PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Payung Lamamu

Payung Lamamu

Penulis:Arytera

Berlangsung

Pengantar
Kisah yang dibicarakan Nada berawal dari cerita setelah pulang sekolah. Dia menjadi pemberontak, tergabung dalam geng motor, dan kasar ke sembarang orang. Karena satu hal, sebuah pernikahan di usianya yang ke tujuh belas tahun. Hidup Nada benar-benar berubah ketika mengetahui satu fakta. Seseorang yang menyematkan cincin pernikahan untuknya adalah laki-laki angkuh tak berperasaan. Nada baru saja menikah dengan seorang sosiopat. Junius, sedari tadi laki-laki itu mendengarkan kisah dari Nada. Kue ulang tahun diabaikan begitu saja. Iya, Junius baru saja memasuki usianya yang ke dua puluh lima. Hingga satu fakta membuat Nada terperangah. Junius adalah seorang laki-laki polos!
Buka▼
Bab

Aku mendengus malas. Bukan malas lagi, tetapi sudah naik pitam sampai ke ubun-ubun. Ayah mengurungku di kamar semalaman dan kini aku harus bersandingan dengan cowok bertuksedo hitam. Aku tidak tahu bagaimana detail wajah cowok itu. Sekalipun tampan, aku tidak pernah bermimpi akan duduk bersandingan di pelaminan. Iya, ini adalah pernikahan.

Gemerlap lampu-lampu cantik menerangi langit malam. Berbagai hiasan mewah digantung di sepanjang lapangan. Alunan musik klasik menguasai suasana sepanjang acara. Semakin malam orang-orang kian ramai berdatangan. Semuanya membawa bingkisan. Aku masa bodoh. Yang sedari tadi menyita pandanganku adalah sungai di sisi kanan lapangan. Sungai itu juga dihias dengan beberapa lampu kecil warna-warni. Cantik, kataku.

Mendadak pandanganku teralihkan. Musik klasik dimatikan. Sambutan dari MC membuatku semakin malas. Berharap waktu membeku saat ini juga. Selain malas, aku juga tidak siap. Ini adalah saat-saat penuh amarah bagiku. Demi apa pun aku tidak akan memaafkan Ayah. Sebuah keharusan membuatku merasa tertekan. Sedari tadi aku meyakinkan diri. Ini hanyalah mimpi!

Kini saatnya pengantin pria memasangkan cincin ke jemari pengantin wanita. Namun, aku merasa ganjil. Cowok di sampingku tidak bergerak sama sekali biarpun MC sudah memanggilnya berkali-kali. Biar aku tebak. Barangkali cowok itu juga tidak siap dengan malam ini. Aku tinggal mengumpatinya saja. Kejadian malam ini adalah salah dia.

Lantaran cowok itu tidak kunjung bergerak, kali ini aku mengalah. Aku menyelipkan jemari ke sela-sela tangannya. Kutarik tangan itu hingga kami mendekat. Aku memutar tubuh empat puluh lima derajat. Demikian juga dengannya. Aku mendongak sesaat. Bukan sesaat! Aku menatapnya sangat lama.

'Demi keteknya Bang Eun Woo. Ini muka apa tepung kanji? Filter IG aja kalah,' batinku terperangah.

Perpaduan alis tebal, bulu mata lentik, dan hidung mancung membuatku tak berkedip. Bibir tipisnya membuatku tersigar ... tidak! Jujur aku kagum dengan wajah bule tampan di depanku. Namun, aku sama sekali tidak menyukainya! Dia terlalu kaku. Lagipula aku tidak menyukai cowok dengan tubuh yang sangat tinggi sepertinya. Perhatianku benar-benar disita hingga buket bunga nyaris jatuh dari genggaman. Beruntung aku segera sadar. Kuperbaiki letak bunga di tangan lantas mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Tangan dingin cowok itu menyentuhku. Sebuah cincin manis mulai dipasangkan di jemariku. Aku meneguk ludah. Pergerakannya benar-benar kaku. Seperti orang yang takut salah mengambil langkah. Hingga deruan napasnya pun terdengar di celah pendengaranku. Sejenak aku mencuri pandang ke arahnya. Dia tengah menatapku. Tatapan yang tidak ada teduh-teduhnya sama sekali.

Sekali lagi aku bertanya dalam hati. 'Dia manusia atau bukan?'

Aba-aba mengecup tangan mempelai wanita dari MC ditanggapi dengan gelagat aneh olehnya. Dia tampak tidak tahu harus apa. Air mukanya sungguh sangat kelihatan. Tangan yang masih menggenggam jemariku semakin dingin. Aku menggigit bibir. Sejenak kuamati perubahan wajahnya. Dia semakin bingung dengan sikap gelagapan yang sangat khas.

