PopNovel

Baca Buku di PopNovel

My Sweet Uncle

My Sweet Uncle

Penulis:Rara Arrazaq

Tamat

Pengantar
Bagaimanakah jadinya, jika diantara Paman dan keponakannya ditembakkan panah cinta oleh Cupid, Sang Dewa cinta? Walau tanpa hubungan darah sekalipun, tapi kehidupan sosial tentu saja membuat mereka sulit untuk bersatu. "Aku tak akan membiarkan laki-laki manapun mendekatimu, dan akan selalu melindungimu, karena aku...Pamanmu," ujar Aryan sambil menatap gadis manis yang terpaut umur 10 tahun dengannya itu. Sementara Hannah hanya bisa menundukkan wajahnya, menghindari netra coklat terang yang menatapnya dalam, tatapan yang selalu bisa memporak-porandakan hatinya. Tapi ternyata, panah asmara Cupid tak berhenti di situ saja. Semakin lama, semakin menyusup dalam di hati keduanya. Apa yang akan terjadi saat hasrat tak terbendung lagi? Penasaran dengan kisahnya? Ayo langsung dibaca! Instagram: raraarrazaq
Buka▼
Bab

Hannah duduk meringkuk di kursi teras rumahnya dengan wajah kalut, kedua tangannya memeluk lutut yang ditekuknya ke atas kursi yang terbuat dari rotan itu.

Ia sedang memfokuskan pendengarannya pada percakapan kedua orangtua nya yang sayup-sayup terdengar dari dalam rumah sederhana mereka.

Di ruang tamu itu, kedua orangtuanya duduk membahas masalah perjodohan Si Anak semata wayang, tanpa menyadari bahwa anak mereka itu sedang berada di teras rumah.

"Apa Mas Hanif benar-benar ingin menjodohkan Hannah?" tanya Mirna, wanita yang telah menjadi ibu pengganti yang mengasuhnya penuh kasih sayang sejak ia kecil. Wajahnya yang bersahaja tampak begitu panik.

"Ya, aku tak punya alasan untuk menolaknya. Perjodohan ini telah diatur oleh mendiang orangtuaku dengan sahabat baiknya. Jika aku tak memenuhinya, itu sama saja aku memutuskan tali silaturahmi yang telah terjalin sejak lama," jawab laki-laki yang dipanggil Hanif dan pastinya adalah ayahnya Hannah.

"Tapi Mas kan tau, Hannah masih ingin menggapai cita-cita nya sebagai seorang perawat. Apalagi adikmu yang seorang Dokter di Jakarta baru saja mengajak nya bekerja di sana."

"Ya, aku tau. Masalahnya, anak kita belum punya jodoh sampai sekarang. Dalam perjanjiannya, perjodohan baru akan dibatalkan jika anak-anak telah menemukan jodohnya sendiri."

Mirna terdiam, ia menghela nafasnya yang terasa berat. Karena dalam masalah ini, ia sama sekali tak menemukan solusinya.

Hannah memang tak pernah memiliki pacar ataupun teman lelaki yang dekat. Di usianya yang menjelang 22 tahun, gadis itu adalah jomblo tulen diantara gadis gadis di kampungnya, yang rata-rata telah menikah di usia muda.

"Lantas bagaimana dengan cita-cita Hannah?"

"Entah lah, setelah menikah nanti dia bisa bekerja di Puskesmas desa kita," jawab Hanif sambil mengalihkan pandangan dari tatapan istrinya itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

"Aku tak tega Mas, aku tau bagaimana besarnya cita-cita Hannah untuk menjadi perawat di kota dan di Rumah Sakit besar," ujar wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda lagi itu dengan wajah sedih.

"Aku lebih tak tega dari pada kamu Dek, tapi apa boleh buat? Lagipula keluarga calon besan kita itu kan orangnya baik."

"Baiklah, terserah Mas saja, kalau memang menurut Mas ini akan baik buat Hannah"

Hanif menatap istrinya gelisah, lalu menanggapi perkataan istrinya dengan nada gamang.

"Aku tau Hannah pasti tidak menolaknya karena tidak ingin membuat ku kecewa. Tapi kepatuhan Hannah malah membuatku merasa bersalah. Seandainya aku bisa menolak perjodohan ini."

Sementara di terasa rumah, Hannah menghela nafasnya yang seolah tercekat di dalam dada. Dilema ini sungguh membuat ia tersiksa. Ia ingin menangis, tapi ia tak ingin membuat kedua orangtua nya semakin serba salah.

Dengan gerakan perlahan, gadis berjilbab ungu muda itu mengambil helm dan kunci motor bebeknya. Ia harus mencari tempat untuk menyendiri, dan melampiaskan tangis tanpa seorang pun yang tau.

Hannah bahkan menutup kaca helm yang berwarna gelap agar tak ada yang melihat derai air matanya.

Motor bebeknya melaju pelan, menyusuri jalanan desa yang berkerikil dan berhenti tepat di depan sebuah Halte yang masih baru selesai dibangun sebagai sarana desa.

Di situlah ia biasa menyendiri disaat hati sedang gelisah.

Matanya yang dinaungi bulu-bulu lentik menatap kosong hamparan sawah yang berseberangan dengan Halte.

Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, menghirup udara segar yang beraroma khas persawahan.

Raut wajahnya tampak membayang kesedihan. Membayangkan cita-cita yang kini perlahan mengabur dalam angannya.

