PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Mister V

Mister V

Penulis:Rhaniie

Berlangsung

Pengantar
Mempunyai seorang penyelamat, senang bukan? Tapi, bagaimana jika seorang penyelamat itu misterius? Masih bisakah bersenang-senang tanpa harus takut akan ada bahaya yang menyerang? Tidak, 'kan? Begitulah yang dirasakan oleh Vivi. Dia seorang gadis culun, berkulit sawo mateng, berwajah bulat, lesung pipi kanan--kiri, bermata bulat, hidung mungil, dan postur tubuh lumayan berisi. Kenapa ia disebut gadis culun? Karena penampilannya yang alakadarnya. Dengan rambut kuncir dua, juga kacamata bulat yang di pakainya. Oleh sebab itu, Vivi sering jadi ejekan para teman-teman sebayanya sedari kecil. Kadang juga mereka terus membuly Vivi sampai menangis. Vivi hanya diam dan pasrah diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya. Namun, di usianya yang makin dewasa. Vivi sudah jauh dari kata 'buly', dan itu membuat Vivi bingung sendiri. Apa karena Vivi sudah dewasa dan mereka jadi menyukainya? Itu tidak mungkin. Keadaan Vivi masihlah sama seperti dulu. Dia masih Vivi yang berpenampilan culun, namun manis. Lalu, apa yang membuat mereka jadi berbanding terbalik sekarang? Seakan mereka jadi tunduk padanya. Cinta? Oh. No! Sayang? Apalagi. Lalu apa? Itu masih jadi misteri. MISTERI ! ! ! !
Buka▼
Bab

"N...ak. A... yah,"

"Ayah. Ayah yang kuat, ya? Sebentar lagi Dokter datang, Yah! Ayah bertahan dulu sebentar." Sheila menggenggam erat tangan ayahnya yang cukup dingin.

Sesekali, ia melirik ke arah pintu yang belum juga ada pertanda kedatangan Kakak juga Dokter yang dipanggilnya.

"Shei...la. A...yah mo... mohon,"

Cklek....

Fokus Sheila langsung teralih pada pintu yang terbuka. "Ayah. Bertahanlah... dokternya sudah datang." Ia memegang tangan ayahnya erat, lalu bergeser memberi jalan untuk sang Dokter memeriksa ayahnya yang sudah sekarat.

"Syi...la," ucapnya beralih pada putri yang satunya lagi dengan suara sedikit melemah. Ia mengangkat sebelah tangannya, dan Syila buru-buru meraihnya.

Sang Dokter memperhatikan sikap mereka bertiga, sambil memeriksa kondisinya yang sudah kritis.

"Apa, Yah. Kami disini. Kami akan selalu berada disisi Ayah. Kami akan terus menjaga dan merawat Ayah," ucap Syila, dan Sheila mengangguk pelan.

"A-ayah... punya sa-satu ke... i... nginan u-untuk... ka... kalian...,"

Mereka berdua menggenggam erat tangannya sambil berdoa dan berusaha menahan air matanya supaya tidak jatuh.

"To-tolong... ka-kalian... tun-tuntaskan... rasa... sssa-sakit Ayah... pa-pada Ang-angga,"

"Innalillahi." Dokter tersebut langsung menegakkan tubuhnya saat hembusan nafas terakhirnya dengan perkataan yang belum tuntas.

Kedua belah tangan yang mereka genggam langsung terlepas lemas, bersamaan dengan bunyi monitor yang cukup nyaring, dan menampilkan grafis garis lurus sampai akhir.

"Ayaaahhhh ! ! !"

Seketika mereka menjerit histeris tidak percaya dan tidak rela.

Mereka memeluk tubuh ayahnya erat, dengan derai air mata mengalir deras membasahi sebuah tubuh yang terbujur lemas di atas sebuah kasur rumah sakit.

"Nona-nona. Yang sabar… yang kuat. Ikhlaskan beliau," ucapnya sang Dokter lembu,

"Sebaiknya... kalian siapkan untuk memulasara ayah kalian," tambahnya.

Mereka berdua tidak menggubris. Mereka terus menangisi kepergian ayahnya yang begitu saja meninggalkan mereka berdua.

"Ayah… kami sama siapa, Yah? Jangan pergi, Yah? Kami tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah," ucap Sheila sesenggukan sambil memeluk erat tubuh ayahnya.

"Nona." Beberapa suster dan pekerja rumah sakit lainnya datang.

Mereka meminta izin untuk menutup tubuh ayah mereka dengan selembar kain putih, lalu membawanya keluar dari ruangan tersebut.

