PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Anak Rahasia CEO

Anak Rahasia CEO

Penulis:Bougenville

Berlangsung

Pengantar
Alexandra Frissart harus pindah sekolah ke Indonesia karena kedua orang tuanya dinyatakan meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Alexa tidak pernah menyangka kepindahannya ke Indonesia akan menyingkap kehidupan sang ayah di masa hidupnya. Sang ayah ternyata memiliki putri lain selain dirinya. Hidupnya mulai tidak tenang. Teror dan ancaman kematian terus berdatangan. Siapakah peneror itu? Siapakah Cassandra dan Celli sebenarnya? Yuk! Simak kisahnya di Anak Rahasia CEO
Buka▼
Bab

Mobil yang kutumpangi bersama Oma Greta tiba di sebuah sekolah elite yang bertaraf internasional. Aku memandangi sekolah itu dengan takjub. Gedung yang terdiri dari empat lantai terlihat begitu kukuh. Aku yakin fasilitas yang ditawarkan sekolah ini sangat bagus. Maklumlah yang bersekolah di sini adalah anak-anak dari golongan menengah ke atas. Hal itu bisa dilihat dari deretan mobil mewah yang memenuhi area parkir.

“Oma, apa tidak sebaiknya aku sekolah di sekolah negeri saja?” tanyaku kepada Oma.

Oma menggeleng. “Masa cucu pengusaha terkaya di kota ini bersekolah di sekolah negeri. Enggak level, dong, Alexa,” bantahnya. Seperti biasa Oma akan bersikukuh dengan pendapatnya.

Aku hanya terdiam. Menurutku semua sekolah itu semuanya bagus, tergantung yang bersekolah, niatnya serius untuk belajar atau tidak.

“Ayo turun, Alexa. Oma mau menemui kepala sekolah,” perintah Oma.

“Oma, aku mau di sekolah negeri saja,” rengekku agar Oma mau membatalkan niatnya untuk menyekolahkanku di sekolah ini.

“Tidak, Alexa. Oma adalah penyumbang terbesar untuk yayasan ini,” ucap Oma ketus sambil memberi isyarat agar aku mengikutinya. Itu artinya aku tidak bisa membantah lagi.

Aku menurut, mengikuti langkah Oma yang berjalan menyusuri koridor sekolah. Wanita yang kini berusia enam puluh tahun itu masih terlihat anggun dan cantik dengan menggunakan pakaian kerja model kekinian. Ia terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usianya. Maklumlah, Oma sangat rajin melakukan perawatan tubuh.

Aku berjalan mengekori Oma. Mataku sibuk memperhatikan area depan sekolah. Lapangan upacara terlihat sangat luas dengan tiang bendera berdiri di tengahnya. Ada juga lapangan basket, tempatnya terpisah, tepat di sebelah kiri area parkir. Pohon cemara tampak berdiri berjejer di setiap sisi pagar, membuat sekolah ini begitu asri. Seketika bulu kuduk terasa merinding entah mengapa. Ada hawa dingin yang menjalar di tengkuk padahal tidak ada angin yang berembus. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang aneh dengan sekolah ini, tetapi apa?

Para siswa masih tampak berseliweran di depan sekolah karena bel tanda masuk belum berbunyi. Beberapa di antaranya tampak memperhatikanku. Seperti biasa, kebanyakan pandangan mereka meremehkan murid baru. Itulah sebabnya aku enggan bersekolah di sekolah elite. Strata sosial sangat diperhatikan di sini. Berbeda dengan sekolah negeri di mana semuanya membaur, tidak ada si kaya atau si miskin, semuanya sama.

Aku memandangi para siswa itu satu persatu, sama halnya denganku rata-rata semuanya berwajah blasteran. Terlihat dari bentuk wajah, warna rambut dan postur tubuh mereka yang seperti mendominasi etnis Eropa.

