PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Pernikahan Sembilan Puluh Hari

Pernikahan Sembilan Puluh Hari

Penulis:Siti Marfuah

Tamat

Pengantar
"Pernikahan tiga bulan, apa maksud semua ini, juragan? Apa Juragan mau bermain-main dengan pernikahan?" Pekik Runa tak habis pikir dengan sosok rupawan berdiri angkuh di depannya. "Apa Juragan tidak menginginkan pernikahan ini?" Selidik Runa ingin tau. "Hm! Jangan pernah berpikir, meski jadi kembang desa lantas aku akan tertarik padamu. Aku mau menikahimu karena desakan dari ayahku, bukan atas dasar cinta!" Ucapan lantang seorang Tristan yang dipanggil juragan muda oleh warga desa, telunjuknya terhidang di hadapan wajah Runa. Gadis itu membelalak tanpa berkedip. Lengkap sudah penderitaannya kini, setelah ditinggal pergi oleh sang Bapak, ia masih harus dihadapkan dengan pernikahan sesulit ini. Aruna menikah dengan Tristan karena hutang sang Bapak, yang hingga meninggal belum bisa membayarnya. Pria itu malah membuat kontrak pernikahan dengan Aruna, sampai sembilan puluh hari ke depan. Bagaimana kisah mereka, apakah perpisahan atau bersatu yang akan menyambangi hidup mereka? Kawan, ikuti novelku sampai akhir, ya. Selamat membaca. Terimakasih.
Buka▼
Bab

Di pemakaman sebuah Desa yang sunyi dan sepi. Seorang gadis berusia dua puluh dua tahunan, sedang duduk meringkuk memeluk nisan yang di kanan kirinya bertabur bunga segar.

"Bapak, aku harus bagaimana? Aku nggak punya siapa-siapa lagi sekarang," Lirih gadis berambut panjang lurus itu. Sesekali bahunya bergetar, seiring dengan isakan lembut yang menemani kesendiriannya.

"Kenapa Bapak secepat ini, meninggalkan aku?" Lirihnya lagi. Kali ini getaran bahunya semakin kencang, berguncang.

Air matanya telah menganak sungai, membuat kedua pipinya basah. Kedua mata satu berhias bulu lentik itu membengkak. Ada kantung mata hitam di bawahnya, pertanda telah beberapa hari ia kurang tidur.

Baru kemarin, gadis yang diwisuda beberapa hari lalu itu ditinggal oleh sang Bapak. Bapak tercinta yang selama ini menghidupinya seorang diri, karena istrinya telah lama meninggal.

Hingga beberapa saat, gadis yang sering dipanggil Runa itu berada dalam posisinya. Memeluk batu nisan, seperti ia memeluk Bapaknya selama ini. Ia mencurahkan air mata sampai puas, sampai berjam-jam. Sampai ia lelah dan ingin pulang, meski sebenarnya di rumah pun bingung hendak berbuat apa.

Ia bangkit membawa badan berat dan hati yang masih remuk redam.

"Aruna pulang ya, Pak. Bapak baik-baik di sana," Ucapnya seraya menggerakkan kaki. Menjauhi gundukan tanah itu, keluar dari pemakaman.

Di luar pemakaman, ada beberapa orang bekerja di sawahnya. Menoleh ke arah Aruna dengan tatapan iba.

"Sabar, nduk," Ucap seorang wanita yang mengenakan topi dari bambu itu. Aruna hanya merespon dengan senyuman getir, tak bisa lagi menjawab apapun.

"Kamu tadi sudah makan apa belum? Kalo belum, nanti ke rumah Bulek saja, ya," Wanita tadi menawarkan.

Mereka adalah beberapa tetangga yang selama ini selalu baik padanya. Suasana di desa seperti ini, Orang-orangnya memang selalu baik pada sesama, saling membantu dan bekerjasama. Seolah mereka adalah satu jiwa yang saling memiliki rasa.

Sehingga apapun yang terjadi pada tetangga sekitar, mereka akan memperbincangkannya, seperti masalah mereka sendiri.

"Makasih, Bulek. Makanan semalam masih banyak," Jawab Runa dengan suara serak. Ia tak pernah berfikir untuk ini, sebatang kara pada usia yang masih muda.

Meski ia telah lulus menjadi seorang sarjana seperti yang didambakan, tetapi masih minim pengalaman hidup. Ia belum pernah bekerja, belum pernah merambah dunia pekerjaan untuk mencari penghidupan itu seperti apa.

"Bener, masih ada makanan? Jangan sampai lupa makan lho, ya," pesan dari wanita tadi. Tangannya masih sibuk mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar batang padi.

"Iya, Bulek. Saya pulang dulu," Runa menyahut. Dengan kaki lunglai, ia terus berjalan menyusuri jalanan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi rerumputan liar dan ilalang.

Dunia tumbuhan itu seperti turut merasakan kepedihan di hati Runa, yang melangkah pelan dengan wajah tertunduk. Sesekali menyeka wajah dengan sebelah tangan, mungkin ada air mata yang terus saja berjatuhan.

Kini ia melewati sawah milik mendiang sang Bapak. Sawah tak seberapa luas, peninggalan dari Kakeknya. Ia menghentikan langkah di depan pematang sawah tiga petak itu, berdiri mematung dengan tatapan menerawang.

Masih teringat jelas olehnya, ketika sang bapak setiap hari berada di sawah ini. Bekerja, menanam apapun yang bisa dijual untuk menghidupinya.

Bahkan cangkul yang digunakan sang Bapak bekerja kemarin masih tergeletak di sana. Ia tak percaya, jika pekerjaan itu hingga membuatnya pingsan, lantas memisahkan nyawa dari raga.

