sore menjelang petang, jarang berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan. Juga jarang mobil yang melaju dari belakang.

Cuaca mendung membuat jalanan terlihat gelap. Terlihat lebih petang dari biasanya. Matahari yang telah tenggelam sejak tadi tak menyisakan cahaya sedikit pun. Andika menambah kecepatan. Dia ingin cepat sampai di Gaseng. Dia ingin segera memeluk neneknya.

Di depan ada tikungan. Tikungan tajam. Andika tidak mengurangi kecepatan. Dia terus melajukan mobilnya dengan tenang. Mobil merah yang masih mulus karena terjamin perawatan.

“Awas, Mas!” teriak Ratih dan Ira bersamaan.

Di ujung tikungan sana ada seorang gadis mau menyeberang. Dia di tepi kiri, utara jalan, mau menyeberang ke arah selatan.

Andika menginjak rem. Menginjak rem keras-keras. Kaki Andika agak terlambat menginjak rem. Meskipun rem diinjak, mobil yang dikemudikan Andika masih melaju ke arah gadis yang melangkahkan kakinya untuk menyeberang jalan.

Mobil merah menabrak gadis berbaju merah.

*