Aku pun memiliki wajah Indo-Belanda karena Papi adalah keturunan Belanda asli. Sedangkan Mami berasal dari Manado. Sayang keduanya telah meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas sebulan yang lalu, saat mereka hendak pulang ke rumah menemui Oma. Sebuah mobil truk menabrak taksi yang mereka tumpangi hingga hancur. Kejadian itu terjadi tidak jauh dari kompleks perumahan di mana Oma tinggal. Oleh karena itu, kini aku diasuh oleh Oma Greta, ibunya Papi.

Kami tiba di depan ruang kepala sekolah. Oma mengetuk pintu pelan. Tidak lama seorang lelaki paruh baya tampak membukakan pintu.

“Selamat pagi, Bu Greta. Bagaimana kabar Anda?” ucapnya hormat sambil menyalami Oma dan aku bergantian. “Silakan duduk.” Lelaki itu mempersilakan kami duduk di sofa yang tersedia.

“Baik,” jawab Oma lalu duduk. Aku pun mengikutinya, menempatkan diri di sebelah Oma.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya lelaki yang menjabat sebagai kepala sekolah itu.

“Perkenalkan Pak Robert. Ini cucu saya. Namanya Alexandra Frissart. Dia baru pindah dari Amsterdam,” terang Oma.

Aku mengangguk hormat kepada kepala sekolah itu. Tampak lelaki di hadapanku itu pun tersenyum ramah. Dilihat dari raut wajah dan warna kulitnya, lelaki itu sepertinya asli orang Indonesia. Ia memiliki kulit berwarna sawo matang, rambut hitam dan hidung yang tidak terlalu mancung.

“Saya ingin cucu saya bersekolah di sini,” kata Oma sambil mengeluarkan berkas-berkas kepindahan sekolahku dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Pak Robert.

“Baik. Kebetulan di kelas XII IPA masih ada bangku kosong,” ucap Pak Robert setelah memeriksa berkas-berkas yang diberikan Oma tadi. Lelaki itu lalu meraih gagang telepon dan menekan beberapa tombol angka di sana. Ia menelepon seseorang. Tidak lama seorang wanita cantik tampak memasuki ruangan.

“Ini wali kelasmu. Namanya Miss Indira. Dia juga adalah guru bahasa inggris.” Pak Robert memperkenalkan wanita itu kepadaku dan Oma.

Wanita cantik yang mengenakan blazzer abu-abu itu pun mengangguk hormat pada kami. Ia terlihat begitu ayu dengan rambut hitam ikal sebahu. Wajahnya pun putih bersih dengan bibir merah merona. Sepertinya ia juga wanita Indonesia asli.

Tidak lama bel tanda masuk pun berbunyi. Miss Indira mengajakku ke ruang kelas.

“Nanti kamu pulang dijemput Pak Bagas,” ucap Oma sebelum aku meninggalkannya. “Yang semangat belajarnya, Sayang.”

Aku hanya mengangguk lalu mengikuti langkah Miss Indira. Wanita itu menyuruhku berhenti dan menunggunya di depan sebuah ruangan yang ternyata adalah ruang guru. Ia mengambil beberapa buku dan kembali mengajakku pergi. Setelah menaiki tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua, kami pun memasuki sebuah ruang kelas. Berdasarkan keterangan Miss Indira, ternyata sekolah ini di setiap tingkat beda kelas. Lantai dua untuk kelas tingkat akhir, sementara dua lantai di atasnya untuk kelas XI dan X. Lantai dasar untuk ruangan khusus seperti ruang guru, ruang kepala sekolah, laboratorium, perpustakaan dan ruang penting lainnya.

Kami pun menuju kelas. Para siswa tampak duduk rapi di bangku masing-masing. Mereka terlihat memperhatikanku dengan saksama. Aku hanya menunduk, tidak sanggup menatap wajah dan mata mereka.

“Good morning, students. How are you?” sapa Miss Indira.