"Bapak. Selama ini pasti kelelahan ngurusin aku, kenapa diam saja?" Lirihnya lagi.

Air mata yang ia tahan sejak tadi, kini kembali mengalir deras hingga membuat pemandangannya menjadi kabur.

Tak ingin berlama-lama di tempat itu, ia kembali meneruskan langkah. Berjalan menuju rumah yang jaraknya tak jauh lagi di sebelah sana.

Ia seketika berhenti dan menyusut air mata hingga tak tersisa. Ia melihat, di depan rumahnya itu ada sebuah mobil mewah, juga dua orang pria dewasa berpenampilan bagus. Muncul berbagai tanya dalam benak, ada apa mereka datang kemari. Selama ini ia tak pernah merasa berurusan dengan keluarga kaya itu.

"Dari mana kamu, nduk? Saya sudah nunggu lama di sini," Tanya pria setengah abad itu dengan wajahnya yang selalu tegas. Ia adalah keluarga terkaya di desa ini.

"Dari makam Bapak," Jawabnya penuh keraguan. Hatinya masih diliputi rasa tanya akan kehadiran orang penguasa pertanian di desa ini.

"Ada perlu apa, Bapak datang ke rumah saya?" Tanya Runa lagi. Kali ini dengan memasang mata awas pada dua pria berbadan tinggi besar itu. Perawakannya berbeda jauh dengan petani di sini, yang kurus kering karena setiap hari terkurung dalam pekerjaan kotor, kasar dan terpanggang dibawah terik sinar mentari.

"Ada perlu sama kamu. Boleh saya masuk?" Tanya pria yang orang-orang desa memanggilnya dengan Pak Hermanto. Ia kadang berada di desa ini, kadang pula menghilang beberapa bulan yang mereka tak tau apa urusannya.

Gadis berwajah Ayu itu mengangguk perlahan, mempersilahkan kedua tamunya masuk. Kini ketiganya duduk di ruang tamu sederhana. Hanya ada tikar membentang dengan gelasan air mineral berserakan di sana-sini.

Bekas pelayat kemarin masih ada. Mungkin gadis itu belum memikirkan untuk membereskan lagi rumahnya. Toh hingga tujuh hari ke depan, rumahnya akan terus ada orang untuk mendoakan kepergian bapaknya.

"Mau minum apa?" Runa membuka percakapan, karena hingga beberapa saat kedua tamunya itu hanya berkeliling pada tiap sudut ruangan dengan pandangan matanya.

"Oh. Nggak perlu. Kita langsung bahas saja apa yang jadi tujuan saya datang kemari," Pria kaya itu menjawab, membuat Runa sejenak menahan nafas. Seperti bersiap untuk menerima kenyataan apapun yang akan terjadi dalam hidupnya. Ia mengangguk samar.

"Begini. Saya datang kemari, karena ingin memberitahu tau sesuatu sama kamu. Keluargamu, selama ini punya hutang di perusahaan kami."

Runa membelalak setelah mendengar pengakuan dari Pak Hermanto.

"Hutang, Pak? Bapak saya punya hutang? Bukankah Bapak selama ini menjual hasil panen di tempat Bapak, kenapa masih berhutang?" Tanya Runa tak percaya. Bahkan baru kali ini ia mendengar bahwa Bapaknya memiliki hutang. Ia mengernyit tak habis pikir.

"Hutang itu sudah lama, sejak kamu mau berangkat kuliah waktu itu. Hingga kini sama sekali belum dibayarkan."

"Memang berapa banyak hutang Bapak saya?"

"Tiga puluh juta. Katanya buat bayar sekolahmu. Karena bapakmu saat ini sudah meninggal, kasihan kan kalo tidak segera dilunasi. Kasihan arwah Bapakmu kalo masih nanggung hutang."

Tentu saja, seperti dihantam batu besar di dada runa setelah mendengar pernyataan itu. Ia masih tak habis pikir, kenapa sang bapak harus berhutang jika hanya untuk menyekolahkannya? Kenapa tak pernah bicara jika ia memiliki hutang sebesar itu.

Tiga puluh juta, mungkin jumlah kecil bagi Pak Hermanto si kaya raya itu. Namun, bagi orang-orang desa seperti keluarga runa uang itu amatlah besar. Bahkan setahun bekerja dj sawah pun belum tentu bisa mendapatkan uang sebanyak itu.

"Apa harus segera dilunasi, Pak?" Tanya Runa dengan suara bergetar.

"Tentu saja. Hutang tetaplah hutang, dan kalo kamu mengulur pembayarannya, berarti kamu tega dengan Bapakmu sendiri. Kamu tau sendiri kan, bagaimana nasib orang meninggal yang masih punya hutang?"

"Tapi saya belum ada uang sama sekali, Pak. Bagaimana jika saya mencari pekerjaan dulu, nanti upah saya akan langsung saya berikan sama Bapak," Kata runa meminta pertimbangan.

"Jadi kamu tidak punya uang, ya?" Gumam Pak Hermanto dengan mengetuk-ngetuk dagu berbulu lebat menggunakan jari telunjuknya.

Tatapannya memindai tubuh Runa dari atas ke bawah, membuat gadis itu mulai diserang pikiran tak baik. Ia memasang mata awas.

"Saya punya ide, biar hutang Bapakmu segera lunas."

"Apa itu, Pak?"

"Sepertinya kamu itu anak yang baik dan cerdas. Kamu harus mau menikah dengan anakku, maka hutang Bapakmu akan kuanggap lunas. Bagaimana?"

***