Aku mengembuskan napas pasrah. Kulangkahkan kakiku ke depan bermaksud memangkas jarak di antara kami. Aku mengubah posisi. Jemari yang sebelumnya digenggam kini beralih menggenggam. Aku sukses membuatnya terkejut. Iya, aku baru saja menyalami punggung tangan cowok itu dengan mengecupnya sejenak. Mengecup dengan bibirku sendiri.

Ucapan-ucapan sepakat bahwa aku dengannya resmi menikah memenuhi isi kepala. Sorak-semarai membuatku gigit jari. Aba-aba agar bunga di tanganku segera dilempar ke arah tamu undangan tidak kunjung aku turuti. Aku diam. Pandanganku sepenuhnya mengarah ke papan bunga bertuliskan namaku dengan nama cowok disampingku. Nada Asweta dan Junius Yahova. Kami sudah resmi menikah.

"Pegang bunganya bareng-bareng, Bung," gumamku setengah menggeram.

Aku yakin Juni mendengarnya. Tampak tidak yakin dengan ucapan tersebut, perlahan-lahan Juni mengarahkan kedua tangan ke bunga di genggamanku. Dia ikut memegang bunga tersebut dengan sedikit menyentuh punggung tanganku. Aku mendesis. Usai setelahnya aku kembali berbicara.

"Abis ini lempar bunganya bareng-bareng ke muka bapak lo."

Dalam hitungan yang ketiga, bunga di genggaman kami berhasil melayang. Aku tertawa kecil. Tawa yang semakin lama semakin kencang hingga menghadirkan tatapan sinis dari Juni. Banyak dari tamu undangan yang juga terpingkal. Buket bunga berhasil kami lempar tepat ke muka seseorang di samping Ayah. Orang itu adalah ayah Juni. Sedari tadi aku mengumpatinya dalam hati. Resepsi pernikahan sepenuhnya rencana orang itu!

Aku kembali tenang dengan senyuman manis di bibir. Biar bagaimanapun aku masih punya rasa malu untuk menekuk wajah seperti Juni saat ini. Membicarakan dia, sejenak aku mendongak. Dia tampak semakin kaku. Mukanya memucat. Berkali-kali mata Juni mengerjap. Hingga aku benar-benar melihatnya jatuh. Cowok itu mimisan dan batuk hebat.

"Gimana sih! Ke kamar mandi dong!"

Aku membentaknya. Beruntung alunan musik klasik kembali menguasai suasana. Setidaknya suaraku tidak didengar orang banyak. Melihat Juni jongkok sembari terus terbatuk hebat, aku ikut jongkok di sampingnya. Kurangkul pundak cowok itu. Aku segera membawanya ke kamar mandi. Yang benar saja. Darah mimisan darinya menetes lebih deras. Batuknya pun semakin menjadi saja.

Jujur aku merasa miris. Lelaki itu memuntahkan seluruh makanannya. Berkali-kali diseka pun hidung tidak berhenti mimisan. Cowok itu frustrasi sendiri. Aku yang melihat hanya diam. Aku lebih memilih memojok sembari memainkan ponsel. Sekali dua kali aku mencuri pandang ke arah Juni yang tengah bergelut di depan keran tempat mencuci tangan. Dia benar-benar tampak hancur.

Satu tangannya tidak berhenti memukul keran. Juni menjerit ketika arah pandang tidak sengaja menghadap ke cermin. Cermin dipukul hingga dia kelimpungan sendiri. Aku meringis. Sesakit apa dia? Wajahnya di cermin dua kali lebih seram dari sebelumnya.

Memilih masa bodoh, aku mengalihkan pandangan ke ponsel. Men-scroll sosial media lebih bermanfaat daripada melihat gelagat berlebihan dari Juni. Toh, aku tidak pernah peduli dengannya. Pernikahan yang baru berlangsung saja sudah membuatku gila. Belum lagi Juni yang tengah berlagak kesakitan. Namun, jujur. Raut kesakitan teramat sangat kentara di wajahnya. Aku tidak bisa mengalihkan fokus darinya. Mataku kembali mencuri pandang ke arahnya.

Juni tersungkur di lantai. Pakaiannya basah. Ada bercak darah pula yang menempel di kemeja putihnya. Cowok itu mencoba mencari keseimbangan untuk berdiri. Dia berpegangan dinding hingga lagi-lagi terjadi. Juni kembali batuk. Kali ini batuk itu menghadirkan cipratan darah ke cermin. Juni memberontak hebat. Dia berbalik arah. Aku bisa melihat tangan kaku itu menyambar sesuatu dariku dan pecah sudah.

Sepersekian detik lepas suara pecahan kaca mendominasi suasana. Aku mematung di tempat. Benar-benar sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Juni baru saja melakukan hal di luar logika. Demi apa pun, aku mengutuk kejadian malam ini. Sudah cukup!

"Jun! Sakit lo!"

***