PopNovel

Baca Buku di PopNovel

NOREN

NOREN

Penulis:Yoshifa

Berlangsung

Pengantar
Ada yang mengganjal sejak kepindahanku ke rumah ini, mata batinku terbuka lagi menyebabkan diri terusik oleh jiwa-jiwa tak terlihat. Keharmonisan keluarga pun ikut terombang-ambing. Aku membantu arwah gadis yang bersemayam di sini untuk mencari keberadaan orang tuanya. Mengungkap titik balik dari kasus hilangnya orang tua gadis itu hingga tiba pada saatnya, kami saling menumbuhkan rasa terlarang. Nyaris terperosok dalam jurang kesesatan dan setelahnya tersadar, bahwa drama kehidupanku saling memiliki ikatan kuat di masa lalu. "Kau ikut aku atau aku kacaukan hidupmu?" "Aku tidak bisa memilih, lebih baik kau meninggalkan rumah ini. Jangan ganggu hidupku lagi, urusanmu denganku sudah selesai." "Tidak, ini sama sekali belum selesai. Aku mencintaimu, aku harus mendapatkanmu."
Buka▼
Bab

"Ma, Pa! Sini temenin Noren main!" Seorang gadis yang sedang asyik bermain dengan kelinci peliharaan di atas rerumputan hijau, memanggil orang tuanya yang sedari tadi duduk romantis di teras.

Namun, sayang, mereka hanya tersenyum dan mengangguk. Terpaksa ia melanjutkan bermainnya dengan kelinci putih kesayangan. Setahuku, hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-15, acara tiup lilin sudah dilaksanakan tadi pagi. Gaun merah muda dihiasi bunga-bunga dan bando hitam lebih mempersolek tubuhnya.

Itu sebabnya, ibu dan ayahnya meluangkan waktu di hari Kamis ini hanya untuk merayakan ulang tahun gadis tersebut. Akan tetapi, mereka malah berduaan dengan romantisnya membuat anaknya iri.

Sang ayah tampak membisikkan sesuatu kepada wanita di sampingnya yang membuat wanita berusia 39 tahun itu tersipu malu. Entah apa yang dikatakan oleh pria barusan hingga membuat istrinya seperti itu? Lalu, tiba-tiba mereka beranjak masuk sembari bergandengan.

Mungkin ada urusan yang harus mereka lakukan, kulihat perempuan asing itu pun acuh tak acuh saja. Kudengar, gaun merah muda yang dikenakannya akan dijadikan pakaian paling spesial karena tahun-tahun sebelumnya ia hanya dibelikan kue ulang tahun saja, tidak dengan pakaiannya.

"Ah!" Terdengar seperti seseorang memekik kesakitan di dalam sana. Aku yang tengah mengendap-endap di luar pagar rumah ini ikut panik. Ada apa di dalam sana?

"Noren!"

Seseorang memanggil nama itu, tapi kulirik ke segala arah tak ada siapa-siapa. Aku cepat-cepat menunduk serta menutupi wajah dengan telapak tangan, takut jika 'Noren' menghampiri dan menanyaiku.

Ia sempat melihat ke tempat di mana aku mengintip, tapi untungnya tak dicurigai. Kulihat gadis tersebut menarik napas diiringi kedua tangan yang terangkat, setelah itu mengembuskannya perlahan. Kaki jenjangnya dilangkahkan ke dalam rumah, kesempatan bagus. Aku harus mengikutinya juga agar mengetahui apa yang terjadi di sana.

Saat sampai di sana, gadis yang dipanggil Noren ini mencari kedua orang tuanya ke setiap penjuru ruangan. Diperiksanya seisi kamar mereka yang sedari tadi tertutup, tidak ada. Kemudian, beranjak ke dapur, tidak ada juga.

"Mama, Papa! Kalian ada di mana?!" panggilnya dengan suara lantang.

Tersisa tiga tempat lagi yang belum diperiksa. Kamar mandi, halaman belakang, dan gudang. Ia mencari ke semua arah itu, tetapi nihil. Rasa penasaran dalam diri ikut menc mana mereka? Noren sepertinya semakin kalut. Tak dipungkiri, air matanya mengalir begitu saja. Apa mereka diculik orang?

"Ah, ya! Aku harus berkeliling bertanya kepada tetangga!" Ia mengusap buliran bening yang luruh, kemudian berlari cepat keluar.

Sementara aku mengekornya dari belakang, ia sama sekali tak menyadari jika ada yang mengintai dirinya dari balik pohon tua besar yang terletak di samping rumah kosong.

****

Satu jam berlalu sejak aku terus mengikuti langkahnya, sama sekali tak menemukan kedua orang tua itu. Sudah ia cari sampai keluar pedesaan kecil ini, tetapi tak berhasil. Langit mulai terlihat tak bersahabat, Noren berjongkok di pinggiran jalan sembari menutup wajah. Lantas, ia berjalan lunglai ke arah sebelumnya.

