PopNovel

Baca Buku di PopNovel

NICE TO LOVE YOU

NICE TO LOVE YOU

Penulis:Bonanza Girl

Tamat

Pengantar
Vania kira hubungannya dengan kekasihnya Dio akan berjalan dengan lancar. Nyatanya, dia hanya wanita simpanan Dio. Dio sudah bertunangan dengan Rosa, teman sekaligus atasan Vania di Cakra TV. Karena itulah, Rosa mendendam pada Vania. Dia memberikan tugas berat pada Vania. Vania capek dengan perilaku Rosa. Rasa capek itu bertambah ketika Dio masih mengejar-ngejar dirinya. Di saat itulah, dia bertemu dengan Hayam. Pria itu adalah mantan sugar Daddy Vania dan sekarang sedang mencalonkan diri sebagai calon bupati di Sleman, Yogyakarta. Hayam ternyata masih mencintai Vania. Siapakah yang akan Vania pilih nantinya?
Buka▼
Bab

Suara desahan tertahan Vania terdengar mengisi kamar. Dio mengusap lembut punggung telanjang Vania dan terus melumat bibir manis Vania.

Vania menarik bibirnya. Dia nyaris kehabisan napas karena lumatan bibir Dio yang begitu dalam.

Napas Vania kembali kembang-kempis tak beraturan. Dia meraup banyak oksigen untuk mengisi kembali ruang paru-parunya yang sudah nyaris kehabisan oksigen itu.

“Vania, kamu cantik sekali,” puji Dio dengan manisnya.

Vania menatap wajah kekasihnya itu. Namanya Dio Eka Prayoga. Dia adalah seorang fotografer ternama dengan nick name “D”.

Pertama kali Vania mengenal Dio saat dia sedang liputan pameran lukisan. Di sana, dia dan Dio mengagumi satu potret lukisan realisme yang memotret keindahan Gunung Merapi di saat pagi hari.

Dari sana, percakapan ringan antara Vania dan Dio dimulai. Dio bisa dengan puitisnya merangkai kalimat indah untuk mendeskripsikan alam Gunung Merapi yang selalu Vania kagumi itu.

Akhirnya mereka saling bertukar nama dan kartu nama. Saat akan berpisah, Dio memanggil Vania lagi.

“Apa kamu ada waktu luang akhir pekan ini?” tanya Dio pada Vania waktu itu.

Vania terkejut sesaat. Namun, dia mengulas senyuman beberapa detik kemudian. Ada sebuah dorongan abstrak yang membuat Vania menganggukkan kepala.

“Iya, hubungi saja nomorku di kartu nama itu,” jawab Vania sebelum berlalu dari hadapan pria itu.

Mereka pun bertemu pada akhir pekan. Obrolan terjadi di antara mereka semakin intens. Selang dua minggu, mereka berpacaran. Kini hubungan di antara mereka sudah berjalan genap tiga bulan lamanya.

“Vania, mau kan satu kali lagi?” Dio menatap Vania dengan pandangan ingin. Pria itu memiliki lesung pipi yang indah. Kulitnya yang berwarna cokelat gelap terlihat begitu seksi. Apalagi, saat berkeringat usai bercinta di atas ranjang.

Vania tergoda dan nyaris menganggukkan kepala. “Jangan ah,” tolak Vania.

“Why?” balas Dio. “Kamu pasti pengen lagi, kan?”

Vania menggigit bibir bawahnya. Jika ditanya seperti itu, tentu saja dia masih ingin bercinta dengan Dio.

Dio memiliki tubuh kekar, wajah manis, dan stamina yang kuat. Pria yang lebih muda tiga tahun darinya itu sungguh menggoda. Vania memang kesulitan untuk menolak pesonanya.

Wajah Dio kembali mendekati wajah Vania. Pria itu sudah bersiap untuk memagut dan melumat bibir merah muda Vania yang sedikit tebal dan seksi itu.

Tangan Vania bergerak menutupi mulutnya. “Jangan. Besok aku harus liputan pagi. Sekarang sudah pukul dua malam. Aku mau mandi dan istirahat,” terang Vania.

Vania langsung bangun dari posisi berbaringnya. Dia melangkah dengan tubuh telanjangnya menuju kamar mandi.

