PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Rumah Bersekat

Rumah Bersekat

Penulis:Murni Senja

Berlangsung

Pengantar
Gadis itu melaju dengan kecepatan tinggi, membawa kendaraan yang dipinjamnya. Meski dia tidak pernah mengendarai motor, cintanya yang begitu besar mengalahkan rasa takut. Menelusuri jalan menuju rumah sakit. Tetapi,  kejadian sore itu, seketika membuat seluruh kekuatannya runtuh. Ternyata....
Buka▼
Bab

Kekecewaan hadir dalam kehidupan gadis itu. Setelah mengerahkan segala usaha demi mendapatkan beasiswa bidik misi. Akhirnya harus kandas sebab sakit hati.

Dia tidak pernah menyangka, penolakan cinta yang dilakukannya setahun lalu, melenyapkan harapan yang menjadi jalan satu-satunya bagi Kania.

Pegawai yang bertugas mengisi data sekolah untuk pengajuan beasiswa itu, ternyata ayah dari lelaki yang pernah mengajaknya pacaran saat kelas dua. Sedalam apakah rasa sakitnya? hingga menjadi sebuah dendam begitu lama.

Kania dan Tri mendapatkan kesempatan ikut seleksi bidik misi mewakili sekolah. Berbeda dari kota lainnya, Penerimaan itu hanya berlaku bagi siswa yang selalu mendapat juara pertama sejak kelas sepuluh. Wajar saja, namanya juga Kota Pelajar.

Minimnya informasi dan dukungan dari orang terdekat. Kania langsung patah semangat. Seakan tidak ada jalan lain yang bisa dilaluinya.

Bagi kebanyakan keluarganya yang tinggal di pelosok desa, pendidikan perempuan tidak begitu penting.

“Buat apa kuliah? Besok juga bakal di dapur.” Klise sekali bukan pernyataan itu.

Jangankan kuliah, bisa lulus sekolah menengah atas saja sudah sangat mengherankan.

“Jauh-jauh menghabiskan uang untuk bayar sewa asrama sama biaya sekolah. Besok juga jadi ibu rumah tangga,” ucap sinis para tetangga.

Desa yang berada di kaki Pegunungan Dieng, Wonosobo itu, hanya memiliki gedung sekolah sampai tingkat menengah pertama saja. Sedangkan, jika ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mereka harus pergi ke kota dan tinggal di asrama.

Karena biayanya cukup mahal. Anak dari keturunan yang berkecukupan dan orang tua yang memiliki pikiran majulah yang bisa melanjutkan belajar. Walaupun terkadang harus meminjam uang di koperasi kampung.

Kania sebenarnya ingin tetap melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur mandiri. “Besok biaya kuliah bisa diperoleh sambil bekerja paruh waktu, sambil cari beasiswa kampus.” Pikirnya bersemangat.

Lagi-lagi harus kecewa. Ibu dan bapaknya tidak memiliki uang membayar biaya pendaftaran. Lelah semakin terasa. Gadis itu memutuskan bekerja.

“Lanjut lagi setelah punya uang,” ucapnya penuh harap.

Dia bekerja di sebuah toko pakaian. Gajinya sangat kecil. Habis untuk ongkos pulang pergi setiap hari. Apalagi atasannya sangat perhitungan dan cerewet.

Kekesalannya bertambah sejak pertemuan pertamanya dengan lelaki tampan yang terpaut usia cukup jauh darinya. Kania mulai merasa tidak nyaman.

“Dengar-dengar, katanya kamu mau dijodohkan sama si Aska, ya?” tanya salah satu teman Kania ketika berada di warung ujung kampung.

“Ha, kata siapa?” Sontak gadis itu menjawab dengan ekspresi kaget.

“Bude Ani yang bilang, dia kan masih saudara,” jelas Siska lagi, “Ya sudah, aku pergi dulu. Cie....” Temannya itu menggoda Kania sebelum benar-benar menghilang.

Kania tampak bingung. Sesampainya di rumah, Ia segera bertanya pada ibunya. “Mbok, apa benar kalau aku mau dinikahkan?” ucapnya tanpa basa-basi.

“Si mbok baru dengar gosip, Aska mau melamar. Tapi belum pasti,” jawab ibunya yang masih sibuk memotong sayuran. “Kalau memang serius, pasti datang ke rumah,” lanjut wanita separuh baya itu.

Kania bergeming. Tentu saja dia tidak mau. Selain belum mengenal lelaki itu, baginya pendidikan menjadi hal utama. Setelah itu baru menikah.

Takut jika benar lelaki itu datang melamar. Gadis berparas manis itu berusaha memikirkan cara agar bisa pergi. Akhirnya paman Kania yang berada di Bekasi, menawarkan untuk mencoba mengadu nasib di pabrik-pabrik besar di sana. Setelah meminta restu kedua ibu-bapaknya, dia berangkat ke kota yang terkenal begitu keras.

