PopNovel

Baca Buku di PopNovel

ISTRI KEDUA MAS AMAR

ISTRI KEDUA MAS AMAR

Penulis:Lotus_F

Berlangsung

Pengantar
Menjadi istri kedua dari mantan calon tunangan di masa lalu bukanlah impianku. Demi Allah, aku sama sekali tidak pernah bermaksud menjadi duri dalam daging di pernikahanmu dengan istrimu. Tidak pernah, mas. Hal itu tidak pernah terbersit dipikiranku lagi setelah kau meninggalkanku tiga tahun yang lalu. Jujur… dulu aku memang sangat mengharapkanmu menjadi imamku. Tapi, tidak dengan sekarang. Dimana kau sudah memiliki istri. Namun, sepertinya takdir berkata lain. Kata SAH yang bergulir dari bibir penghulu sontak membuyarkan lamunanku tentang masa lalu kami yang kelam. Kutatap sosok pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu dalam diam. Raut wajahnya datar, tidak ada sedikit pun rona kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Bahkan saat kuangsurkan tanganku untuk mencium tangannya, dia juga terlihat enggan memberikannya kepadaku, jika saja tidak dipelototi dengan ganas oleh Karina, istri pertamanya. Aku menghela nafas dengan lemas. Mulai detik ini aku bukan lagi wanita single. Karena aku… Nayla Fatimatuzzahra sudah resmi menyandang gelar sebagai istri kedua dari seorang pria gagah bernama Muhammad Amar Ali Thoriq. Untuk ukuran pengantin baru Mas Amar terlalu cuek menurutku, kecuali pada malam-malam tertentu. Dimana pria itu akan meminta haknya sebagai seorang suami. Dan setelah selesai, pria itu akan langsung bergegas keluar dari kamarku untuk kembali ke ranjang istri pertamanya dan melanjutkan tidur sampai adzan subuh berkumandang.
Buka▼
Bab

**

Lantunan kalam Allah yang dilafazkan oleh Mas Amar terdengar begitu merdu ditelingaku. Ayat-ayat Allah tengah diagungkan oleh Mas Amar dari dalam kamarnya dengan Karina, istri pertamanya. Sudah sekitar lima menit kakiku terpaku menapak dalam diam di depan pintu kamar mereka hanya untuk mendengar perkataan Sang Pencipta yang dibacakan oleh salah satu hambanya itu.

Pada awalnya aku tidak berniat menguping sama sekali. Tujuanku adalah dapur, karena tiba-tiba perutku mulai terasa lapar di tengah malam. Salahku juga yang tidak makan malam bersama dengan suamiku dan istri pertamanaya tadi. Dan akibatnya sekarang cacing-cacing diperutku seolah berdisko meminta untuk segera diberikan jatah makanan.

Sebenarnya aku hanya tidak ingin mengganggu makan malam pasangan itu tadi. Entah kenapa suasana akan menjadi sedikit kaku setiap kali aku memutuskan untuk bergabung makan malam bersama dengan mereka.

Akhir-akhir ini sikap baik yang Karina tunjukkan padaku sewaktu meminta untuk menikahi Mas Amar dulu, perlahan mulai terasa abu-abu. Bukannya sebagai istri kedua aku berburuk sangka, tapi perasaanku mengatakan jika ada sesuatu yang mulai berubah darinya. Tatapannya yang dulu teduh penuh perhatian, kini mulai digantikan dengan tatapan datar ketika mata mulai melihatku berkeliaran di dekat Mas Amar.

Heran. Aku sendiri juga bingung dengan sikap aneh Karina. Memangnya sejak kapan aku pernah begitu dekat dengan Mas Amar, ketika pria itu saja terlihat enggan menatapku kecuali pada saat akan meminta haknya sebagai seorang suami terhadap istrinya.

Itu pun aku ragu jika Mas Amar melakukannya dengan ikhlas, karena setelah melakukannya pun pria itu tidak akan pernah tinggal sampai pagi menjelang dan akan segera kembali ke kamar utama untuk melanjutkan tidur disamping istri tercintanya.

Sakit? Sudah biasa. Bahkan aku merasa sudah mulai mati rasa. Mas Amar benar-benar memperlakukanku seperti wanita bayaran yang sehabis digunakan akan ditinggal begitu saja tanpa penjelasan. Selalu saja seperti itu, bahkan kejadian itu sudah terjadi sejak hari pertama mereka sah menyandang gelar suami isti.

Ingin sekali bibirku ini berteriak keras didepan wajah tampannya, jika aku merupakan istri yang harus dihormatinya juga, sama denga Karina yang seringkali kudengar disanjungnya tiada henti ketika aku tidak sengaja melintas melewati mereka di ruang tamu. Tapi tentu saja keberanian itu belum pernah muncul sampai sekarang.

Namun adakalanya Mas Amar juga akan berperilaku sedikit lembut. Dan perbandingan itu hanya akan terjadi satu dibanding sepuluh, itu pun pada saat mengunjungi kamarku dengan tujuan tertentu. Alasannya untuk apa lagi? Tentu saja untuk meminta haknya. Sedangkan aku sebagai istri, pantas kah untuk menolak? Tidak.

Karena jika aku menolaknya, maka seluruh malaikat yang ada di bumi dan langit akan mengutukku sampai pagi menjelang. Na’uzubillah. Aku tidak ingin menjadi istri durhaka. Setidak aku akan menikmati semua yang digariskan oleh Allah sebelum kemudian masa-masa ini berakhir setelah aku berhasil mewujudkan keinginan pasangan itu untuk memiliki anak.