“Sayang, mau aku temani mandi?” teriak Dio. Dia berusaha untuk tetap menggoda Vania. “Aku bisa menggosok tubuhmu hingga bersih.”

Vania menatap wajah Dio dari dalam kamar mandi. “Next time, Babe,” jawab Vania. “Aku tidak mau ada ronde berikutnya.”

“Argh, damn it! I’m craving your sexy body!” seru Dio frustasi.

“Do it alone,” sahut Vania dengan kekehan tawa kecilnya.

Suara pintu tertutup terdengar. Vania mengunci pintu kamar mandi dan segera menyalakan shower.

Dia mandi secepatnya. Tangannya meraih bathrobe dan mengenakannya untuk menutupi tubuhnya agar tak telanjang. Baru kemudian, dia melangkah keluar.

Saat membuka pintu kamar mandi, tampak Dio sudah menanti di depan kamar mandi. Pria itu sama sekali tak mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. He’s so hot, desis Vania dalam hati.

Jantung Vania berdebar keras. Hasratnya kembali menggebu melihat Dio yang tengah menggodanya.

“Wanna do it again?” tanya Dio. Pria itu kembali menggoda dengan sangat intens.

“Nope! I’m sleepy. Next time, Babe,” Vania melangkah keluar dan mencium pipi Dio. Lantas, dia melangkah menuju kasur. “Cepat mandi. Aku butuh tubuhmu sebagai guling agar aku bisa tidur lelap.”

“Ya, ya,” sahut Dio sedih.

Pria itu melangkah ke dalam kamar mandi. Tak berapa lama, Vania bisa mendengar suara air shower mengalir.

Vania mengulas senyuman manis. Dia bisa melihat betapa imutnya Dio.

“Pacaran dengan pria muda memang selalu mendebarkan,” ujar Vania. Dia melangkah ke kasur. Pandangannya takjub melihat sprei dan sarung bantal sudah terganti baru semua.

“Benar-benar rajin,” puji Vania dengan senyuman bahagianya.

Tubuh Vania rebah begitu saja di atas kasur. Dia mengambil selimut dan menutupi tubuhnya dengan rapat. Dalam waktu singkat, Vania sudah menutup matanya. Dia tidur seperti balok kayu.

Keesokan harinya, Vania bangun pagi sekali. Dia sudah mandi dan berganti pakaian kerjanya yang dia simpan dalam tas ranselnya.

“Babe, aku pergi kerja,” pamit Vania. Dia mencium bibir Dio sekilas.

“Kamu tidak mau cuti?” tanya Dio heran. “Kita bisa bercinta seharian. Aku libur.”

“Aku harus membayar cicilan rumahku,” balas Vania.

“Oh, ayolah? Aku bisa membantumu membayar semuanya,” tutur Dio.

Tawa manis Vania mencelos keluar. “Sok kaya kamu. Gajimu saja di bawahku,” ujar Vania.

“Seorang laki-laki kan harus bisa diandalkan,” terang Dio dengan harga dirinya.

“Kamu masih muda. Kita nikmati saja hubungan ini dengan santai,” tutur Vania. Dia meraih tasnya dan mengenakannya di punggung. “Nanti kalau kita memang sungguhan cocok, kita bisa menikah. Tapi, jika kita tidak cocok, kita putus dengan cara yang baik. Okay?”

“Jangan bicara soal putus. Aku senang menjadi pacarmu,” protes Dio sedih. Pria itu menatap Vania dengan pandangan penuh harap. “Aku ingin menikah denganmu.”

“Benarkah?” goda Vania. Dia tak tahu apakah Dio serius atau hanya bercanda.

“Aku serius Vania,” balas Dio dengan pandangan tegas.

“Benarkah?”

Dio mengangguk. Dia melangkah turun dari kasur dan membuka laci nakasnya. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak mungil berwarna merah. Dia melangkah mendekati Vania.

“Sini tangan kirimu,” ujar Dio.

Vania menatap bingung. Namun, dia tetap mengulurkan tangan kirinya pada Dio.

Dio membuka kotak itu. Ada sebuah cincin bermata sapphire di dalamnya. Dio mengambil cincin itu dan memasangkannya di jari manis Vania.

Hati Vania berdebar karena itu. Dia tak menyangka Dio akan seserius ini menjalin hubungan dengannya.