Tak lama kemudian, kami sampai lagi di rumahnya. Gadis berperawakan langsing tersebut masuk ke tempat dirinya tinggal dan kembali memanggil ibu ayahnya.

Aku berfikir agak aneh, di sini banyak rumah, tapi kenapa sepi sekali seolah tak berpenghuni? Di sini pula, aku seperti tak terlihat oleh orang lain. Tidak, aku masih hidup, kan?!

"Mama, Papa! Kalian di mana?! Jangan buat aku cemas dan takut kehilangan kalian!" teriaknya seraya terisak hebat, menjambak rambut yang mulanya tersisir rapi. Air mata gadis itu terus menganak sungai, siapa yang tak tega melihatnya ketakutan?

Aku mendekat ke arahnya yang sedang bersandar di tembok, mumpung tak terlihat dari situ juga aku mendengar ia mengucapkan sesuatu dengan lirih.

"Aku hanya dapat berharap mereka kembali dalam sekejap mata, mengharap mereka ingin mengerjaiku saja, dan mereka ... dalam keadaan baik-baik saja."

Setelah itu, tubuhnya ambruk ke atas lantai.

"Hah!"

Aku bangkit dari tidur dengan badan berpeluh juga napas tersengal-sengal. Ponsel yang tergeletak di atas nakas diambilnya, ternyata baru pukul empat pagi. Malas kalau harus berkegiatan sepagi ini, aku memutuskan untuk kembali tidur, tetapi sebelum itu aku memikirkan serangkaian adegan mimpi barusan dan bertanya-tanya, siapa gadis bernama Noren?

Aku mengerutkan kening sekejap, mencoba mengingat-ingat keseluruhan adegan mimpi yang kiranya tergambar jelas. Hasilnya cuma ingat bagian ketika ia memanggil orang tuanya juga seseorang memperhatikannya.

****

Tiada hari tanpa percekcokan, mungkin itulah kalimat yang perlu kutulis besar-besar lalu dipajang di setiap sudut rumah. Baru selesai tadi malam berdebat pasal kebiasaan burukku menukar-nukar bangku kelas ketika seluruh siswa istirahat, sekarang debat lagi tentang sekolah, hanya beda tema.

Banyak yang bilang, termasuk Papa, jika aku ini seorang yang punya kebiasaan abnormal. Namun, itu semua kulakukan atas dasar bosan dengan kehidupan yang serba monoton ini.

"Ma, ayolah. Aku males kalau harus terus-terusan beradaptasi di lingkungan baru kayak gini. Udahlah, nggak usah balik ke Indonesia lagi, biar Papa aja sendiri," gerutuku sambil melempar ponsel ke atas sofa.

Percuma, Mama tetap bersikukuh dengan pilihannya. Setelah mengoceh panjang lebar lagi, kami saling diam hingga akhirnya aku membuka suara.

"Ma, Pa. Gini, aku tahun depan kelulusan dan mulai masuk SMA. Kalau semisal pindah sekarang, terlebih ke Indonesia, apa nggak nanggung?"

Aku yakin, mereka akan memutar otak tentang ini, lalu tak jadi pindah sekolah. Wanita beranting emas itu menutup toples berisi makarun, memandangku lekat-lekat, dan menghela napas.

"Ya sudah, kalau gitu nilai matematika kamu harus di atas rata-rata."

Kenapa harus matematika? Bukankah Mama tau aku tidak benci hitung-hitungan. Daripada memperpanjang pembicaraan, aku mengiakannya.

"Papa juga akan turuti kemauan kamu. Tapi ingat, suatu saat pasti akan berubah pikiran, mau nggak mau kamu harus mengikutinya." Tiba-tiba, pria berkumis tipis itu keluar dari kamar menyahut pembicaraan kami.

Cukup senyum simpul untuk menanggapinya, hati benar-benar sudah lelah berdebat. Kebetulan, temanku menelepon sebab sudah menunggu di depan rumah. Hari ini, salah seorang sahabatku mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya, aku turut senang karena bisa terbebas dari omelan orang-orang rumah.

Aku berpamitan pada mereka, sebelum benar-benar keluar ruangan, sempat terdengar Papa mengatakan sesuatu.

"Anakmu aneh banget. Cocok jadi pemimpin rakyat Bikkini Bottom yang penduduknya abnormal itu."

Ya, entahlah sepertinya aku memang abnormal.

Beberapa saat di menaiki kendaraan dan menjemput teman lain, kini kami tengah berjalan sembari bercanda melewati gang sepi. Aku terlalu asyik bercanda hingga bertabrakan dengan pria tak dikenal.

Nyaris saja tubuh ini terjengkang, aku sempat meminta maaf saat pria bermasker hitam itu membenarkan jaketnya. Namun, tak diberi respon dan justru melengang begitu saja. Sepertinya ... pisau kecil yang tergeletak di aspal ini juga miliknya yang terjatuh. Aku hendak mengembalikan, tapi ditahan oleh teman-teman. Biarlah, akan kugunakan untuk membantu memotong daging nanti.