“Hati-hati di sana, Nduk. Jaga diri, harus hemat, dan jangan mudah percaya sama orang baru. Jangan tinggalkan ibadah.” Nasehat ibunya sambil berlinang air mata.

“Nggih, Bu,” jawab Kania seraya mencium punggung tangan keduanya bergantian.

Travel berwarna hitam, yang biasa mengantar penduduk kampung pergi keluar daerah itu membawa Kania menuju kota.

Butiran bening melintasi pipinya dengan tatapan kosong ke arah jendela. Selama ini dia tidak pernah jauh dari ibunya. Akankah dia baik-baik saja di tanah rantau nanti? Jalani saja. Begitulah nalarnya.

Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sembilan jam perjalanan, karena harus mengantar semua penumpang sampai depan rumah kontrakan. Punggung terasa panas duduk selama itu. Apalagi ini pertama kali bagi Kania pergi jauh. Masih belum terbiasa.

“Sampai juga akhirnya, Nak,” ucap bibi yang menyambutnya di depan rumah.

“Alhamdulillah, Bude,” jawab Kania sembari menyalami paman dan bibinya.

“Pasti capek banget, istirahat dulu di kamar.” Ajak istri pamannya itu menuju kamar.

Gadis itu segera meletakkan barangnya di atas kasur. Kemudian membersihkan diri sebelum menata pakaian di lemari.

“Sudah mandinya? Makan dulu sini, bude buatkan teh hangat juga,” ucap wanita itu yang tangganya masih mengaduk minuman.

Kebetulan perutnya mulai keroncongan. Tanpa berlama-lama dia segera menerima tawaran. Meskipun tidak terlalu kenyang. “Malu di rumah orang,” ucapnya dalam hati.

Keesokan harinya Kania mencari informasi lowongan kerja di grup akun media sosial. Ternyata banyak sekali teman-teman sebayanya mencari pekerjaan.

Dalam komunitas itu banyak juga yang sudah bekerja. Biasanya mereka akan berbagi informasi penerimaan karyawan di perusahaan tempat bekerjanya, atau melihat spanduk yang terpasang di depan pabrik ketika melewatinya.

Perusahaan besar di Jabodetabek kebanyakan berada di sebuah kawasan. Sehingga sangat memudahkan pelamar yang sedang ngebolang. Sebutan bagi para pencari kerja saat berkeliling di area pabrik.

“Bude, tempat fotokopi di mana, ya?” tanya Kania.

“Adanya di depan, Nak. Nanti minta anter Lana saja,” jawab wanita itu kemudian memanggil putrinya. “Sayang, anter kak Kania ke depan.”

Terlihat sedikit malas, anaknya datang menghampiri.

“Mau ke mana, Kak?” tanya saudara sepupunya.

“Beli kertas dan keperluan untuk kirim lamaran, Dek.”

Tanpa bertanya lagi, sepupu Kania segera berjalan menuju tempat parkir motornya. Dengan maksud, meski tanpa memberi tahu, kakaknya itu langsung mengikutinya.

“Enggak sopan banget sih,” bisik Kania dalam hati.

Kania memang lahir dan besar di Jawa, tetapi logat bahasanya tidak terlalu kentara. Mungkin karena orang tuanya berbeda suku. Apalagi sejak tinggal di asrama, dia memiliki banyak teman dari luar daerah.

Begitu juga bibinya. Selalu menggunakan bahasa Indonesia, karena sejak remaja sudah hidup di perantauan.

Melihat orang yang tidak ada niat membantu itu selalu menciptakan rasa enggan dan malas. Itulah yang di alami Kania.

Jika bukan karena terpaksa, tentunya gadis itu akan pergi sendiri.

Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangannya. Kania tak kunjung bekerja. Sudah tidak terhitung berkas yang dia kirimkan. Semua itu harus ditulis dengan tangan serta menghabiskan banyak biaya.

Bibinya yang memiliki hubungan sedarah itu mulai sedikit cerewet. Mungkin dia merasa, bahwa zaman sekarang masih sama dengan dia dulu mencari kerja. Sebelum adanya media informasi yang begitu canggih masa kini.

“Keliling sana ke kawasan, kalau selalu di dalam kamar mana dapat,” ucap istri adik ibunya itu sedikit sinis.

Kania bergeming. Apa gunanya teknologi jika harus berjalan mencari sesuatu yang tidak pasti. Semua pabrik akan selalu memberikan pengumuman jika sedang ada penerimaan karyawan.

Hampir semua perusahaan selalu menerima lamaran yang dikirim langsung ke satpam. Barulah dia akan pergi. Lagi pula uang sakunya tidak terlalu banyak. Sehingga Kania harus lebih cerdas dan hemat.