Walaupun perlakuan Mas Amar jauh dari kata baik, aku tidak pernah bisa benar-benar membencinya. Masih segar diingatanku pada waktu malam pertama kami satu bulan yang lalu. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan saat melihat tubuh kokohnya menjulang tinggi dengan baju koko dan sarung yang tersampir di pundaknya, karena kami berdua baru saja melaksanakan sholat yang di sunnahkan untuk pengantin memang yang baru saja menikah.

Tatapan Mas Amar yang sebelumnya selalu tajam, tiba-tiba digantingan dengan tatapan teduh yang sempat hilang dari pandanganku beberapa tahun yang lalu.

Tubuhku berjengkit kaget pada saat tangan besar miliknya diletakkannya di atas ubun-ubun kepalaku sebelum kemudian lantunan merdu dari surat yang dibacakan oleh pria yang malam ini sudah sah menjadi suamiku itu terdengar ditelingaku.

Ya… aku tahu ayat yang sedang dibacakan Mas Amar. Itu merupakan ayat yang juga disunnah untuk dibaca oleh suami ketika akan melakukan kewajiban mereka sebagai suami istri untuk pertama kalinya.

Sempat terlintas dipikiranku, jika sebenarnya Mas Amar juga berusaha untuk menjadikanku istri sesungguhnya yang diridhoi oleh Allah, tapi lagi-lagi perkataan yang dilontarkan pria itu setelah berhasil membawaku ke puncak tertinggi surga dunia itu, malah membuat tubuhku menggigil, saking dinginnya suara pria itu. Padahal seharusnya suhu badan mereka cukup panas untuk ukuran pasangan pengantin baru yang baru saja melewati tugas mereka sebagai suami istri yang sah dari segi hukum dan negara subuh ini.

“Berapa jumlah uang yang tawarkan Kirana padamu? Aku tau itu pasti sangat besar, bukan? Sampai-sampai wanita sepertimu tertarik untuk melakukannya. Tapi satu hal yang tidak pernah kuduga sama sekali dari wanita berjilbab panjang seperti dirimu, bahwa kau akan menjadi duri dalam daging di antara pernikahanku dengan istriku. Begitu rendahnya kah harga dirimu sekarang, sampai istriku saja sanggup untuk membelimu?

Cih… jika seandainya kau dan Karina tidak saling mengenal dulu dan aku lah bertemu denganmu kembali denganmu di suatu tempat, apakah kau juga akan menjual dirimu kepadaku ketika kutawarkan harga fantastis melebihi bayaran yang diberikan Karina kepadamu? Apakah kau...”

“MAS AMAAAR, CUKUP!!!”

Aku memekik keras. Sekilas aku dapat melihat tubuh pria yang sudah sah menjadi suamiku beberapa jam yang lalu itu tersentak kaget. Mungkin dia tidak mengira jika aku akan berteriak dengan begitu kerasnya di dalam kamar kedap suara ini. Pikiranku kalut. Semuanya terasa kacau sekarang. Apa? Bukannya semuanya memang sudah kacau sejak awal, dengus dewi batinku acuh.

“APA? Kenapa, Hah? Kau tersinggung? Untuk apa? Bukankah aku mengatakan fakta yang sebenarnya. Sekarang kau hanya wanita tidak tahu malu yang mencoba merusak pernikahan orang lain. Kenapa kau melakukan hal menjijikkan seperti ini, Nay? Apakah kau masih menyimpan dendam padaku? Seharusnya aku yang marah padamu, bukan malah sebaliknya,” ujar Mas Amar menggebu-gebu.

“Mas Amar… berubah. Dulu Mas Amar tidak seperti ini,” lirihku tanpa sanggup menatap mata Mas Amar yang sedang diliputi kabut amarah yang begitu tebal.

Mungkin iblis sedang bersuka cita dan berpesta di dalam kamar ini sejak tadi karena sudah berhasil membuat dua insan yang tadi siang baru saja mengucapkan janji suci, sekarang malamnya malah bertengkar hebat dengan suara keras. Bahkan aku dengan tidak berdosa malah membentak salah satu jembatanku menuju surga dengan kerasnya. Ya Rob… ampunilah aku.

Sunyi...

Kata-kata kasar yang sejak tadi terus dihujamkannya padaku kini terhenti. Aku mendongak menatap pria yang ternyata sudah menjulang tinggi berdiri di samping kasur tempatku terduduk dengan raut putus asa. Demi Tuhan aku tidak mau mendebatnya lebih dari ini.

Netranya yang kelam menyorot penuh dendam melihatku. Apa yang terjadi dengan priaku ini. Kenapa waktu tiga tahun sanggup merubah kepribadian seseorang seratus delapan puluh derajat? Aku hampir tidak mengenalinya lagi saat ini. Dulu Mas Amar adalah tipe pria penyayang. Bukan kasar seperti ini. Apa yang menyebabkannya terlihat seperti menaruh dendam kepadaku, Ya Allah?

“Jangan membahas masa lalu! Kau sangat berbeda dengan Naylaku yang dulu. Jika Naylaku yang dulu adalah permata, maka kau hanya seorang wanita rela menjual kehormatannya demi uang,” ujar Mas Amar dingin.

Setelah mengatakan hal menyakitkan itu pria halalku itu bergegas memperbaiki penampilannya sebelum kemudian bergerak menuju pintu untuk segera keluar dari kamar kami yang dipenuhi pernak-pernik romantis yang entah dipersiapkan oleh siapa, jika tidak kutahan dengan pertanyaan lain yang masih mengganjal dipikiranku selama ini.

***

NOTE: BERKUNJUNG JUGA KE NOVELKU YANG LAIN BERJUDUL, MODEL KESAYANGAN TUAN ALE