“Vania, maukah kamu menikah denganku?” tanya Dio. Dia menatap Vania sambil menggenggam erat jemari tangan Vania.

Hati Vania terharu melihat semua tindakan Dio itu. Dia tak pernah menyangka Dio akan melamarnya di pagi hari yang sibuk ini.

“Aku harus menjawab apa? Aku mau kerja,” tutur Vania menggoda.

“Terima aku. Itulah jawaban yang paling tepat,” usul Dio dengan senyuman lebar. “I’ll let you go after you say yes. Okay?”

Tawa manis Vania terdengar. Dia tersenyum lebar dan memberikan anggukan. “Yes. I’ll marry you as soon as possible,” jawab Vania seperti yang diinginkan oleh Dio.

“YES! Yuhuu!” seru Dio bahagia. Dia melompat riang dan memeluk tubuh Vania dengan erat. “Thank you, Vania. I love you. You’re the light of my life. You’re the love of my life.”

“Me, too. I love you too, Dio,” Vania memutuskan membalas pelukan Dio. Dia menikmati kehangatan tubuh pria itu dengan hati bahagia.

Sebuah lamaran yang sederhana tapi manis. Vania jadi semakin bersemangat menjalani pekerjaannya sebagai seorang reporter di salah satu televisi swasta nasional bernama Cakra TV itu.

Vania sudah bekerja di sana selama lima tahun. Waktu yang cukup lama. Dia menjadi salah satu presenter andalan untuk area Yogyakarta dan sekitar.

“Van, good mood banget sih?” sapa Rosa.

Perempuan berpakaian modis dan berambut panjang itu duduk di depan Vania. Siang ini Vania sudah selesai liputan dan dia memutuskan makan siang di kantin kantor.

“Hai, Ros,” Vania tersenyum lebar.

Rosa adalah teman sekaligus atasan Vania. Rosa adalah pengarah topik liputan yang dilakukan oleh Vania.

“Gimana? Seru ya liputannya?” tanya Rosa. Dia bergabung makan siang bersama Vania.

“Iya. Seru kok. Narasumbernya santai. Aku jadi bisa dapat banyak materi,” terang Vania. “Mau dibagi jadi beberapa berita dengan beberapa angle pun nggak masalah. Aku wawancara beberapa orang di bidang lainnya untuk mengulas soal desa wisata.”

“Okay. Nanti aku lihat hasil rekamannya saja ya,” tutur Rosa.

Pandangan Rosa melirik ke arah jari manis tangan kiri Vania. Sebuah cincin bermata sapphire yang mahal melingkari manis di sana. Rosa penasaran siapakah orang yang memberikan cincin itu pada Vania.

“Cincin dari siapa?” tanya Rosa ingin tahu.

“Ah, ini dari pacarku,” jawab Vania malu tapi bahagia. “Hari ini dia melamarku.”

“Benarkah?” bola mata Rosa membulat lebar. “Selamat ya!”

“Iya,” Vania semakin lebar senyumannya.

“Aku penasaran seperti apa pacarmu. Dia kan baru mengenalmu tiga bulan ini. Tapi, dia sudah berani mengajakmu menikah,” terang Rosa kagum.

“Dia bahkan tiga tahun lebih muda dariku,” bisik Vania dengan penuh bangga.

“Luar biasa!” Rosa menggelengkan kepala takjub. “Mau double date tidak? Aku mau ketemu dan kenalan sama dia.”

“Boleh. Kapan?” balas Vania penuh semangat.

“Weekend ya? Aku kirim alamatnya ke kamu nanti,” ujar Rosa.

“Okay,” sahut Vania senang.

Usai makan siang, Vania menyempatkan diri menelepon Dio. Dia memberitahu soal rencana double date bersama dengan Rosa.

“Rosa itu atasan dan teman baikku. Dia yang membantuku selama ini,” ucap Vania. “Mau kan kamu ikutan double date bersama Rosa?”

Dio tak segera menjawab. Pria yang biasanya cekatan menanggapi Vania itu tampak enggan ikut double date.

“Halo? Dio?” sapa Vania karena Dio diam terlalu lama.

Bukannya jawaban yang Vania dapatkan. Telepon malah terputus begitu saja.

Vania mencoba menghubungi Dio lagi. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Hati Vania jadi cemas melihat perubahan aneh dari sikap Dio itu.