“Good morning, Miss.” Terdengar jawaban dari para siswa.

“Today, you have a new friend. Alexa, let’s introduce yourself, please!”

Aku mengangguk, lalu mulai memperkenalkan diri dengan perasaan malu. Bagaimana tidak? Kini semua mata tertuju kepadaku.

“Hello, everybody. My name is Alexandra. You can call me Alexa. I just moved from Netherland.” Aku memperkenalkan diri sambil menatap sekilas wajah mereka.

“Okay, Alexa. Please, sit,” ucap Miss Indira sambil menunjuk sebuah bangku kosong yang terletak di sudut ruangan kepadaku.

Aku mengangguk lalu melangkah menuju tempat duduk. Lagi-lagi aku merasakan ada hawa dingin yang menyergap tiba-tiba. Ini bukan efek AC atau karena suhu udara pagi, tetapi seperti ada yang menyentuh di bagian tengkuk.

Aku mengelap meja dan kursi yang tampak berdebu dengan selembar tissue sebelum duduk di sana. Sepertinya sudah lama tidak dijamah tangan manusia. Ya ampun, ternyata sekolah elite jorok juga, ya.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dinding ruang berwarna biru muda dengan ditempeli berbagai hiasan, sepertinya hasil prakarya siswa. Foto presiden dan wakil presiden tampak terpajang di depan, tepatnya di atas papan tulis. Sebuah lemari besar terletak di sudut kiri bagian depan kelas, di samping meja guru.

Miss Indira mulai menerangkan pelajaran bahasa inggris yang menurutku tidak terlalu sulit. Tentu saja karena di Belanda kami para siswa diwajibkan berbahasa inggris dalam percakapan sehari-hari dengan para guru dan teman sekelas di jam pelajaran.

Aku menyimak pelajaran yang disampaikan Miss Indira dengan saksama. Tugas yang diberikannya pun kukerjakan dengan cermat. Aku pikir sekolah di Indonesia akan terasa sulit, ternyata tidak.

Bel terdengar berbunyi. Miss Indira bergegas menyudahi proses pembelajaran dan keluar dari ruang kelas. Seorang guru laki-laki bertubuh gemuk tampak masuk menggantikan Miss Indira.

“Silakan kumpulkan tugas kemarin,” ucapnya tegas. “Yang tidak mengerjakan silakan keluar kelas. Kalian belajar di luar,” lanjutnya.

Seorang siswa laki-laki tampak berdiri, mengumpulkan tugas. Ia melukis senyum saat melewati mejaku. Setelah selesai, siswa itu menuju meja guru dan meletakkan tumpukan buku tugas di sana.

“Ada murid baru?” tanya guru itu tiba-tiba. Lelaki berkepala plontos itu menatap ke arahku.

“Yes, Sir,” sahutku sambil mengacungkan tangan.

Laki-laki itu melangkah mendekati mejaku. “Nama saya Juno. Saya adalah guru kimia. Silakan meminjam catatan teman untuk mengejar ketertinggalan pelajaran,” ucapnya dingin. “Oh ya, namamu siapa?” tanyanya lagi.

“Alexa, Sir,” jawabku.

“Oke. Kalian semua tolong bantu Alexa, ya,” pintanya kepada semua siswa lalu kembali beranjak ke mejanya kembali.

Pak Juno mulai menerangkan materi pelajaran. Aku tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam memahami materinya karena rasanya pernah belajar pelajaran yang sama di tingkat junior. Kurikulum pelajaran di sini berbeda dengan Belanda. Dua jam tidak terasa berlalu dengan cepat, akhirnya bel tanda istirahat pun berbunyi.

Seorang gadis berwajah pucat menepuk bahuku, saat aku ingin beranjak keluar kelas.

Aku terkejut dan menatap wajahnya tanpa berkedip. Sepertinya ... aku pernah melihatnya, tetapi di mana?