PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Veara

Veara

Penulis:SlygirlXXX

Berlangsung

Pengantar
Alwen selalu memiliki mimpi yang tidak biasa. Mimpi-mimpinya sering menjadi kenyataan. Ketika mimpinya tentang gempa dan sekolah yang runtuh benar-benar terjadi, Kirion—teman baiknya—mulai menyelidiki tentang kemampuan Alwen yang tidak biasa itu. Mendekati hari ulang tahun Alwen, gadis kecil itu mengajak Kirion pergi mencari peri di sebuah air terjun tersembunyi. Kirion menemani mencari air terjun tersebut. Mereka menemukan sebuah gua di balik tirai air terjun dan setelah menyusuri gua itu, mereka menemukan padang bunga yang indah. Apakah mereka akan menemui peri di sana? Dan, apakah ada hubungannya antara mimpi-mimpi Alwen dengan para peri?
Buka▼
Bab

Grek!

Alwen menoleh seketika. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini.

Greeek!

Jantung Alwen berdegup kencang. Apa?

Menyapukan pandangan, rak-rak tua penuh buku di sekeliling gadis dua belas tahun itu seperti bergetar. Debu-debunya bahkan sampai beterbangan. Dan sesuatu yang lembek sepertinya….

Alwen menatap kedua tangannya, dan seketika menjatuhkan apa pun yang dia pegang. Seingatnya, tadi dia memegang buku Pengantar Ilmu Bumi, tapi itu… apa? Alwen mengamatinya. Benda itu tidak seperti buku, itu bahkan sama sekali bukan buku! Alih-alih, entah makhluk apa itu. Tubuhnya lembek dan berlendir. Kedua mata bundarnya tampak memelotot seolah akan meloncat keluar.

Alwen mundur beberapa langkah.

Grek, grek, greeek….

Rak-rak di sekitarnya bergetar makin keras dan membuat gadis berpita merah jambu itu panik. Dia berbalik dan berlari, mencoba meraih pintu keluar perpustakaan sambil merutuk dalam hati. Pada saat begini, di mana sebenarnya Kirion? Cowok itu biasanya selalu mengikutinya. Apa dia tidak tahu bahwa Alwen sedang ketakutan di sini? Dasar, padahal seharusnya dia menjaga Alwen.

Menatap sekeliling, entah kenapa Alwen merasa rak-rak buku itu makin rapat. Secara harfiah, mereka bergerak mendekat satu sama lain, seolah berusaha mengimpit Alwen. Meski dia percepat larinya, tetap saja rasanya makin sesak.

Alwen merunduk dan merangkak, menghindari impitan rak-rak yang seolah hendak runtuh. Saat dia melihat celah kecil di depan sana makin rapat, dia bergegas. Tapi, celah itu menutup tepat saat dia sampai di depannya.

“Tidak, tidak, tidak.” Alwen menggeleng. Ini gila. Bagaimana caranya keluar dari sini?

Rak-rak itu tak berhenti. Mereka terus mendekat, merapat. Dan tiba-tiba saja bumi berguncang.

Ap—?

Sebelum Alwen menyadari apa yang terjadi, lantai di bawah kakinya merekah dan dia jatuh. Meluncur ke bawah. Terus… terus… terus menuju entah. Alwen memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berteriak sekuat tenaga. Sekali lagi dia rasakan guncangan. Tapi bagaimana mungkin? Dia sedang meluncur, jadi mestinya dia tak merasakan guncangan.

“… wen?”

Sesuatu…. Alwen mendengar sesuatu.

“… wen?”

Apa…?

“Alwen?”

Alwen membuka mata. Ibunya duduk di sampingnya, sebelah tangan wanita itu memegangi pundak Alwen. Seketika Alwen bangkit. Jantungnya masih berdetak kencang dan dia berkeringat banyak. Napasnya juga tak kalah memburu. Ketika ibunya memberikan segelas air putih, Alwen langsung meminumnya hingga habis.

“Mimpi buruk?” tanya ibunya.

Alwen mengangguk, masih berusaha mengatur napas.