"Kak." Sheila memeluk tubuh kakaknya erat, "kita gimana, Kak? Kita gimana? Kita gak punya siapa-siapa lagi, Kak?" Ia kembali menangis sampai tubuhnya terasa lemas.

"Dek!" Syila segera memeluk tubuhnya erat.

Meskipun ia juga merasakan pedih atas kepergian ayahnya, tetapi ia tidak boleh lemah demi adiknya.

Ia membeyeng adiknya sampai ke sebuah parkiran, di mana… sebuah mobil jenazah terparkir di sana.

"Kak. Ayah, Kak. Ayah...," Sheila meraung di dalam pelukannya.

"Kita harus kuat, Dek. Meski kita cuma berdua… tetapi kita harus bisa berdiri. Demi Ayah, Dek. Kita lakukan semuanya demi Ayah!" ucapnya kemudian memeluknya hangat.

Mereka masuk ke dalam mobil tersebut yang akan membawa ayah juga dirinya sampai kerumah.

Suara sirine mobil tersebut membuat semua orang gentir, Apalagi seisi komplek perumahannya. Pasalnya... mereka tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa Pak Aji

papanya Syila dan Sheila

telah berpulang menemui-Nya.

Sebagian dari mereka, langsung berbondong-bondong untuk melayat ke rumahnya.

Ada yang menangis ikut bersedih atas kepulangannya. Ada juga yang malah saling bisik-bisik membicarakan masa lalu baik dan buruk tentangnya, dan,

Ada juga yang ikut mengaji untuk mendoakannya. Lalu,

Sebagian para Lelaki, mereka ikut membantu untuk memandikan dan mengkafani jenazah setelah selesai membacakan surah al qur'an.

Setelah itu, Jenazah langsung dibawa ke sebuah masjid besar untuk di sholati, dan pergi ke pekuburan khusus keluarga.

Suara lantunan adzan yang begitu menyayat hati, memecahkan kembali tangisan dua Gadis yang ditinggalkannya.

"Ayahhh…."

Tangis pilunya berhasil menghipnotis sebagian mereka yang ada disana.

"Sabar, Neng!" Hanya itu yang bisa mereka katakan pada Syila dan Sheila.

"Ayah… kenapa Ayah tega meninggalkan kami, Yah?" Tubuh mereka meluruh, bersimpuh di atas sebuah tanah yang baru selesai dirapikan.

Tidak peduli sama pakaian mahal yang dikenakan, yang mereka pikirkan saat ini adalah… bagaimana mereka hidup tanpa ada sebuah pegangan di jalannya.

"Kenapa Ayah meninggalkan kami, Yah? Kenapa?"

"Sekarang kami sama siapa, Yah? Kami tidak punya siapa-siapa lagi."

Menangis pun tidak ada gunanya. Tapi, mereka belum bisa dan belum siap untuk ditinggalkan olehnya.

"Non Syila… Non Sheila. Yang sabar, Non. Ini ujian. Lebih baik... kita pulang, yuk! Dan doakan Tuan, supaya Tuan tentram di alam sana." Seorang Wanita yang masih cukup muda berdiri dan menenangkan mereka berdua.

Ia mengelus masing-masing kepala mereka lembut. "Pulang, yuk! Kita masih harus menyiapkan banyak hal untuk acara tahlilan nanti malam," ucapnya lagi.

Syila maupun Sheila, mereka diam membisu dengan tangis yang belum juga mereda.

Kepergiannya begitu berat bagi mereka berdua. Apalagi… hanya dialah orang tua satu-satunya yang mereka punya, setelah kepergian ibunya sejak dulu mereka masih Bayi.

.

.

Acara tahlilan digelar selama 7 hari 7 malam, dengan dibimbing oleh seorang Ustadz yang ada disana.

"Ayah. Semoga Ayah tenang disana. Semoga Ayah menemukan kebahagian lagi disana." Mereka berdua menyiram juga menabur bunga-bunga yang sudah didoakan diatas pusara kuburan ayahnya.

"Semoga semua doa-doa kami sampai padamu, Yah!" ucap Sheila sedikit rapuh, dan segera Syila rangkul hangat,

"kita pulang, yuk!" ajaknya tidak tega melihat adiknya bersedih kembali.

Sheila mengangguk, dan mereka langsung pulang tanpa pesan apapun untuk ayahnya.

Mereka melangkah menuju mobil dengan perasaan hampa, belum bisa menerima kepergian ayahnya sedikitpun.