Terbayang kembali di benaknya, betapa bahagianya ia saat Bibi Yanti menelepon untuk mengajak nya bekerja di Jakarta. Tapi kini ia harus mengubur keinginan nya itu di dalam hati. Karena ia akan menjadi istri orang, yang belum tentu juga akan mengizinkan nya bekerja setelah menikah.

Setetes air mata mengalir di pipinya. Ia tak bisa memungkiri bahwa hatinya sedih dan kecewa.

Hannah kembali menarik nafasnya dalam-dalam untuk meredakan rasa sesak di dada nya dan mengusap air matanya perlahan.

"Lho, Kak Hannah di sini rupanya. Baim udah cari kemana mana tau! Kak Hannah kan udah janji mau nemenin kami buat tugas prakarsa!" seorang bocah laki-laki tiba-tiba muncul dengan tampang cemberut yang membuyarkan lamunan Hannah.

"Oh iya, maaf ya Baim, Kak Hannah lupa. Yang lainnya udah ngumpul ya?" tanya Hannah, sebuah senyuman langsung menghiasi wajah manis nya. Senyum lepas yang mengundang orang yang melihatnya untuk ikut tersenyum.

"Iya Kak, semua udah nunggu di rumah Baim!" Spontan wajah cemberut bocah itu menghilang dan terganti senyuman.

"Oke, kalo gitu kita ke rumah kamu sekarang," sambut Hannah sambil bangkit dari duduk nya.

Namun tiba-tiba terdengar deru mesin Bus dan gemeretak batu yang terlindas dari kejauhan. Serentak Hannah dan Baim menatap ke arah suara, sebuah Bus melaju pelan di atas jalanan tanah berkerikil milik desa mereka.

Hannah mengernyit, tak biasanya ada Bus besar masuk ke desa. Dan semenjak Halte itu dibangun, baru kali inilah ada bus yang berhenti di sana. Selain karena Halte itu masih baru, orang-orang di kampungnya juga jarang sekali yang bepergian jauh menggunakan Bus.

Sesaat kemudian dari pintu Bus itu turun seorang pemuda berkulit putih bersih dan bertubuh tinggi dengan wajah oriental, roman-roman Oppa korea. Ia menyandang sebuah ransel yang terisi penuh dan menggenggam tali ransel dengan tangan kokoh nya.

Setelah menghirup udara segar yang langsung menyambutnya, laki-laki itu berpaling menatap Hannah dan Baim. Lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya seperti sedang memastikan tempat yang ia singgahi.

Sementara itu, Bus yang baru saja menurunkan satu-satunya penumpangnya itu kembali memutar haluan.

Sang pemuda melangkah pelan menuju tempat duduk Halte. Tepatnya menghampiri Hannah dan Baim.

Hannah bengong di tempatnya, seolah baru melihat pangeran yang turun dari kuda putihnya.

"Oppa?" gumamnya dengan mulut melongo.

"Assalamualaikum..." sapa laki-laki itu.

"Wa-wa'alaikumsalam... " jawab Hannah terbata. Lalu refleks tangannya mengusap wajah yang ia yakin saat itu terlihat sembab.

"Maaf Bu. Saya mau menanyakan alamat, " ujar lelaki bernetra coklat terang itu dengan tatapan cuek.

Spontan mata Hannah membulat saat mendengar panggilan Ibu dari laki-laki itu.

Bu? Emangnya aku terlihat kayak orang tua apa? pikirnya. Atau memang saat ini wajahnya terlihat lebih tua karena ia sedang stres?

Langsung saja tangannya buru-buru menutup kaca helm yang masih bertengger di kepalanya.

Dan rasa terpesona nya itu pun buyar, digantikan rasa tersinggung nya karena dikira ibu-ibu.

"Ya, boleh aja," jawab Hannah ketus.

Laki-laki itu kaget melihat reaksi aneh wanita di hadapannya itu.

Sementara Baim juga merasa heran dengan respon Hannah yang biasanya ia lihat selalu bersikap ramah.

Namun anak kecil mau pun laki-laki dewasa tidak akan mengerti. Bahwa bagi wanita, pantang di kira lebih tua dari umurnya!"

Tapi laki-laki itu sepertinya tak terlalu peduli dengan sikap Hannah. Ia langsung mengambil ponsel dari saku jaket dan membacakan alamatnya.

Kali ini Hannah yang terlonjak kaget, saat mendengar alamat yang ditanyakan laki-laki itu.

Karena itu adalah alamat rumahnya!

"Apa?" teriak Hannah sambil membuka kaca helm yang menutupi wajahnya. "Untuk apa? Eh, maksudku ada perlu apa datang ke sana?"

"Untuk apa?" laki-laki itu mengulang pertanyaan Hannah dengan wajah bingung.

Namun bukannya menjawab, mata Hannah malah menelisik penampilan laki-laki di hadapan nya. Penampilannya memang seperti Oppa-Oppa di korea. Dengan kaos di dalam dan mantel berwarna coklat muda di luarnya.

Ia yakin, pemuda yang ada di hadapan nya itu berasal dari kota, atau mungkin perantau yang baru pulang dari luar negeri.

Namun sedetik kemudian gadis itu tersentak.

Jangan-jangan dia adalah laki-laki yang ingin dijodohkan Abi dengan ku, pikirnya.

Laki-laki itu mengernyit, merasa heran dan risih dengan pandangan Hannah, yang terlihat jelas sedang memperhatikan penampilan nya.

"Lho, itu kan alamat rumahnya Kak Hannah," celetuk Baim sambil beralih menatap Hannah.

Bersambung...