Ibunya mengusap kepala Alwen. “Nah,” katanya seraya bangkit dan berjalan menuju pintu, “sebaiknya kau bergegas, bukankah kau punya janji dengan Kirion?”

Sejenak Alwen tak paham maksud ucapan ibunya, tapi ketika ibunya mengerling pada Alwen sebelum keluar, Alwen terbelalak. Dia benar-benar lupa, sungguh. Kemarin dia memaksa Kirion menjemput ke rumah pagi-pagi. Kirion paling malas bangun dan melakukan apa pun pagi-pagi, jadi perlu usaha keras untuk membuatnya mengatakan “iya”. Dan sekarang… Alwen menengok ke jendela, langit sudah sangat terang. Ya ampun, Kirion pasti marah.

Alwen bergegas ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, tentu saja, hanya cuci muka dan menyikat gigi. Dan sedikit membasuh kedua lengan dan kaki. Setelahnya, cepat-cepat dia berganti pakaian. Oh, dan mengambil tas, tentu saja. Hari ini pelajaran Ilmu Bumi, jadi dia membawa buku-buku tentang itu, buku catatan, juga buku dongeng yang akan dia baca saat sedang bosan dengan pelajaran sekolah.

Setelah semuanya lengkap, Alwen memelesat ke dapur, mencomot setangkup roti isi dan meneriakkan bahwa dia berangkat. Tak usah pakai sepatu, pikirnya, karena itu merepotkan. Alwen memakai sandalnya dan keluar dari rumah dengan mulut menggigit roti serta tangan sibuk membetulkan ransel. Tepat di depan pintu, dia mendapati Kirion menatapnya dengan galak.

Rasanya waktu seperti berhenti sejenak, dan Alwen baru tersadar saat roti yang dia gigit terlepas. Untung saja dia berhasil menangkap sarapannya itu sebelum terjatuh ke tanah.

“Hai, Kirion,” sapanya, nyengir salah tingkah.

“Jadi,” Kirion bersedekap,”ini yang kaumaksud ‘pagi-pagi’ itu?”

“Hehehe....” Alwen meringis sembari menggaruk belakang kepalanya. Satu tangannya yang memegang roti bergerak perlahan ke depan mulut Kirion. “Mau roti isi?” ujarnya menawarkan.

Kirion melihat roti isi yang sudah digigit sudutnya itu, lalu memutar bola mata. Tanpa mengatakan apa pun, dia berbalik dan mulai berjalan dengan cepat.

“Eh, tu-tunggu aku!” teriak Alwen, buru-buru mengejar Kirion. “Kirion, tungguuu,” rajuknya sembari berusaha menjajari langkah teman baiknya itu.

Kirion tidak peduli. Dia sudah berteman dengan Alwen sejak kecil. Bocah perempuan itu selalu saja berbuat sesuka hati, dan dia pintar sekali merajuk. Meskipun usia Kirion dua tahun di bawah Alwen, rasanya seperti justru Kirion sedang mengasuh anak berumur lima tahun. Kadang-kadang, saat kesal, dia akan mengabaikan Alwen. Seperti saat ini. Kirion berjalan cepat menuju sekolah. Meskipun di sampingnya Alwen terus berceloteh dan berusaha mengajaknya mengobrol, Kirion tidak peduli. Biar saja bocah perempuan itu bicara sendiri.

“Aduh!” pekik Alwen tiba-tiba.

Kirion sudah lama mengenal Alwen dan dia sangat tahu bahwa gadis itu benar-benar ceroboh. Jadi, saat mendengar Alwen memekik, refleks Kirion menoleh. Namun, itu sebuah kesalahan.

Alwen tersenyum lebar saat mendapati Kirion menoleh ke arahnya. “Akhirnya kau memedulikanku juga,” desahnya, lalu melahap potongan terakhir roti isinya. Dia menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan remah-remah roti, kemudian berkacak pinggang. “Kirion memang teman terbaik!” serunya.

Melihat tingkah Alwen dan kepercayaan diri gadis itu, Kirion hanya memutar bola mata dan melengos. Cowok sepuluh tahun itu kembali mengabaikan Alwen sepanjang perjalanan ke sekolah.

[]